Kiai Dahlan dan Ayat-ayat Superlatif
YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Permusyawaratan Muhammadiyah tingkat wilayah Yogyakarta menetapkan Muhammad Ikhwan Ahada sebagai ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Yogyakarta yang baru menggantikan Gita Danu Pranata. Ikhwan terpilih setelah mengantongi 196 suara dari total suara yang masuk sebanyak 3588 dari 276 pemilih. Direktur SDI-AIK PKU Yogyakarta itu tak sendirian, bersama Arif Jamali Muis (196 suara) yang terpilih sebagai Sekretaris PWM Yogyakarta serta 11 orang lain secara resmi ditetapkan sebagai formatur 13 Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Yogyakarta periode 2022-2027 pada Sabtu, 19 Februari 2023 di Universitas Aisyiyah Yogyakarta.
Tak berselang lama setelah keterpilihan Ikhwan melalui sistem e-voting, Musywil ke-13 PWM DIY pun secara resmi ditutup langsung oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir. Dalam sambutannya Haedar menyampaikan permohonan maafnya karena tidak dapat hadir membuka Musywil ke-13 PWM DIY. Ketidakhadirannya di Pembukaan Musywil ke-13 PWM DIY disebabkan karena bebarengan dengan membuka agenda yang sama di Papua. Dalam amanatnya yang berlangsung sekitar setengah jam itu Haedar berpesan agar Muhammadiyah terus menghadirkan pusat-pusat keunggulan di tengah masyarakat.
Setelah berhasil mendirikan lembaga pendidikan dari usia dini hingga Perguruan Tinggi, kini Muhammadiyah mulai menatap untuk mendirikan pusat keunggulan berupa rumah sakit di bumi Papua, tepatnya di Kota Jayapura dan Sorong. Menurutnya, apa yang dilakukan Muhammadiyah ini akan terus berkembang demi melahirkan gerakan yang lebih bermanfaat.
“Saya ke Papua bukan hanya untuk menghadiri Musywil PWM Papua, tapi Pimpinan Pusat Muhammadiyah berazam untuk mendirikan dua rumah sakit di Papua,” ujarnya di hadapan musyawirin yang hadir.
Tuhan di dalam Al-Qur’an banyak sekali mengungkapkan kalimat atau ayat yang bersifat superlatif. Ayat-ayat unggulan yang mendorong hamba-Nya untuk meraih puncak kualitas. Menembus batas. Menginspirasi. Sebagaimana disebutkan dalam QS. Ali-Imran: 104 dan 110 yang sering disebut sebagai ayat inspirasi lahirnya Muhammadiyah selain Al-Maun, yang menurut riwayat Kiai Syuja’, ayat inilah yang paling sering diajarkan Kiai Dahlan kepada murid-muridnya.
Secara lebih spesifik, ayat 104 QS. Ali-Imran menegaskan adanya segolongan umat yang bukan sembarang umat. Umat yang unggul, umat yang di atas rata-rata. Ibnu Katsir merujuk pada hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas menegaskan bahwa satu dari di antara ciri umat terbaik adalah mereka yang memberikan manfaat kepada orang lain dan lingkungan. Bahkan ayat ini selalu dikaitkan dengan ayat di dalam QS. Al-Baqarah: 143 yang menjelaskan bahwa Allah menciptakan umat tengahan sebagai representasi dari umat terbaik. Ciri unggul dari umat ini adalah perannya sebagai pelaku utama yang hadir di tengah masyarakat untuk misi pencerahan dan kemanusiaan.
Dari ayat inilah Kiai Dahlan terinspirasi memiliki cita-cita besar melahirkan sebuah gerakan untuk menyeru kepada hal-hal yang baik dan mencegah dari hal-hal yang buruk. Menurut Kuntowijoyo, ayat ini memilik tiga pesan transformatif yaitu humanisasi (berperan sebagai khalifah), liberasi (membebaskan, membuat orang yang lemah menjadi berdaya), dan yang terakhir proses transendensi (relasi vertikal dengan Allah yang dari relasi itu melahirkan sublimasi iman dan taqwa yang menciptakan kesalihan).
“Dalam konteks ini kita menjadi paham mengapa Muhammadiyah lahit. Yaitu untuk menjadi kelompok terbaik yang menjalankan fungsi dakwah dalam tiga dimensi, bayani, burhani, dan irfani. Sekaligus juga membawa misi pembaharuan,” tegas Haedar.
Pertanyaannya, kenapa Muhammadiyah perlu membawa misi pembaharuan? Karena Islam itu adaptif menjawab tantangan zaman dan kehidupan. Maka Islam harus membawa pesan pembaharuan. Sehingga muncullah deklarasi dari hadist Nabi tentang mujadid, akan hadir pada setiap seratus tahun seorang mujadid, seperti Kiai Dahlan yang diusianya ke-21 tahun ia sudah mulai merintis sekolah, meluruskan arah kiblat dan kemudian mendirikan Muhammadiyah.
“Konteks ini menjadi penting agar kita sadar betapa beratnya tantangan kedepan, khususnya Muhammadiyah Jogja sebagai tempat lahirnya Muhammadiyah. Inilah poin penting yang pada penutupan kali ini akan saya sampaikan,” ujarnya.
Tantang baru di Ibu Kota Muhammadiyah
Pertama, tantangan globalisasi dan modernisasi abad ke-21 menimbulkan perubahan yang spektakuler. Hal ini menyebabkan hubungan relasi antar manusia menjadi tanpa batas dan tanpa sekat. Sehingga Muhammadiyah era ini perlu untuk melintas batas. Kita akan menjadi kuno jika hanya berkutat pada urusan pribadi, tanpa memperdulikan urusan umat yang lebih besar. Meminjam Hasyim Muzadi, orang yang tidak berbuat apapun untuk kemaslahatan umat, justru akan dililit oleh permasalahannya sendiri.
Pada forum tersebut Haedar menuntut Muhammadiyah DIY untuk menjadi representasi Muhammadiyah yang unggul dan berkemajuan. Hal ini tidak lepas dari kritiknya kepada lembaga pendidikan Muhammadiyah DIY yang perlu segera naik kelas. Menurutnya tantangan ini tidak cukup jika hanya dihadapi dengan kapasitas kepemimpinan yang biasa-biasa saja. Tapi memperlukan kapasitas yang superlatif sebagaimana ditunjukkan oleh Allah pada firman-firmannya.
Menurutnya Muhammadiyah era ini berada di dalam kehidupan yang sangat cair. Permasalahannya adalah bagaimana kita tetap memiliki identitas diri, namun pada saat yang sama membuka interaksi seluas-luasnya untuk memberikan pengaruh dan energi positif dari nilai keislaman yang kita hadirkan.
Kedua, era ini membutuhkan tasoruf kita untuk menghidupkan kembali tradisi iqra, tanadhor, tafakur, tadabbur, dan tradisi ulul albab. Hidupkah itu di Muhammadiyah dan Aisyiyah? Satu menit saja kita sekarang tidak membaca akan tertinggal dari orang lain. Padahal dahulu Kiai Dahlan meski bukan lulusan dari lembaga pendidikan umum, Dahlan muda justru menyerap ide-ide pembaharuannya lewat persentuhannya dengan pikiran-pikiran Muhammad Abduh.
“Saya berani menyimpulkan bahwa pikiran Kiai Dahlan lebih dekat kepada Pembaharu Islam bernama Abduh daripada dengan pembaharu Islam yang lain. Dan dari kitab-kitab yang dibaca oleh Kiai Dahlan adalah al-Manar, Qoamul Wustha, dan beberapa kitab Al-Ghazali tentang tasawuf. Maka saya juga tidak paham sejak kapan Muhammadiyah anti dengan tasawuf. Muhammadiyah memaknai tasawuf dengan ihsan, bukan dengan tariqah,” ujarnya.
Dalam konteks ini Muhammadiyah dan Aisyiyah perlu membuka diri terhadap perubahan. Merespon perubahan dengan banyak membaca dan memperkaya pemikiran seperti yang dilakukan oleh para pembaharu Islam terdahulu. Menghidupkan kembali tiga dimensi, bayani, burhani, dan irfani. “Pulang dari Musywil ini saya minta untuk membaca kembali seluruh pemikiran Muhammadiyah dan Aisyiyah. Ini baru modal awal untuk memahami Muhammadiyah dan Aisyiyah. Mohon maaf dengan segala kerendahan hati, banyak yang paham kepribadian Muhammadiyah, tapi dalam prakteknya dalam bermuhammadiyah tidak seperti itu,” ungkapnya.
Ketiga, Muhammadiyah adalah gerakan, maka kita harus terus menghadirkan kemajuan-kemajuan. Di abad kedua ini Muhammadiyah telah banyak memiliki amal usaha yang maju, mulai dari pendidikan, kesehatan, sosial, dan lain sebagainya. Namun dalam situasi uforia ini Muhammadiyah tidak boleh merasa jumawa. Merefleksi diri. Jangan-jangan kita tertinggal dari yang lain.
Keempat, menghidupkan risalah Islam berkemajuan. Poinnya, di tengah lalu lintas tantangan modernisasi dan globalisasi, revitalisasi agama telah banyak melahirkan paham keagamaan, dari yang paling kiri, orang menyebut liberal dan sekuler, sampai yang kanan, orang menyebut fundamentalis, ekstrimis. Melihat kenyataan ini Muhammadiyah harus bisa menentukan posisioning yang tepat. Bagaimana Muhammadiyah menghadirkan Islam yang berkemajuan dengan sikap tengahan.
Kelima, melahirkan kepemimpinan yang bercorak pergerakan. Ini adalah ciri utama kepemimpinan Muhammadiyah dan Aisyiyah. Kepemimpinan pergerakan merupakan kepemimpinan yang selalu ingin melakukan perubahan dan pembaharuan. Di era saat ini, tidak cukup jika hanya bermain aman. Bukan hanya mengendarai gelombang agar sampai ke tempat tujuan. Kita juga perlu menyelam ke dasar lautan untuk membaca dan kemudian mengatur gelombang. Muhammadiyah era ini butuh penyegaran agar tetap eksis di tengah arus kehidupan. (diko)