Abdul Mu’ti: Seni sebagai Pilar Peradaban

Abdul Mu’ti: Seni sebagai Pilar Peradaban

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Tampil berbeda dari biasanya, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr H Abdul Mu’ti, MEd mengenakan busana jawa dan blangkon. Buasana khas Jawa itu dikenakan ketika menghadiri rangkaian acara Pasamun Perayaan Ta’sis 488 Masjid al-Aqsha Menara Kudus, Jawa Tengah, Rabu malam (8/2).

Dalam acara tersebut, Prof Mu’ti mengatakan ketika Islam masuk ke wilayah Barat yang dibawa oleh Abdurrahman ad-Dakhil di mana dia berlari dari Syiria menuju ke Andalusia. Sesampainnya di Andalusia, membangun peradaban dengan sentuhan peradaban yang tidak ada resistensi sama sekali dengan orang-orang Spanyol. Akan tetapi justru melahirkan keunikan kebudaan dari proses perpaduan antara budaya Arab dengan Budaya Eropa yang dibawa oleh Abdurrahman ad-Dakhil peletak dasar bagi berdirinya Dinasti Bani Umayyah di Spanyol.

“Ketika kita bicara mengenai peradaban itu, maka kita dapat katakan peradaban itu sangat dipengaruhi oleh lingkungan alam dan lingkungan lingkungan sosial di mana suatu masyarakat itu berada. Dalam kaitan ini sebenarnya kita melihat semakin banyak terjadi perjumpaan manusia dengan latar belakang yang berbeda maka semakin kaya suatu peradaban itu berkembang dalam suatu masyarakat,” ujarnya.

Dalam konteks ini, untuk meneropong bagaimana corak budaya terjadi, dapat dilihat dari cara makan dan berbusana yang beranekaragam. Misalnya dari segi busana, kalau cara berbusana di Eropa atau barat pada masa awalnya, busana yang dikenakan pada umumnya bermodelkan tertutup rapat. Ini merepresentasikan simbol pemberontakan terhadap dominasi laki-laki terhadap perempuan atau subordinasi kultural terhadap perempuan.

“Jadi perempuan di Eropa itu kan mengalami supordinasi yang luar biasa. Apalagi ketika sebagian subordinasi itu memang ada akarnya pada pemahaman agama tertentu di Eropa. busana perempuan Eropa yang serba terbuka itu sebenarnya simbol dari protes dan simbol dari tidak sekedar liberasi tapi liberalisasi untuk Bagaimana mengepresspresikan berbagai hal dalam dalam kehidupan mereka,” tuturnya.

Bahkan dalam seni, termasuk seni musik yang motifnya musik Jazz, Prof Mu’ti mengatakan perkembangannya bermula dari orang-orang berkulit hitam di Amerika Serikat bukan dari orang-orang berkulit putih di Eropa. Kehadiran Musik Jazz itu mengekspresikan hal ihwal tekanan politik yang luar biasa. Di bawah tekanan politik itu, maka penawar yang dilakukan oleh orang-orang berkulit hitam dengan cara bernyanyi lewat dendang musik.

Bersamaan dengan itu, Musik Jazz itu bersifat kelas bawah. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu dan berkembangnya zaman, Musik Jazz tampil menjadi kelas atas yang digandrungi oleh masyarakat. Sehingga, Guru Besar Ilmu Pendidikan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menyebut kehadiran seni menjadi salah satu bagian dari pilar peradaban.

“Karena itu kalau kita lihat puncak-puncak peradaban itu di antara ukurannya adalah seni baik itu seni musik seni rupa maupun arsitektur sehingga sekarang kalau orang itu ingin menunjukkan dia sebagai bangsa yang beradab itu pertunjukannya adalah arsitektur,” ucapnya.

Jika melongok di Indonesia, salah satu manifestasi dari kehadiran budaya ialah adanya Masjid Menara Kudus. Kehadirannya sebagai contoh klasik bagaimana Sunan Kudus menggabungkan berbagai unsur dan berbagai nilai dalam warisan budaya Hindu dengan nilai dan warisan budaya Islam.

“Kekuatan Walisongo sebagai sebagai pendakwah Islam di tanah Jawa itu kemampuannya melakukan asimilasi dan juga adaptasi, bahkan adopsi budaya-budaya yang ada di masyarakat setempat itu sebagai sebuah peradaban. Yang dia mungkin masih utuh ditampilkan sebagaimana adanya. Atau diberikan nilai yang berbeda walaupun bentuknya masih sama,” pungkasnya. (Cris)

Exit mobile version