Shalat untuk Menjemput Rahmat (2)

bacaan sholat

Shalat untuk Menjemput Rahmat (2)

Oleh: Mohammad Fakhrudin dan Nif’an Nazudi

Pada Suara Muhammadiyah edisi 2023/03/10 telah dijelaskan beberapa kaifiat wudu. Pembahasan berfokus pada  beberapa kaifiat yang belum dilaksanakan secara sempurna. Ada beberapa hal yang perlu kita pahami lebih baik lagi. Berwudu berfungsi ganda, yaitu (1) untuk memenuhi salah satu syarat sahnya shalat dan (2) untuk merawat kesehatan fisik (Baca: Mukjizat Gerakan Sholat oleh dr. Sagiran, M.Kes, Sp.B)  dan kesehatan mental. Fungsi (1) sudah sangat jelas. Bagaimana halnya fungsi (2)?

Berwudu diawali dengan niat di dalam hati dan membaca basmalah. Seharusnya, orang yang berwudu memahami makna ucapan basmalah itu, yakni Allah Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Dengan demikian, orang yang mengerjakan wudu, seharusnya berusaha secara sungguh-sungguh mengamalkan sifat pemurah dan penyayang. Jadi, sungguh ironis jika ada orang yang sudah mengerjakan wudu berkali-kali, tetapi mempunyai sifat kikir dan pendendam.

Dalam berwudu, anggota wudu harus disucikan. Seharusnya, semua anggota wudu menjadi bersih dan suci amalannya. Kebersihan merupakan syarat penting bagi kesehatan. Boleh jadi, terganggunya kesehatan karena kurang sempurnanya berwudu. Sementara itu, idealnya amalan semua anggota wudu menjadi suci atau benar. Tangan digunakan untuk mengerjakan amalan yang suci/benar. Mulut digunakan untuk berbicara yang benar; bukan untuk memfitnah, berdusta, memaki, mengumpat atau ucapan-ucapan kotor dan kasar lain yang bertentangan dengan ucapan kelemahlembutan sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Mata digunakan untuk melihat yang benar dan baik; lebih-lebih lagi untuk membaca al-Qur’an. Sungguh kontradiktif jika mata justru digunakan untuk membaca tulisan kebohongan atau kebencian. Apalagi, setelah membaca, terinspirasi untuk membuat kebohongan atau kebencian.

Telinga digunakan untuk mendengarkan lantunan al-Qur’an dan ujaran yang benar dan baik; bukan ujaran kebencian, bukan pula ujaran kebohongan. Telinga digunakan untuk mendengarkan pengajian yang mencerahkan pikiran dan hati; bukan pengajian yang menumbuhkan kebencian apalagi terhadap sesama mulim.

Kalaupun untuk mendengarkan lagu, tentu lagu yang liriknya mencerahkan pikiran dan hati, bukan lagu yang liriknya membodohkan, apalagi lagu yang liriknya menyesatkan. Dengan kata lain, telinga dapat digunakan untuk mendengarkan lagu yang liriknya dapat mengenalkan dan mendekatkan dirinya dengan Allah Subhanahu wa Ta’aala.

Kaki digunakan untuk berjalan dan/atau mengerjakan amalan yang benar; bukan untuk melakukan perbuatan maksiat. Kaki digunakan untuk pergi mengaji merupakan ibadah yang pahalanya sangat besar. Masih ada hal lain yang perlu mendapat perhatikan juga, yakni tempat wudu. Semestinya di rumah tiap muslim tersedia tempat wudu yang sesuai dengan ketentuan syar’i. Idealnya tempat wudu terpisah dari tempat “bab” dan memudahkan orang yang berwudu secara sempurna.

Di musala atau masjid, tempat wudu laki-laki dipisahkan dari tempat wudu perempuan. Tempat wudu perempuan harus dirancang benar-benar sesuai dengan ketentuan syar’i. Di antaranya adalah tempat wudu itu tertutup. Perlu kita pahami bahwa pada prinsipnya Islam tidak menyulitkan. Oleh karena itu, muslim yang mempunyai uzur syar’i diberi keringanan. Jika tidak dapat membasuh tangan, mengusap kepala, atau tidak dapat membasuh kaki secara sempurna karena sakit, misalnya, ia dibolehkan melakukan semampunya.

Pada Shalat untuk Menjemput Rahmat (2) ini diuraikan kaifiat shalat dengan fokus pada sikap (anggota) tubuh dan beberapa gerakan di dalam shalat yang perlu lebih kita pahami. Pada dasarnya ayat al-Qur’an dan hadis yang dirujuk dalam tulisan ini mengikuti Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Muhammadiyah (selanjutnya disebut Majelis Tarjih dan Tajdid) yang terdapat di dalam Himpunan Putusan Tarjih 3 (selanjutnya disingkat HPT 3).

Shalat menurut Tuntunan Majelis Tarjih dan Tajdid

Di dalam HPT 3, pada Bab Keempat (hlm. 521-594), dijelaskan Tuntunan Shalat Lima Waktu. Ada 20 topik yang diuraikan, yakni (1) berdiri tegak menghadap kiblat dan berniat karena Allah; (2) mengarahkan pandangan ke tempat sujud saat berdiri; (3) melakukan takbiratul ihram dengan mengucapkan Allahu akbar; (4) bersedekap dengan meletakkan tangan di atas dada, (5) membaca doa iftitah secara sir (lirih); (6) membaca ta’awuz (istiazah) secara sir; (7) membaca basmalah secara jahar atau sir pada shalatdengan bacaan jahar dan secara sir pada shalatdengan bacaan sir; (8) membaca surat al-Fatihah dan membaca “Aamiin”; (9) membaca surat atau ayat al-Qur’an; (10) mengangkat kedua tangan sambil membaca takbir seperti dalam takbiratul ihram. Lalu, rukuk (membungkukkan badan) seraya meluruskan punggung dengan tengkuk dan telapak tangan kanan memegang lutut kanan dan telapak tangan kiri memegang lutut kiri dengan jari-jari tangan agak direnggangkan sambil membaca doa;

(11) bangun dari rukuk seraya mengangkat kedua tangan seperti pada takbiratul ihram dengan membaca (sami ‘allahu liman ha­mi­­dah) dan apabila telah berdiri tegak (iktidal) kedua tangan diluruskan ke bawah, lalu membaca doa; (12) membaca takbir (tanpa mengangkat tangan) lalu sujud; (13) bangun dari sujud untuk duduk iftiraj sambil membaca takbir (tanpa mengangkat tangan) dan ketika duduk iftiraj membaca doa; (14) bangun dari sujud seraya membaca takbir (tanpa mengangkat tangan) dan duduk―seperti duduk iftiraj―, sebentar, lalu berdiri untuk rakaat yang kedua dengan menekankan telapak tangan pada tempat sujud; (15) melaksanakan rakaat kedua; (16) duduk tasyahud akhir untuk mengakhiri salat; (17) mengakhiri salat; (18) melaksanakan shalat rakaat ketiga dan  keempat; (19) berdiri untuk mengerjakan rakaat ketiga, dan (20) mengerjakan rakaat keempat bagi shalatwajib empat rakaat.

Cukup banyak video tutorial shalatyang diunggah di medsos. Satu di antara video tutorial itu adalah hasil kerja sama antara Universitas Muhammadiyah Purworejo dengan Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta dan Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Berdiri Tegak Menghadap Kiblat dan Berniat Ikhlas karena Allah

 

  1. Sudah Aman Tenteram 

Firman Allah dalam al-Qur‘an surat an-Nisaa (4): 103

فَاِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلٰوةَ فَاذْكُرُوا اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِكُمْ ۚ فَاِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ ۚ اِنَّ الصَّلٰوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتٰبًا مَّوْقُوْتًا

 

Apabila kamu telah selesai salat, maka ingatlah kepada Allah sewaktu berdiri, duduk dan berbaring. Kemudian kalau sudah aman tenteram, maka kerjakanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya, shalat itu diwajibkan kepada orang-orang mukmin dengan tertentu waktunya.ˮ

Berdasarkan ayat tersebut, kita ketahui bahwa ketika akan memulai shalat suasana hati harus aman dan tenteram. Suasana hati yang demikian berpengaruh terhadap sikap tubuh dan anggota tubuh, yakni tenang. Dengan kata lain, hati sudah fokus pada shalatsehingga sikap tubuh dan anggota tubuh pun tenang.

Sesuai dengan ayat tersebut, jika sedang berjalan, apalagi dengan tergesa-gesa, berarti belum saatnya kita memulai salat. Ketergesa-gesaan biasanya dilakukan oleh makmum yang datang terlambat. Demi tidak tertinggal rakaat dari imam, ia berjalan lebih cepat lalu langsung takbiratul ihram. Gerakan yang demikian tentu tidak sesuai dengan tuntunan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan tuntunan agar kita tidak tergesa-gesa datang untuk shalat berjamaah ketika ikamat dikumandangkan sebagaimana terdapat di dalam HR jamaah, yang artinya, “Dari Abu Hurairah raḍiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Apabila kamu telah mendengar ikamat, maka berjalanlah mendatangi shalat berjamaah, hendaknya engkau berjalan dengan tenang dan tenteram dan janganlah terburu-buru. Apabila kamu dapat menyusul, shalatlah mengikuti imam, sedangkan yang sudah tertinggal, maka sempurnakanlah.”

2. Berdiri jika Tidak Ada Alangan untuk Berdiri

Perintah berdiri dalam mengerjakan shalat terdapat di dalam al-Qur’an, di antaranya, di dalam surat al-Baqarah (2): 238,

 

حَافِظُوْا عَلَى الصَّلَوٰتِ وَالصَّلٰوةِ الْوُسْطٰى وَقُوْمُوْا لِلّٰهِ قٰنِتِيْنَ

 

Peliharalah segala shalat(-mu) dan (peliharalah) shalat wusta. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyuk.”

Perintah berdiri dalam mengerjakan shalat terdapat juga pada HR al-Bukhari, yang artinya, “Dari ‘Imran Ibnu Hasan (meriwayatkan bahwa) ia berkata, ‘Saya mempunyai penyakit wasir. Lalu, saya bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang shalat. Beliau menjawab, Shalatlah engkau berdiri. Jika tidak dapat berdiri, duduk. Jika tidak dapat duduk, berbaring di atas lambung.”

Dari kedua sumber tersebut dapat kita ketahui bahwa berdiri diberlakukan bagi orang yang tidak mempunyai uzur syar’i. Orang yang tidak dapat berdiri karena mempunyai uzur sakit misalnya memperoleh keringanan. Dia boleh mengerjakan shalat sambil duduk atau berbaring.

Di dalam HPT 3 (hlm. 531) dijelaskan sangat rinci tentang uzur syar’i yang menyebabkan diizinkannya orang tidak berdiri dalam mengerjakan shalat. Orang yang tidak dapat berdiri tidak hanya orang sakit, tetapi juga orang yang dalam keadaan tertentu. Di antara berbagai keadaan itu adalah berada dalam kendaraan yang sedang berjalan. Lebih-lebih lagi kendaraan umum seperti pesawat terbang, kereta api, bus, apalagi kendaraan umum yang berukuran lebih kecil. Dalam keadaan yang demikian, dia dapat mengerjakan shalat dengan duduk. Dalam hal yang demikian, berlaku prinsip bahwa Islam adalah memudahkan.

Orang yang tidak dapat duduk, dia dapat mengerjakan shalat dengan berbaring di atas lambung, yakni berbaring miring dengan wajah menghadap kiblat. Tentu orang yang tidak dapat berbaring miring, dia dapat mengerjakan shalat dengan berbaring telentang. Lagi-lagi, prinsip kemudahan pun diberlakukan.

3. Menghadap Kiblat

Allah Subhanahu wa Ta’aala berfirman di dalam surat al-Baqarah (2): 144,

 

قَدْ نَرٰى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى السَّمَاۤءِۚ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضٰىهَا ۖ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۗ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهٗ ۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ لَيَعْلَمُوْنَ اَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّهِمْ ۗ وَمَا اللّٰهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ

“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.”

Perintah menghadap kiblat terdapat juga di dalam HR Ahmad, yang artinya, “Dari Yahya Ibnu Khallad … Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata (kepada seseorang yang belum benar shalatnya), Apabila hendak shalat, maka berwudulah dengan baik, kemudian menghadaplah kiblat, lalu bertakbir.”

Dalam hubungannya dengan menghadap kiblat, ada masalah yang dihadapi oleh musafir yang naik kendaraan umum seperti pesawat terbang, kapal laut, bus, kereta api, dan/atau transportasi darat umum lainnya. Bukankah kendaraan tersebut tidak selalu menghadap ke kiblat?

Di dalam HPT 3 (hlm.529) dijelaskan sebagai berikut. Orang yang naik kapal laut dan hendak memulai shalat (jika mengetahui arah kiblat), hendaklah memulai shalat dengan menghadap ke kiblat sesuai dengan perintah umum menghadap kiblat dalam shalat. Kemudian, jika kapal itu berbelok saat orang itu sedang mengerjakan shalat, dia tidak perlu membetulkan arahnya lagi. Dia tetap menghadap ke arah semula meskipun kapal itu telah berbelok haluan. Dia tidak perlu mengubah arah berdirinya karena tidak tahu bahwa kapal membelok dan tidak tahu berapa besar (berapa derajat) belokannya. Jika harus menghadap kiblat, hal itu tentu menyulitkan. Islam pada asasnya adalah memudahkan.

4. Niat

Di dalam HPT 3 (hlm. 532-534) dibahas sangat rinci tentang niat. Niat adalah suatu kehendak kuat untuk melakukan sesuatu karena Allah subhanahu wa Ta’aala sehingga dalam niat itu terdapat kemauan, kesadaran, dan tekad untuk melakukan sesuatu itu guna mencari rida-Nya. Dengan demikian, niat shalat berarti kehendak kuat untuk mengerjakan shalat dengan  kemauan, kesadaran, dan tekad untuk melakukan shalat karena Allah subhanahu wa Ta’aala guna memperoleh rida-Nya. Niat terdapat di dalam hati, maka tidak perlu dilisankan.

Niat shalat “karena Allah Subhanahu wa Ta’aala” menjadi dasar utama kesungguhan salat. Perintah beribadah dengan ikhlas terdapat di dalam al-Qur’an surat al-Bayyinah (98): 5,

 

وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ەۙ حُنَفَاۤءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوا الزَّكٰوةَ وَذٰلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِۗ

Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya menyembah kepada Allah dengan ikhlas kepada-Nya dalam menjalankan agama.”

Perintah beramal ikhlas terdapat pula di dalam HR al-Bukhari dan Muslim, yang artinya “Sesungguhnya, segala amal perbuatan bergantung pada niat. Dan sesungguhnya, setiap orang memperoleh sesuatu sesuai dengan niatnya.”

Di dalam buku Kuliah Akhlaq  karya Yuhanar Ilyas  dijelaskan bahwa unsur ikhlas terdiri atas (1) niat dengan ikhlas, (2) beramal dengan sebaik-baiknya, dan (3) memanfaatkan hasil usaha dengan tepat. Ketiga unsur itu menjadi indikator keikhlasan dalam melakukan amal apa pun.

Dalam hubungannnya dengan salat, kiranya dapat kita pahami bahwa unsur (1) mempunyai pengertian murni karena Allah Subhnahu wa Ta’aala, bukan karena yang lain misalnya karena malu pada sesama manusia atau karena terdorong oleh kepentingan politik. Jadi, ikhlas dalam hubungannya dengan shalat berarti bahwa shalat itu kita kerjakan tidak tercampur dengan niat lain, tetapi semata-mata karena Allah Subhnahu wa Ta’aala.

Unsur (2) mempunyai pengertian bahwa shalat itu harus kita kerjakan sesuai benar dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Syarat sahnya shalat dan rukun shalat harus kita penuhi. Jadi, shalat kita kerjakan tidak sekadar untuk menggugurkan kewajiban. Jika tarawih 22 rakaat dengan witir satu rakaat (Di antara saudara kita yang mengamalkannya malah ada yang mempunyai pemahaman bahwa sesungguhnya mereka mengerjakan tarawih 20 rakaat dan witir 3 rakaat, tetapi witirnya dibagi menjadi 2, yakni pengantar witir 2 rakaat, dan witir 1 rakaat) dikerjakan dalam waktu 7 menit, pasti meninggalkan salah satu rukun salat, yakni tumakninah.

Unsur (3) mempunyai pengertian bahwa shalat itu harus memanfaatkan hasil usaha yang dilakukan melalui shalat dengan benar. Di dalam al-Qur’an surat al-Ankabut (29): 45 Allah Subhanahu wa Ta’aala berfirman,

 

اُتْلُ مَآ اُوْحِيَ اِلَيْكَ مِنَ الْكِتٰبِ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَۗ اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ ۗوَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ ۗوَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ

Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Alkitab (al-Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Berdasarkan ayat tersebut, semestinya shalat membuat pelakunya tercegah dari perbuatan keji dan munkar. Ironisnya di dalam kenyataan masih banyak orang yang sudah mengerjakan shalat, tetapi melakukan perbuatan keji dan munkar. Tentu ada masalah pada mereka.

Boleh jadi, mereka mengerjakan shalat, tetapi tidak mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana dijelaskan di dalam HR al-Bukhari, yang artinya “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku melakukan shalat.” Mungkin pula, mereka sama sekali tidak memahami makna filosofis gerakan shalat dan manfaat gerakan shalat bagi kesehatan. Sangat mungkin juga, mereka sama sekali tidak memahami makna zikir, doa, dan ayat atau surat dari al-Qur’an yang dibacanya di dalam shalat.

Jika shalat kita kerjakan tidak sesuai dengan tuntunan beliau, bagaimana mungkin shalat dapat menjadi penjemput rahmat?  Di dalam HR al-Bukhari dan Muslim dijelaskan, artinya, “Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu (amalan) dalam urusan (agama) kami yang bukan dari kami, maka (amalan) itu tertolak.”

Allahu a’lam. 

 

Mohammad Fakhrudin, Warga Muhammadiyah tinggal di Magelang Kota

Nif’an Nazudi, Dosen al-Islam dan Kemuhammadiyahan Universitas Muhammadiyah Purworejo

 

 

Exit mobile version