Refleksi 59 tahun IMM: Sejarah Berdirinya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah

Refleksi 59 tahun IMM: Sejarah Berdirinya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah

Oleh: Asyraf al Faruqi Tuhulele

 

“Sejarah bukanlah seni untuk bernostalgia, tapi sejarah adalah ibrah, pelajaran, yang bisa kita tarik ke masa sekarang untuk mempersiapkan masa depan yang lebih baik” –Ahmad Fuadi.

Ayo lah… ayo… ayo…

Derap derukan langkah

Dan kibar geleparkan panji-panji

Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah

Sejarah umat telah menuntut bukti

 

Diatas adalah sebait kata dalam lantunan Mars Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) yang cukup sakral, dinyanyikan bersamaan dengan lagu Indonesia Raya dan Mars Muhammadiyah dalam setiap pembukaan kegiatan acara formal IMM. Dinyanyikan dengan khidmah dan khusu’ dalam rangka mengingat sejarah perjalanan panjang IMM lahir, berkembang, dan menjaga eksistensinya sampai saat ini.

Sejarah merupakan part penting yang harus ditulis dalam sebuah organisasi, karena sejarah yang akan menuntun seseorang untuk tetap berada di “rel-nya” meski zaman dan kepemimpinan berganti. Bukan berarti harus sama persis, melainkan nilai-nilai keorganisasiannya harus tetap terjaga. Metodeologi bisa saja berubah mengikuti perkembangan zaman, namun nilainya tetap relevan dimanapun dan kapanpun.

Sejarah yang anda sudah baca di buku dan website tentang IMM mungkin tak jauh beda dari apa yang ditulis dalam bagian ini. Namun, tulisan ini akan menjadi sedikit lebih ringkas, asyik, mudah dimengerti dan menjadi pengingat kembali bagi para pembaca. Mari kosongkan fikiran untuk fokus membaca tulisan ringan ini dan turunkan ego bahwa “Saya sudah tuntas membaca sejarah Ikatan”.

Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah atau IMM merupakan organisasi otonom di bawah naungan persyarikatan Muhammadiyah yang diperuntukan di kalangan/ jenjang mahasiswa baik di Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) itu sendiri maupun di universitas swasta dan negri lainnya. Berdiri di Jogjakarta, pada tanggal 14 Maret 1964 M/ 29 Syawwal 1384 H. IMM didirikan oleh beberapa tokoh Muhammadiyah, yaitu Djazman Al-Kindi, Soedibyo Markus, dan Rosyad Saleh. Selain itu juga ada Amien Rais, Abdul Hadi W. M, Marzuki Usman, Yahya Muhaimin, Sukiriyono, Djaginduang Dalimunthe, Bahransjah Usman, Sjamsu Udaya Nurdin, Muhammad Ichsan, Zulfaddin Hanafiah, Zainuddin Sialla, N. Adnan Razak, Mohammad Arief, Sofyan Tanjung, Bachtiar Achsan, Abuseri Dimyati, Ummi Kalsum, Zulkabir, Aida Saleh, Sugiarto Qosim, dan Tabrani Idris.

Dalam AD/ ART IMM, bab III, pasal 7, bahwa IMM memiliki tujuan spesifik, yaitu mengusahakan terwujudnya akademisi Islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah. Yang kemudian memiliki arah gerak yang tertulis pada bab II, pasal 5, yang berbunyi IMM adalah gerakan mahasiswa Islam yang bergerak di bidang keagamaan, kemahasiswaan, dan kemasyarakatan.

Faktor Internal

Pendirian IMM diwacanakan sejak tahun 1936, pada muktamar seperempat abad Muhammadiyah dalam rangka menghimpun para mahasiswa dan pendirian perguruan tinggi Muhammadiyah saat itu. Pada 18 November 1955, berdirilah perguruan tinggi pertama Muhammadiyah di Padang Panjang yaitu Fakultas Falsafah dan Hukum, sekarang menjadi Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat. Kemudian berdiri kembali beberapa kampus Muhammadiyah di daerah-daerah lainnya.

Menjelang Muktamar ke-36, setengah abad Muhammadiyah, tahun 1962, diadakanlah kongres mahasiswa Muhammadiyah di Jogjakarta. Dalam kongres ini menguat kembali wacana untuk membentuk organisasi otonom Muhammadiyah sendiri dan melepaskan diri dari departeman kemahasiswaan Pemuda Muhammadiyah. Pada akhirnya, 14 Maret 1964 K.H Ahmad Baidowi selaku Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah saat itu merestui pendirian organisasi otonom Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dengan ditunjuknya Mohammad Djazman Al-Kindi sebagai Ketua Umum Musyawarah Nasional pertama IMM yang segera dilaksanakan pada tanggal 1 – 5 Mei 1965 di Surakarta yang menghasilkan Deklarasi Kotabarat (Dekobar) dan kemudian diberikan nota restu oleh Presiden Soekarno secara langsung pada 16 Februari 1966, di Istana Negara.

*Silahturahmi DPP IMM dengan Presiden Soekarno pada 16 Februari 1965 untuk menyatakan pendirian IMM dan pemberian restu oleh Presiden Soekarno.

Dekobar menghasilkan enam penegasan IMM yang kemudian jika diperas menjadi Tri Kopetensi Dasar dan Trilogi IMM yang menjadikan identitas kader dan pergerakan IMM dalam menjalankan roda organisasi. Adapun bunyi enam penegasan IMM yaitu, (1) Menegaskan bahwa IMM adalah gerakan mahasiswa Islam, (2) Menegaskan bahwa Kepribadian Muhammadiyah adalah landasan perjuangan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, (3) Menegaskan bahwa fungsi IMM adalah eksponem mahasiswa dalam Muhammadiyah, (4) Menegaskan bahwa IMM adalah organisasi yang sah dengan mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan, serta dasar dan falsafah negara, (5) Menegaskan bahwa ilmu adalah amaliah dan amal adalah ilmiah, dan (6) Menegaskan bahwa amal Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah adalah lillahi ta’ala dan senantiasa diabadikan untuk kepentingan rakyat.

Faktor Eksternal

Adapun faktor eksternal adalah upaya atau desakan dari luar para angkatan muda Muhammdiyah dan Muhammadiyah itu sendiri dalam kelahiran IMM. Faktor ini dipengaruhi atas dasar situasi dan kondisi pada tahun 1950 – 1965 yang berkaitan dengan persoalan kebangsaan, kenegaraan, keislaman, dan pergerakan mahasiswa saat itu.

Gagasan untuk mewadahi mahasiswa dari kalangan Muhammadiyah dalam satu ikatan setidaknya telah menjadi persoalan di lingkungan Muhammadiyah sejak lama. Perdebatan seputar kelahiran IMM  berlangsung cukup tajam dan mendapatkan resistensi baik di internal Muhammadiyah itu sendiri juga di kalangan gerakan mahasiswa lainnya. IMM dianggap belum dibutuhkan Muhammadiyah karena telah memiliki Pemuda Muhammadiyah dan Nasyi’atul Aisyiyah yang dianggap cukup untuk mewadahi mahasiswa dari kalangan Muhammadiyah.

Resistensi terhadap ide kelahiran IMM juga disebabkan adanya hubungan dekat antara Muhammadiyah dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Hubungan ini dapat dilihat ketika Lafran Pane (tokoh Muhammadiyah dan pendiri HMI) sering bertukar pikiran dengan Prof. Abdul Kahar Mudzakir (tokoh Muhammadiyah) yang pada akhirnya menyetujui pendirian HMI.. Pendiri HMI yang lainnya adalah Maisarah Hilal (cucu KH. A. Dahlan). Maka hubungan dekat antara Muhammadiyah dan HMI itu cukup mempengaruhi perjalanan IMM, karena dengan demikian Muhammadiyah saat itu beranggapan bahwa pembinaan dan pengkaderan  mahasiswa Muhammadiyah bisa dititipkan melalui HMI.

Disisi lain, pergolakan OKP (Organisasi Kemasyarakatan Pemuda) atau Organisasi Mahasiswa periode 1950 – 1965, menemui jalan buntu dalam mempertahankan indpendensi dan partisipasi aktif pasca Proklamasi (era kemerdekaan) RI. Terlihat pasca Konggres Mahasiswa Indonesia pada 8 Juli 1947 di Malang Jawa Timur, yang terdiri dari HMI, PMKRI, PMU, PMY, PMJ, PMKH, MMM, SMI, yang kemudian berfusi menjadi PPMI (Perserikatan Perhimpunan-Perhimpunan Mahasiswa Indonesia). PPMI mulanya terlihat kompak dan aktif dalam menggalang persatuan diantara mahasiswa. Namun, sejak PPMI menerima anggota baru pada tahun 1958 yaitu CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) yang memiliki ikatan yang kuat dengan PKI, akhirnya PPMI mengalami keretakan yang membawa kehancuran. PPMI secara resmi bubar pada Oktober 1965.

Sebelum membubarkan diri juga sebenarnya kondisi internal dari PPMI pada tahun 1964-1965 masing-masing organisasi berfusi dalam PPMI, itu saling sikut dan merasa paling revolosioner untuk merebut pengaruh para penguasa terutama Presiden Soekarno. Hal ini diakibatkan karena masuknya CGMI kedalam PPMI yang seakan mendapatkan legitimasi dari pihak penguasa waktu itu sehingga CGMI terlihat besar. HMI saat itu juga menjadi sasaran CGMI, sehingga HMI hampir rapuh akibat ulahnya sendiri, karena pada saat itu PKI merupakan partai besar dan pendukungnya selalu meneriakkan “Bubarkan HMI”.

Pada saat HMI semakin terdesak, lahirlah IMM, yaitu pada tanggal 14 Maret 1964. Inilah sebabnya, ada stereotype atau persepsi bahwa IMM lahir sebagai penampung anggota-anggota HMI, manakala HMI dibubarkan oleh PKI. Maka IMM tidak perlu lahir. Namun persepsi yang itu tidak rasional dan kurang cerdas dalam membaca fakta dan data sejarah. Interprestasi yang benar dan rasional bahwa berdirinya IMM untuk membantu eksistensi HMI agar tidak mempan atas usaha-usaha PKI yang ingin membubarkannya.

Itulah sekilas faktor eksternal kelahiran IMM yang sampai sekarang masih ada oknum-oknum yang mempersoalkannya (walaupun sudah terbit buku yang menangkal isu tersebut dengan judul Kelahiran Yang Dipersoalkan oleh Farid Fatoni). Sekarang kita telah tahu bahwa IMM lahir memang merupakan suatu kebutuhan Muhammadiyah dalam mengembangkan sayap dakwahnya dan sekaligus merupakan suatu aset bangsa untuk berpartisipasi aktif dalam kemerdekaan ini. Karena IMM merupakan suatu kebutuhan intern dan ekstern, maka tokoh-tokoh PP. Pemuda Muhammadiyah yang berawal dari HMI kembali ke IMM sebagai anak atau ortom Muhammadiyah.

Mereka yang dulu turut mengembangkan HMI disebabkan karena IMM belum lahir dan keterlibatan mereka dalam tubuh HMI hanya sebatas mengembangkan ldeologi Muhammadiayah. Sampai sekarangpun HMI masih dimasuki oleh kalangan mahasiswa dari berbagai ormas Islam yang pada akhimya telah berbeda dengan orientasi Muhammadiyah. Maka IMM benar-benar murni didirikan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang pada waktu itu diketuai oleh H. Ahmad Badawi.

59 tahun sudah IMM berdiri dengan segala persoalan dan dinamikanya, dengan tema “Bergerak Bersama, Membangun Peradaban” yang diusung oleh DPP IMM, IMM diharapkan dapat tumbuh berkemajuan di segala zaman dan tempat. Tidak tergerus pergerakannya, tidak terperosok dalam kehancuran, dan ikut membangun peradaban bangsa Indonesia sebagai salah satu organisasi mahasiswa terbesar di Indonesia.

Asyraf al Faruqi Tuhulele, Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Cabang Cirendeu, Peneliti di Lembaga Survey Leader of Indonesia UMJ, dan News Reporter di TV Muhammadiyah Pusat.

Exit mobile version