YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah — Universitas Muhammadiyah Yogyakarta menyelenggarakan kegiatan 2nd International Seminar on Regional Tajdid (Seminar Tajdid Serantau Kali Ke-2), Kamis (2/3). Penyelenggaraan ini berkolaborasi dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Jawatan Kuasa Fatwa Negeri Perlis Sempena Malaysia.
Turut hadir Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Tarjih dan Tajdid, Prof Dr H Syamsul Anwar, MA, Mufti Negeri Perlis Dato’ Arif Perkasa Dr Mohd Asri Zainul Abidin, Rektor Kolej Universiti Islam Perlis Prof Dr Muhammad Rozaimi bin Ramle, Wakil Rektor Al Islam dan Kemuhammadiyahan UMY, Faris Al-Fadhat, SIP., MA., PhD, Ketua LPPI UMY, Dr H Khaeruddin Khamsin, Lc., LLM., MA, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa UMY, H Talqis Nurdiyanto, Lc., MA. PhD, dan beberapa tamu undangan lainnya.
Dalam seminarnya, Prof Syamsul mengatakan bahwa dalam membincangkan persoalan keluasan fiqih, maka perlu dihadirkan pemahaman agama secara komprehensif. Menurut pandangan Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, agama yakni agama Islam merupakan apa yang diturunkan Allah di dalam al-Qur’an dan yang tersebut dalam as-Sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia maupun di akhirat.
Berangkat dari memahami pandangan agama yang utuh, maka akan ditemukan cabang-cabang dari ajaran agama Islam. Yakni pertama cabang yang mendasari persoalan akidah. Kedua cabang akhlak. Ketiga cabang ibadah. Dan keempat cabang mu’amallah dunyawiyah.
Dalam putusan Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, salah satu hal elementer yang menjadi pokok dari kehidupan ialah cabang ibadah dan cabang mu’ammalah dunyawiyah dalam arti yang inklusif.
“Inilah yang masuk dalam wilayah fiqih. Kata orang Malaysia fikah,” ujarnya.
Dengan latarbelakang itu, maka untuk bisa memahami keluasan fiqih, harus melihat manhaj (metodenya). Yang Muhammadiyah mengistilahkannya sebagai Manhaj Tarjih. Adalah suatu sistem yang memuat seperangkat wawasan atau pendekatan pada prosedur-prosedur tertentu. Dari sinilah dapat dijadikan pegangan dan pedoman hidup untuk dijalankan oleh warga Persyarikatan Muhammadiyah.
Menurut Guru Besar Bidang Hukum Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta itu menyebut dalam Manhaj Tarjih, setidaknya ada empat komponen penting. Pertama komponen wawasan. Kedua komponen sumber. Ketiga komponen pendekatan. Dan keempat komponen metode teknis.
Dari keempat komponen tersebut, terdapat derivatif yang kemudian membuka ruang aktualisasi perluasan fikih. Pada prinsipnya, perspektif dan sudut pandang. Muhammadiyah bersudut pandang mengarah berdasarkan paham agama yang umum. Kemudian tidak terikat pada mazhab tertentu. Dan berperspektif tajdid yang sifatnya memperbaharui.
“Nah ini perspektif. Sumbernya Al-Qur’an dan As-Sunnah ditambah dengan sumber-sumber tesktual lainnya,” ujarnya.
Agar bisa memahami pandangan fikih secara komprehensif (kaffah), Prof Syamsul mengatakan dibutuhkan jangkar atau pendekatan secara bayani, burhani, dan irfani. Pendekatan bayani sebagai pendekatan dengan bersumbu pada nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sementara pendekatan burhani meletakkan basis ilmu pengetahuan. Dan pendekatan irfani menjadi upaya untuk memupuk kedalaman dan kesadaran batin dalam melihat perkembangan masyarakat dan juga dalam melakukan ijtihad. (Cris)