YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Setiap malam 27 Rajab, umat Islam di seluruh dunia memperingati Isra Miraj. Bagi kaum muslim, peristiwa ini bukanlah kejadian biasa. Sebab pada fase inilah Rasulullah mendapatkan risalah penting yang langsung diberikan Allah Swt. Isi dari risalah tersebut bukan hanya perintah melaksanakan salat lima waktu, tapi juga mempertaruhkan keyakinan di antara umat Islam.
“Perjalanan Nabi Saw dari Mekkah ke Baitul Maqdis, kemudian naik ke puncak tertinggi bertemu Allah Swt. Dalam perspektif keimanan, tiada jalan lain untuk menjangkaunya sebab kita hanya bisa meyakininya sebagaimana Abu Bakar,” ucap Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir Sabtu (18/2).
Menurut Haedar, mengimani risalah Isra Miraj harus dimanfestasikan dalam kehidupan sehari-hari. Meyakini perjalanan agung yang telah dilakukan Nabi Saw tersebut harus pula diikuti dengan kebaikan dalam bertutur kata, berpikir, dan bertindak. Selain itu, risalah Isra Miraj harus menjadi pendorong untuk melahirkan etos ilmu. Perpaduan antara iman dan ilmu ini akan melahirkan individu yang memiliki derajat tinggi di hadapan Allah (QS. Al Mujadilah: 11).
“Iman dan ilmu akan membuat kaum muslimin tinggi derajatnya. Maka tidak cukup kita beriman. Kalau kita ingin meningkatkan kualitas hidupnya, berderajat tinggi, dengan semangat Isra Miraj, mari kita tingkatkan kualitas ilmu,” kata Haedar.
Adanya kombinasi antara iman dan ilmu dalam peristiwa Isra Miraj ini memberikan pelajaran agar senantiasa melibatkan dimensi metafisika. Artinya, dalam setiap laku aktivitas sehari-hari termasuk dalam keilmuan, mesti melibatkan aspek-aspek ruhaniah.
“Ilmu tidak sekadar pengetahuan verbal tetapi juga ada dimensi yang bersifat ilmu ilahiyah-profetik,” ucap Haedar.
Menurut Haedar, iman dan ilmu juga mesti melahirkan pribadi yang gemar melakukan amal saleh. Dalam artian, menebarkan kehidupan yang serba utama, membawa pada kondisi yang maslahat, dan menolak segala potensi yang mengandung mudharat—baik untuk diri sendiri, keluarga, atau bahkan lingkungan bangsa kemanusiaan semesta.
Adanya perintah melaksanakan sembahyang lima waktu dalam rangkaian peristiwa Isra Miraj merupakan medium untuk menyucikan hati. Menurut Haedar, dengan salat yang khusyuk, jiwa akan bersih.
“Hati yang khusyu’ akan melahirkan jiwa yang teduh, jiwa yang damai, jiwa yang selalu memancarkan kebaikan. Khusyuk dalam salat juga akan melahirkan jiwa yang suci tapi tidak merasa semuci,” terangnya.
Menurut Haedar, salat juga harus melahirkan aktualisasi kehidupan yang menjauhkan diri dari segala bentuk yang keji dan buruk. Baik di dunia realitas maupun maya, berbagai godaan untuk berbuat keburukan harus dihindari dan dijauhi dengan segenap jiwa.
Haedar juga menegaskan bahwa Isra Miraj harus menjadi momen untuk mempertegas posisi Rasulullah sebagai teladan hidup (uswah hasanah). Pasalnya, Nabi Saw membawa misi untuk menyempurnakan akhlak manusia.
Dengan menempatkan Nabi Saw sebagai kompas moral, maka akan lahir peradaban utama. Karena itulah, ranah publik dan kehidupan tidak akan lagi dikatrol oleh orientasi nilai kegunaan dan pragmatisme, melainkan berpedoman pada nilai-nilai ideal seperti kepantasan, kebenaran, kelaziman, dan lain-lain.
“Mari kita wujudkan kehidupan yang bermoral dan beretika, berakhlak baik dalam kehidupan pribadi, bangsa, dan kemanusiaan semesta, termasuk kehidupan politik, ekonomi, budaya. Kehidupan memerlukan etika, baik dan buruk, pantas dan tidak pantas,” terang Haedar.
Haedar juga mengatakan bahwa Isra Miraj merupakan langkah untuk kembali mengingatkan bahwa salah satu misi Islam ialah membawa rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil’alamin).
“Kita tampilkan Islam yang menebarkan kebaikan serba utama. Rahmat menebar kasih sayang, cinta kasih, bahkan terhadap mereka yang berbeda golongan, dan segala perbedaan lainnya. Sehingga agama dirasakan kemaslahatan dan kebermanfaatannya bagi siapa pun di muka bumi ini dan semesta,” ucap Haedar. (ppmuh/rbs)