Oleh: Mohammad Fakhrudin
Menasihati dengan hati
mencegah kemunkaran
dengan keramahan
bukan dengan kemarahan
Telah dipaparkan pada Belajar pada Kata dan Peristiwa (8), Suara Muhammadiyah edisi 2023/02/17, bahwa pada dasarnya tiap keluarga pasti menghadapi masalah. Pada edisi itu disebutkan secara garis besar ada dua sumber utama masalah, yaitu internal dan eksternal.
Hal penting yang perlu kita pahami lebih baik lagi berkaitan dengan sumber masalah adalah persepsi. Di dalam kenyataan terdapat perbedaan persepsi tentang sumber masalah.
Boleh jadi, ada benda yang sama, tetapi disikapi dengan persepsi yang berbeda. Perbedaan persepsi itu berpengaruh terhadap cara menyikapi benda itu.
Pada era gawai, ada orang tua yang mempunyai persepsi bahwa benda ajaib itu merupakan sumber inspirasi, baik bagi orang tua maupun bagi anak. Namun, orang tua lain mempunyai persepsi bahwa gawai itu sumber masalah.
Tentu ada orang tua lain lagi yang mempunyai persepsi di antara kedua kutub yang ekstrem itu. Dia mempunyai persepsi bahwa gawai itu netral. Menjadi sumber inspirasi atau sumber masalah bergantung pada orang yang menggunakannya
Ada kasus lain yang berhubungan dengan perbedaan persepsi. Ada mahasiswa gagal ujian dan ada pula mahasiswa lulus dengan predikat pujian. Terhadap kegagalan mahasiswa tersebut dapat saja timbul persepsi yang berbeda.
Ada orang yang mempunyai persepsi bahwa kegagalan atau kesuksesan studi itu berhubungan dengan keseriusan belajar dan kecerdasan otaknya. Tidak tertutup kemungkinan ada orang lain yang memersepsikan bahwa kegagalan atau kesuksesan studi itu berkaitan dengan keseriusan belajar dan berdoa.
Di samping itu, ada kenyataan anak yang masuk kategori pintar, tetapi gagal ujian. Terhadap kasus ini pun, ada yang memersepsikan bahwa kegagalan itu berkaitan dengan pembelajaran bagi mahasiswa yang bersangkutan agar tidak menganggap dirinya paling hebat, sedangkan orang lain dianggapnya bodoh. Tentu ada orang lain lagi yang mempunyai persepsi yang berbeda.
Ada hal penting lain yang perlu pula kita pahami baik-baik, yakni mengenal masalah. Ternyata tidak setiap orang dapat mengenali masalah, termasuk masalahnya sendiri. Boleh jadi, karena tidak mempunyai pemahaman tentang sumber masalah secara tepat, seseorang gagal dalam upaya menyelesaikan masalahnya.
Pada Belajar pada Kata dan Peristiwa (9) disajikan kisah nyata pernikahan ART dan teman yang GR. Semoga kisah nyata ini menginspirasi.
Mengenali Masalah
Ada beberapa hal penting yang perlu mendapat penekanan dari Belajar pada Kata dan Peristiwa (8), yakni (a) untuk menyelesaikan masalah diperlukan kemampuan berkomunikasi yang tidak hanya berdasarkan kecerdasan intelektual, tetapi juga kecerdasan sosial, kecerdasan emosi, dan yang terpenting adalah kecerdasan spiritual dan (b) bahwa al-Qur’an berfungsi secara efektif sebagai pendamai bagi orang beriman.
Sekadar mengingatkan kembali bahwa masalah hakikatnya adalah kesenjangan antara das sollen dan das sein. Das sollen adalah kenyataan atau keadaan yang dicita-citakan, sedangkan das sein adalah keadaan nyata. Jadi, masalah merupakan kesenjangan antara keadaan yang dicita-citakan dengan keadaan yang nyata.
Berikut ini disajikan beberapa contoh kasus yang berkaitan dengan ketidaktahuan akan masalah yang dihadapi oleh pengalamnya sendiri. Akibatnya, timbul kegagalan memilih solusi.
Ada cowok berkali-kali jatuh cinta, tetapi jatuh terus. Sekali pun dia tidak pernah bercinta. Dia selalu merasa dikhianati. Dia sama sekali tidak merasa telah melukai hati cewek yang diharapkan mencintainya, baik dengan kata maupun dengan perbuatannya.
Ada lagi. Suami istri hampir tiap hari bertengkar. Malahan, istri sampai pulang ke rumah orang tuanya karena merasa sudah tidak nyaman lagi tinggal bersama suami. Hal itu jelas bertentangan dengan cita-cita awal membangun rumah tangga. Mereka lupa pada masa-masa indah sebelumnya.
Ada pernikahan yang hanya berusia satu tahun, satu bulan, satu pekan, bahkan, satu hari. Perceraian terjadi bukan karena meninggalnya suami atau istri, melainkan karena kegagalannya menyelesaikan masalah. Kegagalannya itu terjadi karena ketidakmampuannya mengambil keputusan berdasarkan analisis masalah sejak awal.
Agar dapat menyelesaikan masalah, diperlukan kemampuan menganalisis (penyebab) masalah. Idealnya tiap orang dapat melakukannya sendiri. Namun, dalam kenyataan tidak selalu demikian. Karena demikian yang terjadi, kehadiran orang lain sangat penting.
Orang lain itu adalah kepercayaannya: mungkin orang tua, teman, guru, dosen, psikolog, ustaz, atau tetangga. Kadang-kadang ada anak yang tertutup pada orang tuanya, tetapi terbuka kepada guru, dosen, teman, psikolog, ustaz atau tetangga. Karena mau membuka hati dan pikirannya, dia memperoleh solusi atas masalah yang dihadapinya.
Ada pula orang yang merasa “sok” dapat mengatasi masalahnya sendiri. Namun, ujung-ujungnya dia depresi, bahkan, ada pula yang bunuh diri.
Untuk menganalisis (penyebab) masalah diperlukan pendataan berbagai kemungkinan. Lalu, dipastikan kemungkinan yang paling signifikan.
Cukup banyak orang bermasalah jika melakukan analisis (penyebab) masalah yang dialaminya sendiri, ketika sampai pada tahapan mendata berbagai kemungkinan penyebab internal, keobjektifannya menurun atau malah hilang sama sekali. Bahkan, dia lebih sibuk menganalisis sebab eksternal dan sudah pasti simpulannya sangat subjektif, yakni kesalahan ada pada orang lain.
Lain halnya orang bermasalah yang berpendidikan rendah dan kurang luas pergaulan. Mereka memang tidak tahu.
Oleh karena itu, untuk mereka, bantuan orang lain yang kompeten sangat penting. Orang lain ini dapat lebih objektif sehingga simpulannya pun objektif.
Pernikahan ART
Ada kabar bahwa ART kami akan menikah. Tentu kami sangat senang. Namun, kegembiraan kami hilang ketika mendengar bahwa lelaki yang akan menikahinya nonislam.
Kami merasa berkewajiban menasihatinya agar pernikahan itu tidak terjadi. Orang tua ART menjelaskan bahwa calon menantunya siap jadi muslim.
Kami agak lega. Namun, kami teringat akan beberapa kasus yang serupa. Ada lelaki yang bersedia menjadi muslim ketika akan menikah. Oleh karena itu, pernikahan pun dilaksanakan sesuai dengan syariat Islam.
Beberapa saat setelah pernikahan, lelaki itu mulai berulah. Dia tidak lagi salat dengan tertib. Lama-lama dia sama sekali tidak salat, termasuk salat Jumat. Alasannya bermacam-macam.
Dia selalu minta agar istrinya tetap tenang dan tidak merisaukan dirinya meskipun tidak salat. Dia meyakinkan istri bahwa dirinya sangat mencintainya.
Pada bulan Ramadan dia ikut berpuasa, bahkan, ikut menyiapkan buka dan sahur. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, jabatannya naik. Dengan alasan sering tugas luar atau sangat sibuk menerima tamu, puasanya mulai tidak genap satu bulan. Meskipun demikian, dia tetap menemami istri (menyiapkan) buka dan sahur.
Keadaan yang seperti itu berlangsung ada yang 5 tahun, 10 tahun, dan ada pula yang sampai 15 tahun. Setelah anaknya 3 orang atau malah ketika istrinya sedang hamil, dia kembali ke agama semula. Niat aslinya ditampakkan dengan jelas.
Ketika menghadapi kenyataan itu, ada istri yang “demi anak” mempertahankan keluarga. Ada istri yang lebih memilih Allah Subhananu wa Ta’aala dan Rasul-Nya. Berkenaan dengan itu, dia memilih menggugat cerai.
Ada pula suami yang “menggantung” status perkawinan. Lalu, anaknya yang kecil sering diajak ke tempat peribadahannya. Pada awalnya anaknya dibiarkan bermain, tetapi lama-lama diajak beribadah. Akhirnya, anaknya itu pun ikut ayahnya.
Saya ingat juga akan ceramah Bu Irena Handono. Beliau mengatakan bahwa dalam rangka pemurtadan ada program “hamilisasi.” Gadis muslimah, bahkan dari keluarga berpengaruh, dihamili lebih dulu agar diizinkan dinikahinya. Kami berdoa pengalaman buruk itu tidak menimpa pada ART kami.
Pernikahan ART pun berlangsung menurut syariat Islam karena lelaki yang menikahinya mau menjadi muslim. Kami hadir dalam pernikahan itu. Tidak lupa pesan pada ART agar tetap melaksanakan syariat Islam dan mengajak suaminya juga. ART kami mengiyakan.
Karena dia sangat akrab dengan kakeknya, kami menemui kakeknya. Tidak lupa kami pesan agar cucunya tidak beralih akidah. Kakeknya meyakinkan kami bahwa cucunya tetap dalam bimbingannya. Kami lega.
Sudah satu pekan menikah, tetapi tidak ada tanda-tanda suaminya mau melaksanakan syariat Islam. ART merasa ditipu. Oleh karena itu, dia tidak mau tidur bersama suaminya.
Usia perkawinan mereka dua pekan. Tiga pekan. Empat pekan. Suami tetap tidak melaksanakan syariat Islam.
Mereka bercerai.
Alhamdulillahi rabbil ‘aalamiin! Perceraian halal, tetapi dibenci Allah Subhanahu wa Ta’aala. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’aala mengampuni kami.
Teman yang GR
Selepas asar, tetapi udara masih terasa panas. Demi teman, meskipun baru pulang kuliah dan baru seperempat jam istirahat di rumah kontrakan, saya memenuhi ajakan teman untuk ke rumah kontrakan Dik Endah.
Kami berjalan. Jarak yang kami tempuh hampir satu kilometer. Untuk ukuran mahasiswa S1, jarak itu tidak jauh. Juga tidak melelahkan. Sampai di depan rumah kontrakan Dik Endah, tidak ada yang kami bicarakan.
Pintu rumah kontrakan Dik Endah tertutup. Teman saya, yang biasa saya panggil Mas Jur, mengetuk pintu. Tidak lama kemudian, Dik Endah membuka pintu. Di menyilakan kami masuk. Mas Jur langsung berbicara dalam posisi berdiri sehingga saya pun berdiri. Dik Endah juga.
“Apa maksudmu kemarin, Dik?” tanya Mas Jur dengan nada tinggi kepada Dik Endah.
Dik Endah bingung. Barangkali di hatinya dia bicara, Ada tamu belum disilakan duduk sudah langsung bicara dengan nada tinggi lagi. “Em maksud … Mas Jur?”
“Kemarin sore itu, loh!”
“Apa, ya?”
“Kemarin jalan sama siapa?”
“Oh, Itu. Itu temanku, Mas.”
“Teman? Kok tangannya ….” Mas Jur tidak melanjutkan karena yakin bahwa Dik Endah sudah paham maksudnya. Ketika pulang dari kampus, Mas Jur berpapasan dengan Dik Endah yang digandeng laki-laki. Mas Jur sangat cemburu. Kejadian itu sepertinya memang disengaja oleh Dik Endah.
“Dia memang romantis, Mas!”
“Jadi, dia …?”
“Ya, Mas. Betul! Dia pacarku!”
Pengakuan itu terasa mak jleb di dada Mas Jur. Tak sepatah kata pun terucap. Lalu, dia meninggalkan rumah kontrakan Dik Endah tanpa pamit dan membiarkan begitu saja saya berdiri di ruang tamu. Dik Endah makin bingung. Saya juga, bahkan, malu dan kecewa.
“Maafkan Mas Jur, ya, Dik.”
“Ya, Mas. Tidak apa-apa! Lagi pula, saya sudah kesal. Dia telah merendahkan saya. Masak dia kepada teman-teman saya mengatakan bahwa saya perempuan tidak punya harga diri; tidak tahu sopan santun karena sering datang ke rumah kontrakannya. Apalagi, datang pada waktu dia istirahat setelah seharian bekerja. Terus terang, ya, Mas. Saya datang ke rumah kontrakannya karena dimintanya. Dia yang menyuruh”
“Oh. Benarkah?”
“Ya, Mas.”
Saya tidak berkomentar apa pun karena sebenarnya sudah sering juga mendengar sendiri. Saya memilih mengalihkan topik pembicaraan. “Oh, ya. Maaf. Tentang lelaki yang dimaksud Mas Jur?”
“Dia pacar saya. Mas Jur itu cuma teman biasa karena kakak tingkat dan satu jurusan. Dia saja yang GR.”
Saya segera pamit untuk mengejar Mas Jur. Saya khawatir dia berbuat nekad. Dia terkejar juga.
“Jika sudah begini, untuk apa saya hidup?” Mas Jur mulai putus asa.
“Jangan putus asa, Mas!” saya menasihatinya.
“Percuma saya hidup!” Nafasnya mulai tidak teratur. Langkahnya mulai gontai.
Kami sampai di rumah kontrakan menjelang magrib karena dia berjalan tanpa tenaga. Beberapa kali dia berhenti. Saya berhenti juga. Lagi pula, ketika berhenti, terjadi diskusi jalanan.
Mas Jur bertemu dengan Dik Sri. Sambil pamit untuk selamanya, dia menyerahkan jam tangannya kepada Dik Sri. Katanya untuk kenang-kenangan. Dik Sri bingung.
Mas Jur masuk kamar, sedangkan saya menuju sumur untuk mengisi padasan. Setelah berwudu, saya menuju kamar. Dia dan saya satu kamar dan satu tempat tidur.
Ketika sampai di depan pintu kamar saya melihat dia akan minum obat luka kakinya yang tidak boleh diminum. “Mas, apa yang Mas lakukan?” saya berteriak. Saya meloncat dan berhasil menangkap tangannya untuk merebut botol yang berisi obat itu dan untuk menggagalkan niat gilanya itu.
“Buang, Mas! Buang!” teriak saya lagi.
“Tidak!”
“Jangan melakukan tindakan bodoh, Mas. Memalukan! Buang, Mas! Mas calon sarjana!”
Dia tetap memegang botol dengan kuat. Saya mengancamnya. “Dengar! Saya berteriak sekeras-kerasnya agar orang-orang berdatangan jika Mas nekad. Mas tidak malu?” Saya mendekapnya erat-erat. Botol dapat saya kuasai. Dia merebahkan kepalanya di dada saya.
Dekapan saya makin kuat. Dari kelopak matanya mengalir air matanya deras sekali. Saya rebahkan dia di tempat tidur. Saya temani. Saya salat magrib di sebelah tempat tidur.
Hampir semalam suntuk saya dekap sambil menasihatinya agar mohon bantuan pada Allah Subhanahu wa Ta’aala. Saya bimbing salat. Sampai hampir menjadi sarjana dia memang baru setahun dua kali salat, yakni salat ‘idain.
Ketika pukul 02.00 dia ke kamar mandi, saya ikuti. Saya khawatir dia bunuh diri dengan cara terjun ke sumur.
Azan subuh terdengar. Dia mau salat.
Pada hari-hari berikutnya dia pun salat, kecuali salat Jumat. Masih malu katanya. Hatinya mulai tenang. Memang demikianlah dengan berzikir (salat), hati menjadi tenteram sebagaimana dijelaskan di dalam al-Qur’an surat ar-Ra’d (13): 28
الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَطْمَىِٕنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللّٰهِ ۗ اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُ ۗ ٢٨
‘(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan mengingat Allah hati tenteram.”
Alhamdulillahi rabbil ‘aalamiin
Mohammad Fakhrudin, warga Muhammadiyah tinggal di Magelang Kota