YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah — SMP Muhammadiyah 3 Depok Sleman (Mugadeta) melakukan kunjungan ke Grha Suara Muhammadiyah (SM), Kamis (26/1). Kunjungannya kali ini sebagai bagian dari kegiatan workshop dan Pelatihan Jurnalistik. Pada saat bersamaan juga dilakukan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) tentang kerja sama untuk kegiatan training jurnalistik sekaligus pendampingan dalam rangka menerbitkan Majalah Mahkota Sekolah.
Turut hadir Wakil Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dr H Kasiyarno, MHum, Direktur Utama PT Syarikat Cahaya Media / Suara Muhammadiyah, Deni Asy’ari, MA Dt Marajo, Kepala Sekolah SMP Mugadeta, Hasanudin Salimi, SPdI., MPd beserta guru pendamping dan siswa-siswi dari kelas 7 dan 8.
Hasanudin menuturkan pihaknya mengucapkan terima kasih kepada SM yang telah memberikan ruang terbuka bagi siswa-siswinya untuk mengembangkan talenta di dalam dunia jurnalistik.
“Kami mengucapkan terima kasih kepada SM telah menerima kami untuk belajar bersama di dunia jurnalistik, utamanya anak-anak kami. Semoga anak-anak dapat menerima ilmu dengan utuh, sehingga bisa menjadi bekal menjadi jurnalis muda di masa depan,” ujarnya.
Menurut Deni penyelenggaraan kegiatan wokhsop dan pelatihan jurnalistik yang digelar di SM menjadi tantangan ke depan, khususnya bagi SM sendiri dalam melahirkan tunas-tunas baru sebagai jurnalis muda yang hebat. Yakni jurnalis di lingkungan Persyarikatan Muhammadiyah.
“Dengan adanya kegiatan workshop dan pelatihan ini masih ada harapan ke depan bahwa masih banyak jurnalis-jurnalis muda di Muhammadiyah yang akan terus tumbuh dan berkembang. Maka kita harapkan pascakegiatan ini, terus kita bersinergi untuk mengembangkan skill dan potensi di dalam dunia tulis-menulis ini,” ujarnya.
Deni mengingatkan kepada seluruh siswa-siswi tentang Imam Syafi’i. Bagi ulama besar itu, “Ilmu pengetahuan sebagai hewan buruan. Sedangkan pena (tulisan) itu sebagai tali pengikatnya.” Maka seorang yang berburu sebuah hewan, tetapi tidak pernah mengikatnya, maka hanya bersifat sia-sia belaka usaha memburu tersebut.
Kemudian seorang sastrawan dan penulis produktif pernah mengatakan, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”.
Hal demikian sama dengan manusia sebagai insan pemburu ilmu. Manusia di muka bumi setiap harinya haus dengan ilmu. Mereguk ilmu harus menjadi rutinitas setiap hari. Tetapi bukan saja memburu, tetapi ilmu itu harus diikat dengan sebuah tali pengikat yang betul-betul kuat, yakni dengan tulisan.
“Artinya setiap diri kita yang memperoleh ilmu pengetahuan, sebisa mungkin kita ikat dengan tulisan,” tuturnya.
Deni berpesan kepada seluruh siswa sebagai kader muda Muhammadiyah seyogianya perlu mengombinasikan ilmu pengetahuan itu dengan merakitnya sebagai bentuk tulisan. Tulisan apapun, yang terpenting menarik, renyah, dan mampu memberikan suluh pencerahan bagi para pembacanya. Hal itu dilakukan agar ke depan generasi muda tidak hilang dari peradaban sejarah hidup manusia di muka bumi.
“Ilmu pengetahuan wajib hukumnya untuk dituliskan,” tegasnya.
Sejak awal berdirinya (18 November 1912), Muhammadiyah yang didirikan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan ditopang dengan spirit menulis. Hal itu ditemukan dalam rekaman sejarah di mana sang pendirinya mendirikan media Islam bernama SM pada tahun 1915. Kelahiran SM menjadi manifestasi gerak dakwah gagasan-gagasan dakwah Muhammadiyah sebagai syiar Islam berkemajuan yang spektrumnya menjalar luas di seluruh persada negeri.
“Tanpa adanya SM, mungkin kita tidak bisa melihat proses percepatan dakwah Muhammadiyah di seluruh tanah air,” ucapnya.
Deni membongkar bahwa SM menjadi satu-satunya media Islam yang masih eksis bertahan hidup hingga saat ini. Menurutnya, sudah tidak ada lagi media Islam yang sezaman dengannya masih terbit selama dua kali dalam sebulan. Contohnya seperti seperti Al Munir, Suluh, majalah Suara Tarbiyah Islamiyah, majalah pembela Islam, panji masyarakat, Harian Duta Masyarakat dan sebagainya, yang kini hanya tinggal nama dalam buku kenangan umat manusia.
Apa yang dilakukan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan harus dijadikan teladan bagi generasi masa kini. Yakni generasi yang harus piawai di dalam menulis sebagai langkah awal mencerdaskan kehidupan umat dan bangsa.
“Menulis bagian dari gaya hidup dan budaya Muhammadiyah sejak awal. Maka pelatihan jurnalistik ini masuk ke dalam dunia sekolah tentu memiliki potensi luar biasa di masa depan bagi anak-anak,” katanya.
Adapun potensi tersebut mencakup potensi belajar menulis dan potensi menulis sambil belajar. Dengan dua potensi ini, maka seorang akan tumbuh menjadi seorang penulis. Bagi Deni yang telah malang melintang di dunia tulis-menulis menuturkan pengalaman menulisnya. Dijelaskan bahwa menjadi penulis tidak membawa kerugian apapun, justru kemaslahatan yang akan sangat banyak didapatkan.
“Menulis itu tidak ada ruginya. Banyak sekali manfaat-manfaatnya yang bisa kita nikmati dari menulis. Jadi menulis itu tidak susah, tidak ribet dengan teori-teori jurnalistik, yang terpenting adalah memulai, mengawali, dan menulis dengan rasa. Kalau dengan teori berat, teapi menulislah dengan rasa,” tukasnya.
Di sisi lain, Kasiyarno menegaskan untuk bisa menulis, maka harus diperlukan dengan ilmu yang ranum. Baginya ilmu di era modern kontemporer harus diperkuat dengan basis kemampuan keilmuan yang berkualitas dan bagus. Dari sini, akan menuai kualitas tulisan yang apik dan enak dibaca.
“Untuk menjadi penulis atau jurnalis, maka harus banyak membaca. Utamanya ilmu yang perlu diperkuat dengan kemampuan yang dimiliki. Tulisan yang bagus akan dibaca oleh banyak orang. Nah, itu kan menjadi pengetahuan orang. Sebab pengetahuan itu bisa mengubah mindset (pikiran orang), sehingga bisa menggerakkan pola pikirannya untuk menulis sesuatu karena dipengaruhi oleh tulisan dari seorang jurnalis,” ungkapnya.
Kasiyarno menerangkan bahwa lembaga pendidikan di Muhammadiyah berkhidmat untuk menggembleng pelajar tampil sebagai agen perubahan (agents of change). Yakni pelajar yang mampu membawa perubahan (transformasi) bagi peradaban di masa depan. Sebab, setiap orang sebagai laku pembuat perubahan.
“Jadi kalau kegiatan jurnalistik ini dijadikan kompetensi tambahan, maka itu sangat bagus dan tepat,” ucapnya.
Memasuki sesi pelatihan, Ribas selaku Redaktur Majalah SM sekaligus Mahasiswa Doktoral Studi Islam UIN Sunan Kalijaga sebagai pengisi pemateri pertama menjelaskan bahwa menulis itu gampang, senada dengan ungkapan Direktur Utama SM. Baginya, kemudahan menulis diukur dari kualitas melatih diri secara tekun dalam menulis. Sebab, tanpa berlatih, mustahil menjadi penulis, melahirkan tulisan utuh dan berkualitas.
“Menulis itu mudah. Asalkan dari kawan-kawan tekun dalam berlatih, maka tidak akan menemukan kesulitan menulis,” ujarnya.
Sedangkan Rizki selaku Redaktur Website SM yang bertindak sebagai pemateri kedua menjelaskan tentang mengenai majalah dan keredaksian. Yang meliputi seluk-beluk majalah SM, dunia keredaksian, manajemen redaksi, dan sekaligus praktik menjadi seorang redaksi sungguhan. Tampak antusias seluruh siswa-siswi mengikuti kegiatan workshop dan pelatihan jurnalistik tersebut. (Cris)