Oleh: Yandi
Sajian pentas seni pada acara pembukaan Musywil ke 21 PWM Jabar di Stadion Rangga Jati Sumber, Cirebon membuat prihatin para Musyawirin. Fauzi Bowo, Sekretaris PDM kota Bogor melalui tulisannya yang beredar di WAG pimpinan Muhammadiyah menyatakan kegundahannya.
Ada dua suguhan kreasi seni yang dianggap bermasalah, yaitu tari Sintren yang merupakan budaya lokal khas Cirebon, yang beraroma mistik.
Selanjutnya tarian Rampak Kendang yang diperankan oleh wanita dengan busana bagian lengan yang transparan dan leher terbuka. Pertunjukan yang dinilai tidak memenuhi ketentuan syar’i ini, disaksikan oleh Ketua PP Muhammadiyah, Prof. Muhajir Efendi dan wakil ketua pimpinan Majelis Tabligh, Ustadz Adi Hidayat (UAH). Ada yang mempertanyakan kenapa UAH tidak berkomentar apapun ditengah ceramahnya, yang menurut pengamatan penulis selama acara pentas seni berlangsung, lebih banyak menunduk.
Dari satu sisi patut diapresiasi usaha panitia yang menata acara “Opening Ceremony” agar terlihat gebyar dan meriah. Disisi lain pembukaan Muyswil dengan tontonan seni seperti itu jelas menampar wajah para Mubaligh, Dai dan semua aktifis Muhammadiyah yang selama ini mengkampanyekan dakwah purifikasi.
Purifikasi dan Desakralisasi Budaya
Dalam khazanah Muhammadiyah purifikasi dimaknai sebagai pemurnian aspek akidah dan ibadah dari berbagai praktek TBC dan syirik. Sebagai gerakan dakwah, dimanapun Muhammadiyah hadir tidak lepas dari konteks budaya yang hidup dan berkembang di masyarakat.
Secara internal dialektika tentang relasi keduanya pun telah berlangsung lama . Di pertengahan tahun 90-an Kuntowijoyo melontarkan sebuah oto kritik yang populer: Muhammadiyah sebagai gerakan kebudayaan yang anti kebudayaan. Melalui dakwah purifikasi Muhammadiyah telah menyingkirkan budaya dan kearifan lokal, sehingga cara beragama Muhammadiyah terasa “kering”.
Kini di fase abad keduanya, Muhammadiyah terus melakukan reformulasi gerak dakwahnya sehingga lebih fleksibel dalam menyikapi budaya, tradisi dan semua kearifan lokal.
“Tajdid” Muhammadiyah berupa konsep dakwah kultural dan dibentuknya Lembaga Seni Budaya dan Olah raga (LSBO) di PP. Muhammadiyah menegaskan wajah Persyarikatan yang lebih “ramah budaya“ tidak lagi konservatif, rigid, kaku dan terkesan anti budaya.
Hal ini sejalan dengan yang digagas oleh Prof Haedar Nashir: “… kini dalam pemikiran dan orientasi tindakan ke-Islaman di tubuh Muhammadiyah diperlukan enrichment, pengayaan, dalam aspek pemurnian atau purifikasi maupun pengembangan atau dinamisasi agar diperoleh substansi dan implementasi ajaran Islam yang mendalam, luas dan multi perspektif…”
Selanjutnya Prof Haedar menambahkan gerakan purifikasi tidak identik dengan serba konfrontasi, ta’arud, sehingga menimbulkan antipati. Sebagaimana dilakukan oleh orang yang menendang sesajen dengan aura nafsu di kawasan Semeru yang sedang ditimpa musibah.
Menyoal pentas seni budaya lokal di acara pembukaan Musywil di Cirebon. Itu sepenuhnya akibat kelalaian panitia yang tidak melakukan tindakan pencegahan dengan “sensor” yang ketat. Sehingga kostum para penari perempuan yang auratnya terbuka dan transparan bisa lolos.
Adapun tarian Sintren yang akan ditampilkan, sejatinya di “desakralisasi” terlebih dahulu. Yakinkan bahwa cara “bidadari” sintren dihipnotis, sepenuhnya adalah akting dari sang penari tanpa melibatkan “doa” atau mantra mantra tertentu. Dan ketika tidak sadar, jatuh kepelukan penari perempuan bukan ke pawang atau penari laki laki.
Bercermin dari kasus ini, penulis sependapat dengan rekomendasi ketua PWM Jateng, DR Tafsir tentang perlunya Muhammadiyah melakukan rumusan organisatoris yang definitif tentang purifikasi yang selaras dengan Persyarikan yang reformis, modernis, progresif dan moderat.
Purifikasi dalam budaya adalah desakralisasi, bukan menghilangkan budayanya tapi menghilangkan nilai nilai sakral yang terdapat dalam budaya, tegasnya.
Wallahu ‘alam bishawab
Yandi, Ketua PCM Ciawi Tasikmalaya