Adakah Amalan Khusus di Bulan Rajab?
Oleh: Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA
Sebagian umat Islam mengira bahwa pada bulan Rajab ini dianjurkan amalan-amalan khusus seperti shalat, puasa, doa, zikir, umrah, menyembelih binatang, berhias, membuat makanan, dan sebagainya. Mereka bersemangat dan antusias melakukan amalan-amalan khusus ini. Bahkan mengajak keluarga dan orang lain untuk melakukannya baik ajakan secara langsung maupun tidak langsung lewat tulisan di buku-buku dan medsos. Mereka meyakini keutamaan amalan-amalan khusus ini berdasarkan hadits-hadits yang tidak shahih.
Sebenarnya, tidak disyariatkan amalan khusus di bulan Rajab. Bulan Rajab tidak memiliki keutamaan amalan khusus. Karena, tidak ada satupun dalil yang shahih yang menjelaskan amalan khusus ini dan keutamaannya. Semua hadits yang menjelaskan keutamaan bulan Rajab dan amalan-amalan khusus padanya adalah dhaif (lemah) dan maudhu’ (palsu). Oleh karena itu, tidak bisa diamalkan dan tidak bisa pula dijadikan hujjah.
Adapun amalan-amalan khusus yang dilakukan oleh sebahagian orang pada bulan Rajab yaitu puasa sebulan penuh atau puasa sebahagian harinya seperti puasa hari pertama, kedua, dan ketiga, puasa Kamis pertama, puasa sehari, puasa tujuh hari, puasa delapan hari, puasa sepuluh hari, puasa lima belas hari, puasa 27 Rajab, shalat malam awal bulan Rajab, shalat Ragha’ib (shalat khusus pada malam Jum’at pertama bulan Rajab), umrah Rajabiyyah (umrah khusus bulan Rajab), ‘atirah (menyembelih hewan khusus pada bulan Rajab), dan amalan khusus lainnya dengan menyangka memilki keutamaan. Semua ini adalah perbuatan bid’ah yang dikecam dan diharamkan dalam Islam sebagaimana dijelaskan oleh para ulama.
Menurut para ulama baik dari ulama khalaf (mutaakhirin) maupun ulama kontemporer yang telah melakukan penelitian dalam masalah ini, hadits-hadits yang beredar di tengah masyarakat mengenai keutamaan bulan Rajab dan amalan-amalan khusus padanya semuanya itu dhaif (lemah) dan bahkan maudhu’ (palsu). Tidak ada satupun hadits yang shahih yang menjelaskan keutamaan bulan Rajab dan amalannya. Oleh karena itu, hadits-hadits ini tidak boleh diamalkan dan tidak boleh pula dijadikan hujjah. Menurut mereka, amalan-amalan khusus di bulan Rajab itu bid’ah yang diharamkan dalam Islam.
Di antara para ulama hadits yang telah melakukan penelitian mengenai masalah ini secara ilmiah dan komprehensif adalah Al-Imam Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqalani (wafat 852 H) rahimahullah. Penelitian ini beliau tulis dalam sebuah kitab yang berjudul: “Tabyiinul ‘Ajab Bimaa Warada Fii Syahri Rajab” (Penjelasan Keanehan Hadits-Hadits Yang Datang Mengenai Bulan Rajab).
Di dalam kitab ini beliau menghimpun semua hadits yang menerangkan tentang keutamaan bulan Rajab dan keutamaan amalan-amalannya. Lalu beliau membantah dan mengkritik hadits-hadits tersebut secara ilmiah dan mendalam. Beliau membagi hadits-haditsnya kepada dua bagian yaitu hadits-hadits yang dhaif (lemah) dan hadits-hadits yang maudhu’ (palsu).
Dari hasil penelitiannya ini, imam Ibnu Hajar rahimahullah menyimpulkan bahwa tidak ada satupun hadits yang shahih yang menjelaskan tentang keutamaan bulan Rajab dan amalan khusus padanya. Menurut beliau, semua hadits-hadits mengenai keutamaan bulan Rajab dan amalan-amalannya adalah lemah dan palsu.
Al-Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Tidak ada satupun hadits shahih yang layak dijadikan hujjah yang menerangkan keutamaan bulan Rajab, keutamaan puasanya, keutamaan puasa pada hari-hari tertentu, dan keutamaan shalat malam tertentu padanya. Sebelumku Imam Abu Ismail Al-Harawi Al-Hafizh telah menegaskan hal ini.” (Tabyiinul ‘Ajab bimaa Warada Fii Syahri Rajab, hal. 23).
Beliau juga berkata, “Dan adapun hadits-hadits yang datang dalam keutamaan Rajab, atau keutamaan puasanya, atau puasa sesuatu darinya secara sharih (jelas), maka ada dua bagian: dhaif (lemah) dan maudhu’ (palsu).” (Tabyiinul ‘Ajab Bimaa Warada Fii Syahri Rajab, hal. 33).
Hal yang sama juga disampaikan oleh para imam-imam lainnya yang telah melakukan pengkajian masalah ini. Di antara mereka yaitu Al-Imam Al-Hafiz Muhammad Al-Hasan bin Ali Al-Baghdadi Al-Khallal (wafat 439 H), Al-imam al-Hafiz Abu Ismail Al-Harawi (wafat 481 H) sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya “Tabyinul ‘Ajab Bima Warada fii Syahri Rajab”, Al-Imam Al-Hafizh Al-Muqri’ Asy-Syafi’i (wafat 478 H), Al-Imam Al-Hafizh Ath-Thurthusyi al-Maliki (wafat 520 H) dalam kitabnya Al-Hawaadits wal Bida’, Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Asakir (wafat 571 H), Al-Imam Ibnul Jauzi (wafat 597 H) dalam kitabnya “Al-Madhuu’at”, Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Dihyah Al-Kalbi (wafat 633 H) dalam kitabnya “Ada’u Ma Wajaba min Bayan Wadh’il Wadha’in fii Rajab”, Al-Imam Abu Syamah Asy-Syafi’i (wafat 665 H) dalam kitabnya “Al-Ba’its ‘ala Inkaril Bida’ wal Hawadits”, Al-Imam Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat 728 H) dalam kitabnya “Majmu’ Al-Fatawa” dan “Iqtidhaush Shirathil Muataqim”, Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah (wafat 751 H) dalam kitabnya “Al-Manar Al-Munif”, Al-Imam Ibnu Rajab (wafat 795 H) dalam kitabnya “Lathaiful Ma’arif”, Al-Imam Al-Hafiz Al-Iraqi (wafat 806 H) dalam kitabnya Takhrij Ahaditsil Ihya’ ulumiddin, Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Arraq (wafat 963 H) dalam kitabnya “Tanzihusy Syari’ah ‘anil Ahadits Ash-Shani’ah Al-Maudhu’ah”, Al-Imam As-Sayuthi (wafat 911 H) dalam kitabnya “Al-La’ali Al-Mashnu”ah fii Ahadits Al-Maudhu’ah”, Imam Ibnu Hajar Al-Haitsami Asy-Syafi’i (wafat 974 H) dalam kitabnya “Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra,” Al-Imam Asy-Syaukani (wafat 1255 H) dalam kitabnya “Al-Fawaid Al-Majmu’ah”, dan lainnya.
Dalam kitabnya “At-Targhib ‘an shalatir Raghaibil maudhu’ah”, Imam Izzuddin Abdis Salam berkata, “Dan di antara menunjukkan bid’ah shalat Raghaib adalah bahwa para ulama sebagai tokoh agama dan imam-imam kaum muslimin yatu para sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in dan selain mereka yang menulis kitab-kitab dalam masalah syariat, dengan semangat mereka mengajarkan orang-orang mengenai kewajiban-kewajiban dan sunnat-sunnat, tidak seorangpun yang dinukilkan dari mereka yang menyebutkan shalat ini dan tidak pula menulisnya dalam kitabnya serta tidak pula menyampaikannya dalam majelis-majelisnya. Secara kebiasaan, mustahil sunnat seperti ini luput dari mereka sebagai tokoh agama dan teladan orang-orang mukmin, padahal mereka menjadi rujukan dalam semua persoalan hukum baik wajib, sunnat, halal dan haram.” (At-Targhib ‘an shalatir Raghaibil maudhu’ah: 9, dalam topik al-musalah al’ilmiyyah)
Al-Imam Al-Hafizh Ath-Thurthusyi al-Maliki (wafat 520 H) rahimahullah menyebutkan bahwa beliau pernah dikabarkan oleh Abu Muhammad Al-Maqdisi. Beliau berkata, “Adapun shalat Rajab, belum pernah dilakukan ditempat kami di Baitul Maqdis kecuali setelan 480 Hijriyah. Sebelumnya kami belum pernah mendengar atau melihatnya.” (Al-Hawaadits wal Bida’, hal. 267 no.238).
Dalam kitabnya “Al-Ba’its ‘ala Inkaril Bida’ wal Hawadits”, Imam Abu Syamah Asy-Syafi’i rahimahullah menjelaskan shalat Raghaib, “Mengenai shalat Raghaib, yang dikenal di tengah masyarakat luas dewasa ini adalah yang dikerjakan di antara waktu maghrib dan Isya, pada malam Jum’at pertama dari bulan Rajab.” (Al-Ba’its ‘ala Inkaril Bida’ wal Hawadits: 138).
Beliau menukilkan perkataan Imam Ibnu Shalah Asy-Syafi’i (wafat 643 H) rahimahullah mengenai shalat Raghaib, “Haditsnya palsu, dan itu adalah perbuatan bid’ah yang muncul tahun empat ratusan hijriyah.” (Al-Ba’its ‘ala Inkaril Bida’ wal Hawadits: 145).
Beliau juga menukilkan pendapat Imam Izzuddin Abdussalam Asy-Syafi’i (wafat 660 H) rahimahullah, di mana pada tahun 637 H beliau memberikan fatwa bahwa shalat Ar-Raghaib adalah bid’ah yang mungkar, dan bahwa haditsnya adalah dusta atas nama Rasulullah saw. (Al-Ba’its ‘ala Inkaril Bida’ wal Hawadits: 149).
Dalam kitabnya Al-Majmu’, Imam An-Nawawi (wafat 676 H) rahimahullah berkata, “Shalat yang dikenal dengan shalat Raghaib sebanyak dua belas rakaat yang dikerjakan antara Maghrib dan Isya pada malam Jum’at pertama bulan Rajab, dan shalat malam nishfu Sya’ban sebanyak seratus raka’at adalah bid’ah yang mungkar lagi buruk. Tidak boleh seseorang terpedaya dengan penyebutan kedua shalat ini di dalam kitab Qutul Qulub dan Ihya’ Ulumuddin, dan tidak pula dengan hadits yang disebutkan dalam kedua kitab ini. Sebab, hal itu semua adalah batil. Tidak boleh seseorang terpedaya dengan sebahagian orang yang belum jelas baginya hukum kedua shalat ini dari kalangan imam-imam, lalu ia mengarang dalam beberapa kertas untuk menganjurkan keduanya. Karena ia keliru dalam hal itu. Syaikh Imam Abu Muhammad Abdurrahman bin Ismail al-Maqdisi telah mengarang sebuah kitab yang amat berharga, yang menegaskan kebatilan kedua macam shalat tersebut. Sungguh beliau telah berbuat baik dan berjasa.” (Al-Majmu’: 3/476).
Dalam kitab Syarhu Muslim, Imam An-Nawawi berkata, “Semoga Allah memerangi orang yang mengada-adakan shalat Raghaib ini. Shalat ini bid’ah mungkar termasuk dalam bid’ah kesesatan dan kebodohan. Dalam shalat ini terdapat banyak kemungkaran yang jelas. Sekelompok ulama telah menulis buku yang amat berharga dalam menyatakan keburukan shalat ini, kesesatan orang yang melakukan shalat ini dan pelaku bid’ahnya, dalil-dalil keburukannya, kebatilannya, dan penyesatan pelakunya. Buku-buku yang menjelaskan ini sangat banyak.” (Syarah Muslim: 8/20).
Imam Ibnu Rajab Al-Hambali berkata, “Adapun shalat khusus pada bulan Rajab, tidak ada hadits shahih yang mengkhususkannya. Hadits-hadits yang diriwayatkan dalam keutamaan shalat Ragha’ib pada malam Jum’at pertama dari bulan Rajab itu dusta dan batil, tidak shahih. Shalat ini bid’ah menurut kebanyakan ulama. Di antara tokoh ulama muta’akhirin dari kalangan hufazh (ulama hadits) yang menyebutkan hal itu adalah Abu Isma’il Al-Anshari, Abu Bakar As-Sam’ani, Abu Al-Fadhl Bin Nashir, dan Abu Al-Faraj Bin Al-Jauzi dan lainnya. Kalangan mutaqaddimun (generasi awal) tidak menyebutkannya karena shalat bid’ah ini diadakan pada generasi setelah mereka. Yang pertama muncul bid’ah ini setelah 400 tahun Islam lahir. Oleh karena itu tidak dikenal oleh generasi awal dan tidak pula dibicarakan. Adapun mengenai puasa, tidak ada satupun hadits yang shahih yang datang dari Nabi saw dan tidak pula dari para sahabat dalam keutamaan puasa Rajab.” (Lathaif Al-Ma’arif: 151).
Imam Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Adapun mengenai puasa Rajab secara khusus, maka seluruh haditsnya lemah dan bahkan palsu yang tidak dijadikan acuan oleh para ulama. Hadits-haditsnya bukan tergolong hadits lemah yang boleh diriwayatkan dalam masalah fadhail ‘amal (amal-amal yang baik), tetapi tergolong sebagai hadits-hadits palsu yang dibuat-buat.” (Majmu’ Al-Fatawa: 25/290)
Imam Ibnu Taimiyyah juga berkata ketika ia menjelaskan tentang bid’ah, “Hari yang sama sekali tidak diagungkan oleh syariat, tidak pernah disebut di kalangan salaf dan tidak ada sesuatu yang terjadi pada hari itu yang layak diagungkan seperti hari Kamis dan malam Jum’at bulan Rajab yang disebut malam Ragha’ib. Pengagungan hari dan malam itu baru terjadi 400 tahun setelah Islam lahir. Mengenai hal ini, diriwayatkan sebuah hadits palsu berdasarkan kesepakatan para ulama, yang isinya menjelaskan keutamaan berpuasa pada hari itu dan melakukan shalat ini yang dinamakan oleh orang-orang bodoh dengan nama shalat Ragha’ib. Sebahagian sahabat kami dan lainnya dari kalangan ulama muta’akkhirin menyebutkan shalat ini. Namun pendapat yang benar yang dipegang oleh para ulama yang melakukan pengkajian masalah ini adalah terlarangnya berpuasa secara khusus pada bulan Rajab, melakukan shalat bid’ah ini dan segala bentuk pengagungan hari ini berupa pembuatan makanan, menampilkan perhiasan dan sejenisnya, sehingga hari ini sama dengan hari-hari lainnya dan tidak memiliki keistimewaaan tersendiri. Demikian pula pada hari lain yang berada di pertengahan bulan Rajab, di mana pada hari ini dilakukan shalat yang disebut dengan shalat ibu Nabi Daud. Pengagungan hari ini sama sekali tidak memiliki dasar (dalil).” (Iqtidha’ush Shirathil Mustaqim: 251).
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Semua hadits mengenai puasa Rajab dan shalat pada beberapa malam di bulan Rajab adalah dusta yang nyata.” (Al-Manar Al-Munif: 96)
Imam Ibnu Hajar Al-Haitsami Asy-Syafi’i ditanya, “Apakah boleh melakukan shalat Raghaib secara berjama’ah atau tidak? Beliau menjawab: “Adapun shalat Raghaib itu sama dengan shalat nishfu Sya’ban. Kedua shalat ini bid’ah yang buruk dan tercela. Hadits keduanya palsu. Maka dimakruhkan melakukan kedua shalat ini baik sendirian maupun berjama’ah.” (Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra: 1/216).
Dalam kitab “Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah” disebutkan, “Para ulama Hanafiyyah dan Syafi’iyyah berpendapat bahwa shalat Raghaib pada malam Jum’at pertama atau malam nishfu Sya’ban dengan tatacara yang khusus atau dengan jumlah rakaat yang khusus adalah bid’ah munkar.” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyyah: 22/262)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah
berkata, “Tidak ada hadits shahih, atau yang hasan atau yabg dhaif yang secara khusus menerangkan tentang keutamaan bulan Rajab. Semua hadits yang diriwayatkan secara khusus merupakan hadits palsu, dusta dan sangat lemah.” (As-Sail Al-Jarrar: 2/143).
Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah berkata, “Puasa Rajab tidak memiliki keutamaan melebihi bulan-bulan lainnya kecuali ia termasuk bulan-bulan haram. Tidak ada sunnah yang shahih tentang keutamaannya. Dan apa yang datang mengenai hal itu tidak bisa dijadikan hujjah.” (Fiqh Sunnah: 1/318)
Syaikh Hasan Ayyub berkata, “Tidak ada hadits yang shahih yang menganjurkan berpuasa dalam hari tertentu di bulan Rajab secara khusus kecuali apa yang dianjurkan untuk melakukan amal shalih pada bulan-bulan haram.” (Fiqhul Ibadat bi Adillatiha fil Islam, hal. 431)
Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Adapun puasa Rajab, tidak ada satupun hadits yang shahih yang menjelaskan keutamaannya secara khusus atau puasa sesuatu darinya. Adapun apa yang dilakukan oleh sebahagian orang yang mengkhususkan puasa sebahagian hari darinya dengan meyakini adanya keutamaan padanya dari bulan-bulan lainnya adalah tidak ada dasarnya dalam agama.”
Syaikh Utsaimin berkata, “Para ulama berkata, “Semua hadits yang diriwayatkan mengenai keutamaan puasa bulan Rajab atau shalat padanya adalah dusta berdasarkan kesepakatan para ulama hadits. Imam Ibnu Hajar rahimahullah telah menulis buku kecil dalam masalah ini dengan judul “Tabyinul Ajab Fima Warada Fi Fadhli Rajab”. (Asy-Syarhul Mumti’: 6/476).
Syaikh Utsaimin pernah ditanya tentang puasa pada hari ke 27 Rajab dan shalat malamnya, maka beliau menjawab, “Mengkhususkan puasa pada hari ke 27 Rajab dan shalat malamnya itu bid’ah. Dan setiap bid’ah itu kesesatan.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin: 20/440).
Syaikh Shalih Bin Fauzan berkata, “Puasa hari pertama bulan Rajab itu bid’ah, bukan ajaran syariat. Tidak ada hadits Nabi saw yang shahih dalam mengkhususkan puasa Rajab. Maka puasa hari pertama dari Rajab dan meyakininya sunnah ini salah dan bid’ah.” (Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatusy syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, 1/33).
Syaikh Ibnu Al-Jibrin rahimahullah berkata, “Mengkhususkan bulan Rajab dengan berpuasa, atau mengkhususkannya dengan berumrah yang sering disebut dengan umrah Rajabiyah, atau mengkhususkannya dengan menghidupkan satu malam yang dikenal dengan malam Raghaib yakni malam Jum’at pertama bulan Rajab, atau mengkhususkannya dengan menyembelih hewan yang dikenal dengan istilah ‘atirah, maka semua itu perbuatan bid’ah yang tidak memiliki dasar agama.” (Fatawa Ramadhan: 2/734)
Syaikh Abu Malik berkata, “Tidak ada satupun yang shahih dari Nabi saw dan tidak pula dari para sahabatnya dalam keutamaan puasa Rajab secara khusus. Semua haditsnya ini lemah bahkan palsu.” (Shahih Fiqhus Sunnah: 2/144).
Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi rahimahullah berkata, “Di antara puasa yang diharamkan yaitu puasa bid’ah yang dilakukan oleh orang-orang berdasarkan hawa nafsu mereka, yang tidak disyariatkan oleh Allah ta’ala dan Rasul-Nya dan tidak pula dilakukan oleh para sahabat khulafaurrasyidin dari para khalifah Rasul saw serta tidak pula dianjurkan oleh para imam mazhab. Di antara puasa bid’ah ini yaitu mengkhususkan puasa pada hari ke 12 bulan Rabiul Awwal, mengkhususkan puasa pada hari ke 27 bulan Rajab, dan mengkhususkan puasa Nishfu Sya’ban.” (Fiqhush Shiyam: 136).
Dalam kitabnya yang berjudul “Mausu’ah As-Sunan wa al-mubtadi’at” (telah diterjemahkan dengan judul “Buku Pintar Sunnah dan Bid’ah”), Syaikh Sa’ad Yusuf Abu Aziz berkata, “Tidak ada satu dalilpun yang bisa digunakan sebagai pegangan mengenai keutamaan bulan Rajab ini, baik berpuasa ataupun melakukan shalat malam secara khusus, demikian pendapat Al-Hafiz Ibnu Hajar. Akan tetapi, jika seorang muslim sudah terbiasa melakukan puasa sunnah yang dianjurkan dalam setiap bulan, maka ia dianjurkan untuk tidak menghentikan puasanya di bulan Rajab ini.” (Buku Pintar Sunnah dan Bid’ah: 445).
Dalam kitabnya “Shiyamut Thathawwu’: Fadhail wa ahkam” (telah diterjemahkan dengan judul “Kumpulan Puasa Sunnat Dan Keutamaannya”), Syaikh Usamah Abdul Aziz berkata, “Tidak ada hadits shahih dari Nabi saw yang menjelaskan tentang puasa pada bulan Rajab dan keutamaannya. Sementara hadits yang terdapat dalam masalah ini merupakan hadits-hadits lemah dan bahkan palsu yang sama sekali tidak shahih. Ini merupakan pendapat para ulama yang telah melakukan penelitian dalam masalah ini.” (Kumpulan Puasa Sunnat Dan Keutamaannya: 76).
Demikianlah penjelasan para ulama mengenai keutamaan amalan tertentu pada bulan Rajab. Mereka sepakat mengatakan tidak ada amalan khusus yang disyariatkan pada bulan Rajab, karena tidak ada satupun dalil yang shahih mengenai hal ini. Semua hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan bulan Rajab dan amalan-amalannya adalah lemah dan palsu yang tidak boleh diamalkan dan dijadikan hujjah.
Sebagai penutup, mari kita perbanyak amal shalih pada bulan Rajab ini tanpa mengkhususkan waktu dan amalan tertentu sesuai dengan petunjuk Nabi saw. Semoga kita diberikan petunjuk oleh Allah swt untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw agar ibadah kita diterima oleh Allah swt dan agar kita tidak terjerumus kepada perbuatan bid’ah yang diharamkan oleh Allah swt dan Rasul-Nya. Amin…!
Penulis adalah Doktor Fiqh dan Ushul Fiqh Pada International Islamic University Malaysia (IIUM), Dosen Fiqh dan Ushul Fiqh Pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry, Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Provinsi Aceh, Ketua PC Muhammadiyah Syah Kuala Banda Aceh, dan Anggota Ikatan Ulama dan Da’i Asia Tenggara.