Tauhid Itu Meninggikan Allah dan Memperlakukan Semua Manusia Setara
MALANG, Suara Muhammadiyah – “Ikhlas memiliki arti dasar memurnikan. Dari definisi tersebut ikhlas menjadi inti dari ajaran Islam yang mana di dalam QS. Al-Ikhlas menjelaskan aspek ketauhidan secara penuh kepada Allah. Sehingga bertauhid merupakan suatu proses pemurnian keberadaan Tuhan dari hal-hal yang tidak kita akui sebagai Tuhan,” ujar Saad Ibrahim dalam agenda Pengajian Tarjih Muhammadiyah ke-204 yang berlangsung di Universitas Muhammadiyah Malang (25/1).
Pria yang menjabat sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah tersebut menjelaskan, tauhid adalah memposisikan Allah di tempat tertinggi, sedangkan manusia menempati posisi sebagai hamba-Nya. Ketauhidan yang dijelaskan dalam Al-Qur’an surat ke-112 tersebut menggambarkan Allah sebagai sumber dari segala kebaikan (As-somad). Oleh karena itu, sebagai hamba, manusia harus menggantungkan segala urusan kehidupannya kepada Allah, ialah Dzat yang kepada-Nya seluruh makhluk bergantung.
Maka dalam konteks ini kata tauhid tidak hanya sekedar mengesakan Allah, tapi juga memiliki keyakinan bahwa Dzat yang Maha Esa itu merupakan Dzat yang memiliki segala puncak kemuliaan, puncak kebaikan, dan memiliki puncak keunggulan. Dari sini tentu akan ada pengaruh psikis kepada kita bahwa untuk mendapatkan kemuliaan tersebut manusia harus menyandarkan setiap urusannya kepada sang pemilik kemuliaan, yaitu Allah SWT.
Saad menambahkan, ikhlas juga bisa bermakna memurnikan tujuan hidup yang sepenuhnya untuk Allah. Seluruh yang kita lakukan dalam konteks beragama haruslah sepenuhnya tertuju kepada Allah. Tidak ada maksud atau tujuan kecuali kepada Allah. Sekalipun begitu, hal ini akan sangat berimplikasi kepada kehidupan sosial kita sebagai manusia. Orang yang baik akhlaknya kepada Allah dapat dipastikan akan baik pula hubungannya dengan sesama. Kebaikannya kepada Allah akan tercermin sebagai hamba Allah. Dan kebaikannya kepada sesama akan tercermin sebagai khalifah Allah di muka bumi. Sehingga tak dapat di pungkiri bahwa kedua hal ini menjadi kunci utama kehidupan. Maknanya bahwa melalui kalimat tauhid, kita akan memposisikan Allah di tempat tertinggi, dan dengan kalimat tauhid pula kita posisikan manusia berada jauh di bawah sana.
“Ketika kita menempatkan Allah di tempat tertinggi, posisi apa pun yang kita duduki dan kapan pun kita berhenti dari kedudukan itu, hal tersebut tidak akan membebani pikiran kita,” ujar Saad.
Sebagai sumber segala kebaikan, Allah memiliki eksistensinya yang tak terbatas, sementara manusia bisa ada dan bisa juga tidak ada. Jika dahulu Allah tidak berkehendak untuk menciptakan manusia, hari ini manusia tidak mungkin ada. Maka beradaan kita sangat bergantung kepada Allah. “Inilah yang disebut dengan tauhid, dan lawan dari tauhid adalah syirik. Implikasi dari syirik adalah kedzaliman,” tegasnya.
Ibnu Khaldun dalam muqadimahnya menulis bahwa kedzaliman itu benar-benar dapat menghancurkan peradaban. Maka, peradaban yang kekal dan tetap berada di posisi yang tinggi adalah peradaban yang dibangun dengan asas tauhid yang nantinya akan berimplikasi pada terwujudnya sebuah keadilan.
Ia mencontohkan, pada zaman sebelum kenabian Muhammad, di sekitar Makkah dan Madinah bercokol dua raksasa besar yaitu Romawi dan Persia. Ketika Romawi menguasai suatu kawasan, maka kawasan tersebut akan dipaksa memeluk agama Nasrani. Dan sebaliknya jika Persia menguasai sebuah kawasan, maka kawasan tersebut akan dipaksa memeluk Zaratustra. Melalui kenabian Muhammad, Islam datang berbeda. “Nabi tidak melakukan praktek-praktek seperti itu. Islam tidak menggunakan jalan paksaan,” ujarnya.
Pada saat pasukan Islam berhasil menguasai Palestina, Gubernur Romawi meminta Umar yang pada saat itu menjabat sebagai Khalifah bagi umat Islam yang berkedudukan di Madinah untuk datang ke Palestina. Setelah Umar datang, ia bertanya tentang Solomon Temple. Oleh beberapa prajuritnya disampaikan bahwa Solomon Temple sudah tidak ada. Kuil Sulaiman yang menjadi tempat peribadatan orang-orang Yahudi tersebut telah berubah fungsi menjadi tempat pembuangan akhir. Mendengar dan melihat realita tersebut Umar pun marah besar dan meminta prajuritnya untuk membersihkan Kuil tersebut. Setelah Solomon Temple bersih, Umar pun berpidato, “Solomon Temple ini saya kembalikan kepada orang-orang Yahudi, silahkan digunakan untuk beribadah. Yang Nasrani silahkan pergi ke gereja dan bagi yang Muslim silahkan pergi ke Baitul Maqdis,” tegas Umar.
Inilah yang menurut manta Ketua PWM Jawa Timur adalah keadilan yang merupakan implikasi dari tauhid. Sebab ketika kita mengangkat posisi kita lebih tinggi dari yang lain. Maknanya secara tidak langsung kita telah memandang bahwa yang lain berkedudukan lebih rendah. Sehingga kita merasa bisa berlaku sewenang-wenang (dzalim) kepada mereka. Nabi pun mengomentari hal ini dan mengatakan bahwa posisi manusia dengan manusia yang lain tak ubahnya seperti sisir, rata. Ketika ada manusia yang berbuat dzalim kepada manusia yang lain, maka ia telah memproklamirkan dirinya setara dengan Tuhan.
“Bertauhid itu ketika kita tidak merasa lebih tinggi dari orang lain, apalagi merasa lebih tinggi dihadapan Allah. Bisa jadi yang lebih tinggi posisinya dihadapan Allah adalah mereka yang di dunia berstatus sosial paling rendah. Sehingga kalau kita ikhlas kepada Allah, kita akan memiliki pandangan berpikir yang jernih, menghadapi segala sesuatu dengan penuh kejernihan. Karena ia tahu bahwa yang di atas hanya Allah. Kita juga tidak minder berhadapan dengan siapa saja,” jelas Saad. (diko)