YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah — Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyelenggarakan kegiatan konferensi pers penetapan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah tahun 1444 Hijriah. Kegiatan tersebut digelar Senin (6/2) di Kantor PP Muhammadiyah Cik Ditiro Yogyakarta dan ditayangkan secara langsung di kanal Youtube TVMU dan Muhammadiyah channel.
Turut hadir dalam kegiatan tersebut antara lain, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Dr KH Haedar Nashir, MSi, Ketua PP Muhammadiyah, Prof Dr H Syamsul Anwar, MA, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid, Dr H Oman Fathorahman SW, MAg, dan Sekretaris PP Muhammadiyah, Muhammad Sayuti, MPd, MEd., PhD.
Dalam pemaparannya, Sayuti mengatakan bahwa dengan Metode Hisab Hakiki Wujudul Hilal, Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah menetapkan awal Ramadan jatuh pada Kamis Pon, 21 April 2023. Penetapan itu didasarkan atas hasil ijtimak yang terjadi hari Rabu Pahing, 22 Maret 2023 bertepatan 30 Syakban 1444 H pukul 00:25:41 WIB. Dengan ketinggian bulan saat Matahari terbenam di Yogyakarta, +07° 57` 17″.
“Umur Bulan Syakban 1444 H adalah 30 hari. Dan tanggal 1 Ramadan 1444 H jatuh pada hari Kamis Pon, 23 Maret 2023 M. Jadi mulai Tarawih Rabu malam,” katanya.
Terkait dengan Syawal sebagai Hari Raya Idulfitri, Sayuti menjelaskan ijtimak terjadi pada hari Kamis Legi, 20 April 2023 bertepatan 29 Ramadan 1444 H. Adapun ijtimak Syawal terjadi pada pukul 11:15:06 WIB.
Ketinggian Bulan Syawal pada saat Matahari terbenam di Yogyakarta +01° 47` 58″. Dengan ketinggian bulan tersebut, dinyatakan hilal sudah wujud. Dan di seluruh wilayah Indonesia pada saat Matahari terbenam itu posisi Bulan sudah berada di atas ufuk.
“Karena itu, tanggal 1 Syawal 1444 H jatuh pada hari Jumat Pahing, 21 April 2023 M,” ucapnya.
Pada saat bersamaan, Muhammadiyah menetapkan Bulan Zulhijah. Menurut Sayuti, ijtimak Bulan Zulhijah terjadi pukul 11:39:47 WIB di hari Ahad Kliwon, 18 Juni 2023 M bertepatan 29 Zulkaidah 1444 H. Adapun untuk ketinggian Bulan pada saat Matahari terbenam di Yogyakarta +01° 00` 25″. Dengan ketinggian tersebut, di seluruh wilayah Indonesia pada saat Matahari terbenam itu posisi Bulan berada di atas ufuk.
“Karena itu, tanggal 1 Zulhijah 1444 H jatuh pada hari Senin Legi, 19 Juni 2023 M. Hari Arafah (9 Zulhijah 1444 H) jatuh pada hari Selasa Wage, 27 Juni 2023 M. Iduladha (10 Zulhijah 1444 H) jatuh pada hari setelah itu, yaitu Rabu Kliwon, 28 Juni 2023 M,” tuturnya.
Di sisi lain, Prof Syamsul Anwar mengatakan Muhammadiyah di dalam menetapkan awal bulan Qomariah, termasuk Ramadan, Syawal, dan Zulhijah tidak berdasarkan pada penampakan, akan tetapi berdasarkan pada posisi geometris benda-benda langit, yakni matahari, bumi, dan bulan.
“Jadi posisinya, bukan nampak dan tidaknya. Jadi itu yang penting,” ujarnya.
Dikatakan untuk syarat Bulan Ramadan sudah terjadi ijtimak. Menurutnya, ijtimak sebagai bulan telah mengelilingi bumi dengan satu putaran sinodis. Untuk satu putaran sinodis Bulan Ramadan, tercapai pada tanggal 22 Maret 2023 pukul 00:25:41 WIB.
“Jadi itu bulan Syakban telah mengelilingi satu putaran. Jadi syarat pertama sudah terpenuhi. Tercapainya satu putaran sinodis, itu terjadi sebelum matahari tenggelam. Jadi karena terjadinya itu pada pukul waktu tersebut, maka hari tenggelam besok sore, jadi jauh sekali. Jadi syarat kedua sudah terpenuhi,” katanya.
Untuk syarat ketiga, menurut paparan Prof Syamsul ialah pada saat matahari terbenam keesokan harinya, bulan masih di atas ufuk belum tenggelam. Matahari dulu tenggelam, baru kemudian bulan tenggelam.
“Jadi syarat ini terpenuhi pada hari Rabu Pahing, 22 Maret 2023. Oleh karena itu, 1 Ramadan jatuh pada 23 Maret 2023. Jadi tidak soal terlihat dan tidak terlihatnya, yang penting posisi geometris itu telah terpenuhi. Itulagh metode penetapannya yang disebut dengan istilah Hisab Hakiki dengan kriteria Wujudul Hilal,” urainya.
Berpotensi Berbeda
Soal apakah ada perbedaan atau tidak di Bulan Ramadan 1444 Hijriah ini, Prof Syamsul menerangkan tidak akan terjadi perbedaan. Alhasil umat Islam akan serempak menjalani Ramadan.
“Untuk Ramadan besok, menurut perhitungan di atas kertas itu Insyaallah sama di seluruh Indonesia,” katanya.
Dirinya menjelaskan kemungkinan terjadinya perbedaan di Bulan Syawal dan Zulhijah. Perbedaan itu terjadi karena menurut kriteria Menteri-Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapore (MABIMS) tinggi bulan sekurang-kurangnya 3 derajat dan untuk elongasi (jarak bulan dan matahari) 6,4 derajat.
“Itu belum terpenuhi untuk dapat dilihat. Itu kriteria MABIMS untuk hilal dapat dilihat. Kalau kriteria itu belum terpenuhi, berarti tidak dapat dilihat. Karena belum dapat dilihat, maka menurut kriteria MABIMS keesokan harinya belum terpenuhi syarat untuk memasuki bulan baru. Sedangkan menurut kriteria Wujudul Hilal yang tidak berpatokan kepada penampakan yaitu tidak terlihat dan terlihatnya, maka keesokan harinya sudah memasuki bulan baru,” katanya.
Demikian pula Bulan Zulhijah yang terjadi perbedaan penetapan. Muhammadiyah lebih dulu memasuki Bulan Zulhijah, sedangkan kriteria MABIMS belum memasuki Bulan Zulhijah.
“Jadi itu perbedaannya,” tuturnya. (Cris)