Oleh: Caesar Marga Putri
(PhD Student di Universitat de Barcelona, Ketua Majlis Pemberdayaan Perempuan PCIM Spanyol dan Dosen Prodi Akuntansi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta)
Di era yang serba digital saat ini, sebagian orang berfikir bahwa perpustakaan tidak diperlukan lagi. Perpustakaan, mungkin dianggap sebagai tempat yang membosankan dan juga tidak menarik bagi sebagian orang. Saya mengenal mengenal perpustakaan pertama kali di bangku sekolah dasar. Perpustakaan sekolah kala itu hanya sebuah ruangan yang difungsikan sebagai “perpustakaan” dengan berbagai buku certia tua dengan sampul yang lusuh. Saat saya melanjutkan kuliah di sebuah universitas yang berada di Kota Pelajar, Yogyakarta, perpustakaan yang saya kunjungi adalah perpustakaan kampus dengan buku-buku mata kuliah. Di luar kampus, saya tidak pernah menemukan perpustakaan, entah saya yang tidak tahu atau memang tidak ada. Namun sesudah lulus, saya harus membuat surat keterangan bebas buku dari perpustakaan daerah, dan itu pertama kalinya saya ke sana, mendapatinya tidak lebih “menarik” dari perpusustakaan kampus.
Tidak seperti di Indonesia, perpustakaan yang dalam bahasa Spanyol disebut Biblioteca, keberadaanya seperti kantor kelurahan, yang selalu ada di setiap wilayah. Saya yang memiliki pengalaman masuk ke perpustakaan di Indonesia yang harus menitipkan tas, jaket dan meninggalkan kartu identitas, membuat saya enggan mencoba masuk ke Biblioteca. Namun ketika saya masuk pertama kali, saya tidak mendapati apa yang saya bayangkan sebelumnya, tidak ada keribetan-keribetan yang selama ini saya bayangkan. Kita masuk seperti masuk pusat perbelanjaan, bebas asalkan tetap menjaga ketenangan karena pintu masuk ruang perpustakaan selalu memasang logo larangan bersuara, atau menuliskan kata silent.
Sedikit menengok sejarah bahwa ketika Islam mengalami kejayaanya di Spanyol, salah satu perpustakaan yang didirikan adalah perpustakaan Khalifah Ummayah didirikan di Cordoba, Spanyol. Perpustakaan ini menajdi salah satu dari tiga perpustakkaan terbesar di dunia Muslim selain perpustakaan Abbasid ‘House of Wisdom’ di Baghdad, perpustakaan Khalifah Fatimid di Kairo. Pada masa keemasannya, umat muslim sangat menaruh perhatian pada ilmu pengetahuan dan mencatatnya dalam bentuk buku maupun manuskrip. Dikutip dari Libraries of the Muslim World (859-2000) oleh Zakaria Virk, perpustakaan Arab pertama kali didirikan oleh Khalifah Muawiyah ibn Abi Sufiyan (602-680) di Damascus. Namun ada satu perpustakaan yang terkenal, menjadi salah satu perpustakaan tertua dan masih beroprasi saat ini, Namanya al-Qarawiyya. Perpustakaan ini didirikan tahun 859 M oleh seorang perempuan bernama Fatima El-Fihriya. Perpustakaan ini menjadi bagian dari salah satu Universitas tertua yang terletak di Fez, Maroko, Universitas Al Qarawiyyin. Di Perpustakaan tersebut, selain tersimpan banyak manuskrip dan buku berisi ilmu pengetahuan, juga terdapat Al-Quran yang di tulis abad ke-9 yang ditulis dengan kaligrafi Kufik dan sebuah manuskrip yang ditulis oleh seorang filusuf Spanyol Bernama Ibn Rushd pada abad ke-12 yang semuanya masih tersimpan dengan baik di sana. Perpustakaan Al Qarawiyyin ini pula yang memerankan peran penting dalam mentransfer ilmu pengetahuan dari cendekiawan muslim ke Eropa, yang mengubah Eropa dari jaman kegelapan menjadi keemasan saat ini.
Kembali ke masa sekarang, saya akan ceritakan salah satu perpustakaan di Barcelona, Spanyol bernama perpustakaan Tecla Sala, yang terletak di wilayah Torrasa. Perpustakaan ini awalnya adalah pabrik textile Tecla Sala yang dibangun tahun 1854 dan di kategorikan sebagai warisan budaya lokal yang dilindungi di Spanyol. Saat ini selain difungsikan sebagai perpustakaan, ex-pabrik ini juga difungsikan sebagai pusat budaya (Tecla Sala Art Centre), Art Workshop, pusat Studi dan sebagai tepat Arranz-Bravo Fundation.
Perpustakaan Tecla Sala sendiri, mengabil proporsi ruang sebesar sekitar 4.600m2 yang dibagi menjadi dua lantai, lantai satu dan lantai dua. Karena posisi perpustakaan bukan di lantai dasar, maka akses masuk ke perpus dibagai dua dengan berjalan melewati jalur pejalan yang agak menanjak dan jalur lift bagi para lansia dan difabel. Masuk memalui pintu jalur pejalan, pertama kali kita akan menemui semacam pantry dan vending machine, diperuntukkan bagi yang akan membeli makanan dan minuman atau yang akan menghabiskan bekal makanan siang. Di situlah satu-satunya tempat yang diijinkan untuk makan siang atau menerima telpon. Setelah itu kita akan menemui security post, dan disampingnya terdapat prototype wilayah L’Hospitalet de LLobregat. Sebelum masuk ke ruangan perpustakaan, tepat di sampinya ada sebuah aula yang biasanya digunakan untuk aktivitas seperti dialogue, theatre dan lain sebaginya.
Menariknya lagi, Perpustakaan di sini diperuntukan bagi semua usia, mulai balita hingga lansia. Perpustakaan untuk anak-anak dan lansia terpisah dengan perpustakaan usia produktif hal ini dikarenakan kebutuhan bacaan yang berbeda dan juga sarana dan prasarana yang dibutuhkan berbeda. Di lantai pertama ini, banguna sebelah kiri menjadi perpustakaan untuk lansia, yang bacaanya lebih di dominasi surat kabar dan majalah. Tidak hanya buku dan majalah, perpustakaan ini juga meminjamkan DVD film maupun lagu-lagu klasik. Kursi yang disediakan di ruang ini juga lebih nyaman, seperti kursi sedan empuk, agar orang tua merasa nyaman ketika duduk lama. Sedangkan diruang sebelah kanan, yang hanya dipisahkan oleh batas kaca, terdapat perpustakaan untuk anak-anak dan balita. Di perpustakaan anak, terdapat buku-buku bacaan bergambar mulai yang berbahasa Spanish, Catalan maupun English. Di ruangan ini pula, diletakkan kursi dan meja untuk memfasilitasi anak-anak yang ingin membaca. Sedangkan perpustakaan untuk balita, diletakkan di paling ujung, dengan dilengkapi meja-kursi warna warni setinggi meja Taman Kanak-kanak. Selain itu tersedia juga taman bacaan tanpa menggunakan kursi, supaya anak-anak bebas berekspresi hal ini dikarenakan, anak-anak lebih menyukai olah fisik dibanding duduk. Peletakan perpustakaan balita di ujung ruangan juga ditujukan agar suara berisik yang secara natural dikeluarkan oleh anak-anak tidak sampai terdengar ke wilayah perpustakaan yang membutuhkan ketenangan.
Menuju ke lantai lantai dua, kita bisa mengakses tangga atau lift bagi lansia dan penyandang difabel. Perpustakaan lantai dua diperuntukkan bagi pengunjung usia produktif sehingga buku yang disediakan sangat bervariatif, mulai buku pelajaran, novel hingga komik tersedia di sini. Di lantai dua, banyak disediakan kursi dan meja untuk para pelajar dan pekerja. Model meja sharing, dimana kita saling berhadapan dengan para pengunjung lainya, dan ada pula meja dengan model pembatas, supaya lebih private. Perangkat computer hingga laptop juga disediakan bagi mereka yang tidak memiliki bisa memakainya di perpustakaan ini. Di lantai dua ini pula disediakan ruang-ruang privat untuk bekerja kelompok atau melakukan meeting, kita bisa meminjam maksimal 2 jam dan bisa di perpanjang jika tidak ada yang mengantri. Berbeda dengan di luar ruangan dimana kita tidak bisa bersuara, di ruangan privat kaca ini kita bisa bersuara pelan misalnya berdiskusi atau melakukan meeting karena lebih kedap. Bagi kita yang membutuhkan koneksi internet kecepatan tinggi, perpustakaan juga menyediakan wifi. Pengunjung perpustakaan bisa menggunakanya melalui akses sebagai tamu perpustakaan, yang password-nya dikirim melalui pesan atau bisa juga mendaftar sebagai penggguna tetap. Pendaftaran akses wifi perpustakaan secara permanen biasanya didapatkan ketika kita membuat kartu perpustakaan. Saat mendaftar kartu perpustakaan, kita hanya menyerahkan identitas kartu ijin tinggal sebagai dasar untuk registrasi. Bagi pengunjung yang belum memilikii ijin tinggal, paspor juga bisa dipakai untuk mendaftar, artinya perpustakaan ini terbuka untuk siapa saja. Yang menarik lagi, kartu perpustakaan yang kita buat ini tidak hanya berlaku di perpustakaan dimana kita membuat, tetapi bisa dipakai di seluruh perpustakaan di kabupaten kita tinggal.
Melanjutkan cerita saya tentang perpustakaan Tecla Sala, bahwa petugas perpustakaan atau pustakawan sangat ramah dan juga helpful. Menurut hemat saya, pustakawan seperti orang yang “menjajakan” barang dagangan supaya “laku” dipinjam. Tak heran jika mereka selalu menampilkan buku-buku baru dengan dekorasi menarik. Biasanya buku-buku baru diletakkan rak paling depan dan di-update secara berkala, sehingga tidak membosankan. Terkadang display buku disesuaikan dengan season saat itu. Misalnya ketika memperingati hari bumi, dekorasi buku yang di-display juga disesuaikan dengan tema bumi. Saya berfikir, mungkin key performance indicator (KPI), para pustakawan tersebut diukur salah satunya berdasarkan banyaknya buku terpinjam. Semakin banyak buku terpinjam, berarti kinerja mereka bagus, karena mampu menarik minat masyarakat untuk membaca.
Jangka waktu meminjam buku maksimal tiga puluh hari, cukup lama bukan? Dan lebih menariknya lagi kita bisa meminjam sampai tiga puluh buku. Ketika meminjam, kita cukup menunjukkan kartu perpustakaan untuk di scan barcode-nya, tanpa meninggalkan kartu identitas sebagai jaminan. Jika batas waktu peminjaman hampir selesai, biasanya lima hari sebelum jatuh tempo, kita akan mendapatkan email notifikasi pengingat untuk mengembalikan. Selain buku kita juga bisa meminjam alat-alat permainan edukatif, sepeti papan catur dan ular tangga. Dua minggu lalu kami meminjam papan catur karena dengan meminjam pastinya lebih hemat. Papan catur dan permainan edukatif lain bisa dipinjam selama tiga puluh hari pula.
Melihat perpustakaan Tecla Sala yang disediakan dan dikemas secara menarik penyajianya, mengingatkan saya dengan Taman Literasi Martha Christina Tiahahu yang berada di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan dan juga Perpustakaan Jakarta dan Pusat Dokumen Sastra (PDS) HB Jassin di Taman Ismail Marjuki yang diresmikan di tahun 2022. Walaupun saya belum pernah berkunjung kedua tempat tersebut, membaca berita dan melihat di Youtube tentang taman yang di resmikan oleh Gubernur Jakarta saat itu, Anis Baswedan, memberikan sebuah harapan bagi generasi Indonesia, bahwa pelan tapi pasti Indonesia akan memiliki lebih banyak perpustakaan atau taman literasi yang layak dan menarik. Saya teringat, tahun 2019, sebagai dosen, saya pernah mengajukan hibah pengabdian masyarakat untuk membuat sebuah perpustakaan di desa tempat saya dilahirkan. Perpustakaan itu lebih layak disebut taman bacaan karena memang kecil dan hanya mengambil sedikit space di gedung pertemuan. Namun, menurut penuturan seorang warga, karena dua tahun pandemic Corona, taman bacaan tersebut tidak pernah dikunjungi dan bukunya banyak yang rusak karena diserang hewan pengerat. Saya berharap pengembangan tempat-tempat seperti ini akan semakin menyebar di wilayah lain di Indonesia. Peran pemerintah dan dukungan dari warga masyarakat, akan mempercepat terwujudnya perpustakaan di beberapa daerah, tidak hanya di kota-kota besar namun juga diprioritaskan di daerah, dimana akses ke buku-buku lebih susah jika dibandingkan di kota.