YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Jawatan Kuasa Fatwa Negeri Perlis Malaysia dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah berkolaborasi dalam penyelenggaraan 2nd International Seminar on Regional Tajdid pada 2 Maret 2023 di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Seminar bertema “Keluasan Fikih” ini menghadirkan narasumber Mufti Negeri Perlis Dato’ Arif Perkasa Dr Mohd Asri Zainul Abidin; Rektor Kolej Universiti Islam Perlis Prof Dr Muhammad Rozaimi bin Ramle; Ketua PP Muhammadiyah Prof Dr Syamsul Anwar; Ketua LPPI UMY Dr Khaeruddin Khamsin.
Menurut Mufti, fikih merupakan ilmu yang berhubungan dengan hukum syara’ yang dipraktiskan, ilmu itu diambil daripada dalil-dalinya yang detail. Di antaranya Al-Quran, Hadis, Ijma’, Qiyas, dan sumber-sumber lain.
Permasalahan fikih muncul di kemudian hari. “Jika Rasulullah masih hidup, semuanya bisa ditanyakan kepada Nabi.” Meskipun di masa Nabi, dalam waktu tertentu ketika ditugaskan keluar daerah, baru para sahabat berijtihad. Dalam ijtihad itu terjadi perbedaan hukum.
Setelah Nabi wafat, para sahabat berijtihad. Setiap ahli fikih punya kecenderungan pribadi. Para sahabat tidak satu pandangan. Ibnu Abbas punya pandangan yang luas, Ibnu Umar cenderung agak literal. Artinya, kesadaran tentang keluasan/pembaharuan ini bukan hal baru.
Di masa selanjutnya, lahir banyak fukaha. Ada Jakfar Al-Shadiq, Abu Hanifah, Imam Syafii, Imam Al Auza’i, Sufyan Al-Tsauri, Al-Lais bin Saad, Sufyan bin Uyainah, Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Dzahabi, Al-Thabari, Ishaq bin Rawuyah, dan lain sebagainya. “Artinya, banyak sekali Mazhab fikih, bukan hanya empat. Itu the most prominent,” tukasnya. Penerus mazhab juga berbeda. Sebagai contoh, Abu Hanifah sangat luas, tetapi misalnya, pengikut mazhab Hanafi di Cina masih keukeuh menjadikan khutbah Bahasa Arab di Cina.
“Dalam tradisi kesarjanaan, tidak patut jika ada banyak sumber, kita hanya membaca satu sumber.” Umat Islam harus melihat fikih yang luas, dikarenakan dunia terus berkembang. Kadidahnya: nash itu terbatas, tetapi kejadian terus berkembang. Tugas para fukaha untuk mendialogkan antara nash (dalil) dan waqi’ (realitas).
Fikih itu berkembang dan tidak pernah final. “Ada yang memilih ikut satu Mazhab fikih, itu tidak salah, selama tidak fanatik. Fanatik itu enggan berubah atau tidak mau menerima pandangan yang lain meskipun dasar pandangannya sudah tidak tepat,” kata Mufti Perlis.
Kerangka pemahaman agama itu luas. Mufti memberi contoh. Dalam Hadis Dajjal misalnya dikatakan bahwa Dajjal berada di dunia ini selama 40 hari. Dalam sehari ada yang seperti satu tahun, ada sehari seperti satu bulan, ada sehari seperti seminggu, dan hari-hari lain sama. Ada sahabat yang tanya, apakah cukup kami salat hanya 5 kali dalam hari yang seperti satu tahun itu. Kata Nabi, ukur dan perkirakan waktunya.
Mufti Perlis sempat menjelaskan bahwa Jawatan Kuasa Fatwa mentarjihkan (menilai dan memilih) pandangan-pandangan hukum, tidak terikat dengan hanya satu mazhab fikih, sebaliknya membahas dan mentarjihkan pandangan fikih yang ada dalam empat mazhab fikih dan sumber lainnya. Prinsip tidak terikat pada satu mazhab itu bukan berarti anti mazhab. Prinsip ini serupa dengan prinsip Majelis Tarjih.
Prof Dr Muhammad Rozaimi bin Ramle Rektor Kolej Universiti Islam Perlis memaparkan tentang kaitan antara Sunnah dan Fikih. “Sunnah ialah sumber keluasan fikih,” katanya. Sunnah itu apa saja yang berasal dari Nabi, yang termasuk perkataan, perbuatan, ketetapan, atau taqrir (persetujuan). Sementara Hadis adalah apa yang disandarkan kepada Nabi dari perkataan, perbuatan, ketetapan, atau taqrir Nabi, belum tentu shahih.
Menurut Rozaimi, hadis merupakan sumber hukum yang penting. Tentang Hadis, kata Nabi, hendaklah yang mendengar menyampaikan kepada yang tidak hadir. “Hadis tidak dapat dipisahkan dari fikih,” katanya. Imam Syafii dikenal sebagai ahli fikih dan sekaligus ahli Sunnah.
Ketika Imam Malik menulis Kitab Al-Muwatta, penguasa saat itu ingin menggantungkan kitab itu di Kakbah, menjadikan sebagai kitab Hadis dan mazhab resmi. Imam Malik menolak, sebab merasa bahwa di setiap tempat ada imam fikih masing-masing yang memahami fikih sesuai konteks zaman dan tempat.
Imam Malik, kata Muhammad Rozaimi, juga paham bahwa ada banyak kitab Hadis. Misalnya ada yang dinamakan Kitab Muwatta, Kitab Sunan, Kitab Jami’. Semuanya punya kekhasan tersendiri. Keadaan kitab-kitab Hadis mempengaruhi kitab-kitab Fikih.
“Di zaman sekarang, tidak mungkin kita hidup dengan hanya berpegang pada satu Mazhab,” ujarnya. Misalnya dalam tawaf haji, mazhab Syafii menyebut batal wudhu jika menyentuh lawan jenis. Atau dalam hal jual beli di platform digital, mustahil menerapkan ketentuan mazhab fikih tertentu tentang keharusan ucapan sigat jual beli. (Ribas)