Surat untuk Anakku
Oleh : Dr M G Bagus Kastolani, SPsi., Psi
Anakku… saat aku menua kelak… cobalah untuk bersabar dan fahamilah diriku. Saat tercecer makananku karena aku tak mampu lagi memasukkan nasi ke mulutku… saat aku tak mampu lagi mengenakan bajuku sendiri… bersabarlah! Ingatlah berjam-jam aku mengajarimu dengan sabar agar kamu bisa makan dan berpakaian sendiri. Dan aku bangga saat kamu bisa makan dan mengenakan pakaianmu tanpa pertolonganku lagi.
Saat aku selalu mengulang cerita-ceritaku… tolong jangan interupsi aku dan dengarkan saja! Dulu saat kamu kecil, kamu cerewet setengah mati saat memintaku mendongeng cerita yang sama setiap malam… hingga kamu terlelap. Namun aku sangat menyukainya.
Ketika kelak aku tak mampu mandi sendiri, jangan kau bilang aku memalukan. Ingatlah dulu ketika aku memandikanmu. Mungkin badanku yang berat saat kau memandikanku memang tidak sebanding dengan mungilnya badanmu ketika kecil saat aku mandikan. Namun memang karena aku tak berdaya untuk mencapai kamar mandi sendiri.
Saat ingatanku lemah dan tak mampu lagi mengikuti percakapanmu, beri aku waktu untuk mengingat semua… sebisaku. Karena yang terpenting aku bisa punya waktu berbicara denganmu… meski mungkin kau tak faham lagi bahasaku. Ingatlah dulu kau pun mengomel menggunakan bahasa bayi mu yang aku tak fahami pula… tapi aku terus tersenyum dan menciumi dirimu.
Saat aku tak mau makan, jangan paksa aku! Sebab aku tahu benar, kapan aku lapar dan kapan aku tak lapar. Saat kakiku tak mampu lagi menopang tubuhku saat berdiri dan berjalan… tolong tuntunlah aku. Seperti saat aku memegang tanganmu untuk belajar berdiri dan berjalan. Saat aku lelah dengan kehidupan ini dan ingin segera dipanggil Allah SwT… jangan marahi aku.
Sebab kelak kau akan memahami juga apa yang kurasakan. Kami hanya bertahan untuk hidup. Aku hanya butuh kamu untuk disampingku… untuk memahami aku. Bantulah aku di sisa usiaku dengan cinta dan kesabaranmu. Yang kubutuhkan darimu adalah senyum penuh cinta… bukan hartamu! Aku sangat mencintaimu… anakku! Bapakmu dan Ibumu.
Penulis adalah psikolog dan kader Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM Edisi 03 Tahun 2022