YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah — Perjalanan panjang berhasil ditempuh tujuh mahasiswa asal Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta yang tergabung dalam KKN Anak Bangsa UAD menuju tanah Bima, kota tepian air pada 30 Januari – 1 Februari 2023. KKN Anak Bangsa UAD sendiri merupakan salah satu KKN yang anggotanya merupakan para kader aktif Organisasi Otonom Muhammadiyah, dan kegiatannya biasa dilaksanakan di luar Pulau Jawa. Dusun Oi Temba, Desa Karampi, Kecamatan Langgudu, Bima, NTB menjadi tempat tujuan pengabdian mereka selama satu bulan kedepan. Basah kuyup mewarnai seremonial pelepasan mahasiswa KKN yang dilakukan di Balai desa setempat akibat hujan yang menyambut kedatangan rombongan.
“Beberapa hari hujan tidak turun sampai kami setiap selesai salat berjamaah di masjid melakukan salat minta hujan. Dan hari ini, hujan baru turun bersamaan dengan tibanya mahasiswa KKN dari UAD. Kedatangan kalian benar-benar membawa keberkahan,” tutur Muhammad Ikhsan selaku Kepala Desa Karampi.
Dian Sidik Kurniawan, Annisa Awaliah MH Sibadu, Hurin Nabila, Rosta Hanifa Salsabila, Putri Amanah Sulaeman, Taffana Ainnaya Chandani Sangadji, dan Maksuna Aji Saputro mengawali minggu pertama mereka dengan berinteraksi bersama warga sekitar. Kehangatan yang disuguhkan masyarakat dusun Oi Temba begitu terasa menyelimuti mereka. Seakan sudah kenal lama, tak canggung masyarakat berbagi tawa dengan para mahasiswa KKN yang baru beberapa hari meginjakkan kaki di tanah Oi Temba.
Pada minggu kedua, mahasiswa KKN Anak Bangsa UAD melakukan Latihan Dasar Kepemimpinan kepada para siswa SMK Negeri 2 Langgudu yang berisi beberapa materi diantaranya: Kepemimpinan Dalam Islam, Pelatihan Public Speaking, Sosialisasi Pernikahan Dini, dan Stunting pada anak.
Atmosfer antusiasme para siswa mewarnai berlangsungnya kegiatan. Di minggu kedua ini juga, Dian dan kawan-kawan memulai program Rumbela (Rumah Bermain dan Belajar) dengan sasaran anak-anak usia Sekolah Dasar, juga turut membantu mengajar di empat tempat Belajar Alquran (TPA) selepas maghrib.
Pada program Rumbela, anak-anak diajarkan berbagai macam seni seperti menari, menggambar, bernyanyi, menulis kreatif, serta pengenalan beberapa permainan tradisional. Pada minggu ini pula, dian dan kawan-kawan mulai membantu mengajar di sekolah-sekolah yang ada di Dusun Oi Temba, diantaranya: Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS) Karampi, SD Inpress Karampi, dan SMK Negeri 2 Langgudu.
Pada minggu ketiga, mahasiswa KKN mengadakan lomba voli bagi masyarakat Karampi, dan beberapa lomba keagamaan bagi siswa SD dan SMP. Kegiatan membantu mengajar di sekolah, program Rumbela, dan TPA tetap berjalan di minggu ini. Pada minggu terakhir, mereka isi dengan acara pentas seni, dan tentu yang tak boleh terlewat, jalan-jalan menikmati keindahan panorama alam Karampi.
Culture Shock yang Dirindukan
Semua orang pasti tahu, kalau Indonesia begitu kaya akan khazanah budaya. Dari masing-masing budaya tersebut, tentu menciptakan dinamika masyarakat yang memiliki kebiasaan dan cara hidup yang berbeda-beda, yang barangkali menjadi unik dalam pandangan masyarakat budaya yang lain. Begitu juga yang terjadi pada masyarakat Oi Temba, yang pastinya tidak bisa sama persis sebagaimana masyarakat Jawa melakukan cara-cara atau aktifitasnya bertahan hidup.
Beberapa perbedaan itu membuat Dian dan kawan-kawan mengalami culture shock. Contoh saja, kita tidak akan menemukan pisau di Karampi. Masyarakat lebih memilih menggunakan cutter sebagai alat bantu mereka dalam memasak. Ini tentu membuat kesan unik bagi orang-orang diluar masyarakat asli dusun Oi Temba.
Selain itu, setiap hari kita akan menemukan beberapa warga yang tengah asyik ngerujak di depan rumah-rumah panggung mereka, dengan sambal rujak yang cenderung asin. Masyarakat biasanya merujak dengan menggunakan buah kedondong dan buah unik yang tidak akan bisa ditemukan di daerah Jawa, dengan bentuk bulat keras dengan rasa yang memberikan sensasi sepat agak asin yang biasa mereka sebut sebagai buah batu.
Culture shock lain yang dirasakan adalah sapi dan kambing yang berlalu lalang layaknya manusia. Hewan-hewan ternak itu sengaja dilepas bebas tanpa tali ataupun batas. Jadi, kasus kambing masuk halaman rumah dengan membuka pintu pagar bambu sendiri sangat biasa terjadi. Maka, tidak heran jika pembuka pagar rumah para warga dibuat terbalik dari arah biasanya, dengan dilengkapi pengait berupa tali. Itupun para kambing masih saja bisa masuk. Sungguh unik, ya.
Bentang Alam yang Menyejukkan
Desa Karampi benar-benar berada di ujung Indonesia bagian selatan, tidak ada kehidupan lain setelah desa ini. Perlu sekitar 30 menit perjalanan laut yang harus ditempuh untuk dapat menyentuh kehidupan di batas Indonesia ini. Jangan tanya seberapa indah alamnya. Bayangkan, masyarakat Karampi seakan memiliki pantai pribadi yang indahnya hanya dinikmati oleh mereka sendiri. Desa di tepi pantai, dengan pagar bukit yang berbaris cantik mengitari seluruh laut. Sawah menghampar anggun di kaki-kaki bukit. Di balik sebaris bukit itu, selurus dengannya sudah ada benua Australia menyapa. Dengan kekayaan alam ini, dapat ditebak jika masyarakat Karampi adalah seorang nelayan dan petani.
Selama satu bulan, Dian dan kawan-kawan hanya menyantap menu makan yang sama saja setiap harinya. Ikan laja yang diolah berbagai cara, dan sayur kelor beberapa kali. Meski “hanya”, ini adalah makanan istimewa yang boleh jadi tidak lagi jadi istimewa ketika disantap di perkotaan. Sebab ikan yang dimakan adalah hasil tangkapan yang masih segar. Selain itu, percaya tidak percaya, dengan melihat langsung laut lepas yang begitu menyejukkan, dan bentang sawah yang mengagumkan, sukses membuat nafsu makan bertambah dimana makanannya berasal dari hasil alam itu sendiri.
Tangis mengiringi Pelepasan
Satu bulan, begitu banyak kenangan yang dirajut bersama masyarakat Oi Temba. Saat hari penarikan tiba, begitu banyak air mata yang mengiringi kepergian Dian dan kawan-kawan. Masyarakat kompak mengantarkan para mahasiswa KKN UAD sampai menuju dermaga. Tidak ada lagi laut biru yang bisa kapan saja dinikmati. Tidak ada lagi kambing-kambing yang berbagi jalanan dengan masyarakat. Tidak ada lagi kehangatan yang sungguh sulit ditemukan di perkotaan. Desa Karampi begitu dalam memberi kesan, begitu banyak memberi pelajaran. Pengertian bahagia dalam kesederhanaan benar-benar mereka dapatkan. Satu hal yang pasti, saudara mereka kini bertambah. Tidak hanya satu dua orang saja, tetapi masyarakat seisi dusun Oi Temba.
“Perlakuan baik masyarakat Oi Temba tidak pernah berubah sampai hari terakhir kami disana. Cara mereka memperlakukan kami layaknya anak sendiri, layaknya saudara sendiri, benar-benar membuat kami berat meninggalkan Oi Temba. Beribu rasa terima kasih kami kirim untuk semua masyarakat Oi Temba. Semoga suatu saat kita bisa berjumpa kembali. Lembo Ade,” tutur Dian selaku ketua unit saat mengingat kembali momen penarikan kala itu. (SAL)