Oleh: Dr Ruslan Fariadi AM SAg MSI
(Dosen Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta)
Pendahuluan
Beberapa tahun lalu saya menulis di sebuah koran tentang ironi yang dihadapi umat Islam sebagai pemilik peradaban terbesar dunia, namun kalah dengan peradaban lain yang relatif kecil. Orang Barat sudah berhasil menginjak bulan, namun masyarakat muslim masih sibuk berdebat tentang cara (mengintip) menentukan awal bulan. Karena itu Nidhal Guessoum menyebut, “suatu ironi besar bahwa umat Islam hingga kini tidak mempunyai sistem penanggalan terpadu yang jelas. Padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik”. Namun saat ini, realitasnya masih terjadi dan dinikmati sebagai sebuah perbedaan yang disikapi secara bijak dan toleran sambil melakukan ikhtiar untuk memiliki sistem penanggalan dan kalender pemersatu umat.
Namun sayang hampir setiap jelang Ramadhan selalu saja ada provokasi yang bisa berpotensi memecah belah umat, terutama masyarakat awam. Kali ini lagi-lagi dilakukan oleh seorang yang konon dianggap sebagai ilmuan bahkan memimpin suatu badan milik negara. Entah rasa sakit hati yang belum sembuh karena beberapa tahun lalu sempat “dibuat malu”, karena yang bersangkutan tidak memiliki keahlian yang memadai dalam hitung-hitungan apalagi membuat kalender yang akurat. Entah sampai kapan rasa sakit itu akan berbekas, dengan membuat pernyataan-pernyataan yang tidak substantif, retorik, dan tidak argumentatif layaknya ilmuan handal di bidangnya. Seperti pernyataan terbarunya yang menyebut ormas tertentu lebih menonjolkan ego daripada ukhuwah Islamiyah, suatu pernyataan yang tendensius dan fitnahan, tidak subtantif dan tidak solutif bagi kemajuan dan persatuan umat.
Tanpa disadari pernyataan sang professor ini dapat memprovokasi keharmonisan umat Islam khususnya di Indonesia, termasuk dapat menggangu keharmonisan antara sang kakak (Muhammadiyah) dan adiknya (NU) terutama di tingkat grass root, yang beberapa waktu lalu memperingati satu abad kelahirannya. Sebagai kakak tentu menunjukkan kepeduliannnya dengan membantu kegiatan akbar tersebut berupa mengerahkan ratusan ambulan, ribuan porsi makanan serta lahan parkir yang luas untuk kenyamana adiknya dalam memperingati satu abad organisasi yang dicintai. Inilah wujud toleransi dan ukhuwah Islamiyah yang otentik, subtantif, dan bukan retorika dan basa-basi. Sebab jangankan sesama muslim, dengan non muslimpun Muhammadiyah tetap melaksanakan ajaran toleransinya dengan otentik, seperti di Papua, Nusa tenggara Timur dan daerah-daerah lainnya. Muhammadiyah dan NU sudah terbiasa dengan perbedaan, bahkan setiap hari berbeda NU kunut subuh sementara Muhammadiyah tidak, lalu mengapa harus dibenturkan dengan perbedaan yang terjadi dalam setahun sekali. Dan yang perlu difahami oleh sang professor, bahwa perbedaan tidak selalu dianggap sebagai perpecahan. Namun dinamika yang perlu diapresiasi, diwadahi, dan dicarikan solusi yang lebih maslahah, bukan sebaliknya dengan menebar kebencian dan tuduhan yang jauh dari nalar akademik yang tercerahkan.
Jika konsistensi Muhammadiah dalam memegang Hisab Hakiki Wujudl Hilal dianggap mengedepankan ego, anda salah besar bahkan anda ibarat menampar muka sendiri. Sebab alih-alih ingin merealisasikan ukhuwah Islamiyah, dengan menaikkan kretiria ketinggian hilal 2 derajat menjadi 4 derajat saja telah semakin membuka perbedaan yang semakin lebar. Padahal kriteria 2 derajat sudah digunakan bertahun-tahun lamanya. Masih teringat betul ketika kemenag masih menggunakan ketinggian 2 derajat, pada saat itu cuaca sangat mendung yang secara nalar sehat tidak mungkin ada yang bisa melihat hilal dalam ketinggian 2 derajat. Namun karena berdasarkan hisab bahwa ketinggian hilal mencapai 2 derajat, maka seakan dipaksakan harus ada yang melaporkan melihat hilal. Kini ketika kemenag mempersyaratkan ketinggian hilal 4 derajat, maka sekalipun sekelompok masyarakat melaporkan bahwa mereka telah melihat hilal dalam ketinggian 2-3 derajat dan mereka berani disumpah sekalipun, kesaksian mereka tetap ditolak karena belum mencapai ketinggingan 4 derajat. Berbeda jauh dengan pada zaman Rasulullah saw ketika seorang Badui (rakyat jelata) memberi kesaksian telah melihat hilal dan mau disumpah, kesaksian sang Badui-pun diterima oleh beliau.
Akhir-akhir ini kita justru dipertontonkan dengan ulah seorang profesor yang berlagak seperti pendekar mabuk yang melayangkan berbagai jurus maboknya secara tidak akurat yang justru semakin membuka kelemahan jurus-jurus yang selama ini dimainkan. Sejatinya sang professor melakukan kajian lebih serius dan mendalam secara akademik daripada sibuk mempertontonkan jurus mabok yang berdampak negatif bagi ikhtiar mewujudkan kalender pemersatu umat serta ukhuwah Islamiyah yang dijadikan alasan dalam coretannya. Karena pernyataan tersebut bisa berdampak negatif bagi masyarakat awam, seperti yang terjadi di sebagian daerah yang saya jumpai, sebagai minoritas mereka “diintimidasi” bahkan dikucilkan dengan dalih tidak taat kepada ulil amri dan berbagai alasan yang dicari-cari.
Ingat peradaban tidak berjalan mundur, sebagaimana 100 tahun lebih yang lalu KH. A. Dahlan telah menyampaikan perlunya meluruskan arah kiblat, namun ajakan itu ditentang dan baru diterima setelah satu abad lamanya dengan adanya gerakan sertifikasi arah kiblat. Memang untuk mencerdaskan umat membutuhkan waktu yang lama, terlebih lagi saat ini ilmu pengetahuan dan teknologi sudah semakin canggih. Teropong tercanggihpun juga telah ditemukan untuk mengetahui posisi bayi hilal dalam posisi kurang dari 1-2 derajat, dan mestinya sang professor menyadari itu, bukan justru membuat jarak yang semakin lebar hingga 4 derajat dan mempertontonkan jurus-jurus mabuk yang tidak terukur, subyektif dan sarat dengan kebencian, bukan semangat mencari solusi.
Tujuh Alasan Muhammadiyah Menggunakan Hisab
Demikian pula dengan Muhammadiyah, menentukan kriteria wujudul hilal bukan berdasarkan ego tetapi berdasarkan dalil agama, ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam dokumen-dokumen resmi Muhammadiyah sebagaimna juga sering disampaikan oleh Prof. Syamsul Anwar bahwa setidaknya ada tujuh alasan mengapa Muhammadiyah istiqomah menggunakan Hisab Hakiki Wujudl Hilal. Ketujuh jurus ini cukup untuk menghadapi jurus-jurus mabuk yang selama ini dipertontonkan, yaitu;
Pertama: Karena semangat Al-Qur’an adalah menggunakan hisab, sebagaimana tersirat dalam al-Qur’an; “Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan” (QS. Ar-Rahman [55]:5). Ayat ini tidak sekedar menginformasikan bahwa matahari dan bulan beredar secara pasti (eksak), tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena memilik manfaat yang sangat banyak, antara lain untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu (QS. Yunus [10] ayat: 5).
Kedua: Rasulullah Saw menggunakan rukyat, karena itulah cara yang memungkinkan untuk digunakan saat itu, yang oleh Rasyid Ridha dan Mustafa Ahmad Az-Zarqa menjelaskan bahwa perintah melakukan rukyat adalah amrun Ma’lulah (perintah yang memiliki ilat atau causa hukum), sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah Saw; “Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi kami tidak bisa (tidak terbiasa) menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian, kadang-kadang dua puluh sembilan hari, dan kadang-kadang tiga puluh hari” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Ketiga: Dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender, apalagi kalender global hingga sekian puluh atau seratus tahun yang akan datang. Rukyat tidak dapat dijadikan sarana untuk menentukan penanggalan jauh ke depan, sebab tanggal baru bisa diketahui pada H-1, yang dalam konteks Indonesia menyebabkan masyarakat di daerah Timur bingung untuk mengakhiri rangkaian ibadah ramadhannya termasuk shalat tarawih karena di daerahnya telah masuk waktu isya’ sementara di Jakarta masih sore dan menunggu sidang itsbat yang sejatinya tidak diperlukan.
Keempat: Rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global (Kalender Islam Internasional). Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbeda memulai awal bulan Qomariah. Hal ini karena rukyat pada visibilitas pertama tidak mengcover seluruh muka bumi. Pada hari yang sama ada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka bumi lain yang tidak dapat merukyat.
Kelima: Jangkauan rukyat terbatas, akibatnya rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulan Qomariah di seluruh dunia. Pada sisi lain ilmu astronomi telah mengalami kemajuan pesat dan dapat menjadi solusi yang dapat dipertanggungjawabkan baik secara agama maupun saintifik.
Keenam: Pada masa Nabi rukyat tidak problematik karena terbatasnya wilayah umat Islam pada masa Nabi saw, tidak seperti saat ini yang telah mendunia.
Ketujuh: Rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah, karena di Makkah belum terjadi rukyat sementara di kawasan sebelah Barat sudah terukyat, demikian pula sebaliknya. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda satu hari dengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qomariah. Akibatnya kawasan ujung Barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha.
Penutup
Demikian tujuh jurus yang perlu difahami untuk mencerdaskan umat Islam, bukan sebaliknya menggunakan jurus-jurus mabok yang tidak subtantif dan tidak solutif. Ingat peradaban dan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak berjalan mundur, hal ini pula yang menyebabkan para pakar dan ahli astronomi muslim dunia melakukan ikhtiar dengan melaksanakan temu pakar di Maroko maupun di Turki.
Dalam temu pakar II di Maroko untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam (Ijtima’ al Khubara’ as Tsani li Dirasat Wa at Taqwim al Islami) tahun 2008 dalam kesimpulan dan rekomendasi (at Taqrir al Khittami wa at Tausyiyah) sebagaimana disampaikan oleh Syamsul Anwar; “Masalah penggunaan hisab: para peserta sepakat bahwa pemecahan problematika penetapan bulan Qomariah di kalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan hisab, seperti halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu shalat.”
Salam akal sehat dan mari terus berikhtiar untuk mewujudkan kalender pemersatu umat Islam dengan memperbanyak silatur rahim dan silatul ‘ilmi, perbanyak diskusi secara akademik serta dialog secara beradab, bukan dengan menebar kebencian dan jurus mabok. Wallahu A’lam.