Dinamika dan Kelahiran Akal Politik Muhammadiyah

Ridho Alhamdi

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Majelis Pendidikan Kader Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Yogyakarta menyelenggarakan kegiatan Pengajian Ramadhan 1444 Hijriah. Kegiatan ini dilaksanakan Sabtu (25/3) bertempat di SMK Muhammadiyah 3 Yogyakarta. Selaku pembicara datang dari Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dr Phil Ridho Al-Hamdi, SFill., MA.

Dalam tausyiyahnya, Ridho menguraikan sebelum Muhammadiyah berdiri, KH Ahmad Dahlan dan murid-muridnya sudah terlibat langsung dalam perjuangan politik nasional. Di mana mereka bergabung dengan gerakan intelektual Boedi Oetomo. Dalam perkembangannya, keterlibatan KH Ahmad Dahlan dan murid-muridnya tidak begitu nampak di Boedi Oetomo, namun justru masuk dan bergabung dengan Serekat Islam (SI).

“KH Ahmad Dalan dan murid-muridnya terlibat sangat intens dengan SI. SI dan Muhammadiyah pada awal-awalnya saling simbiosis mutualisme. Muhammadiyah masih kecil, sementara SI sudah tumbuh besar. Jadi dengan keterlibatan KH Ahmad Dahlan dan murid-muridnya di internal SI itu saling mengisi,” ujarnya.

Keterlibatan Muhammadiyah dengan SI menjadi partai politik Islam pertama yang berdiri di Indonesia. Dalam perjalanannya, SI yang mentransformasi namanya menjadi Partai Serekat Islam (PSI) pada tahun 1923, PSI menerapkan kebijakan Disiplin Partai dan ini menyebabkan terjadinya perseteruan antara PSI dan Muhammadiyah pada tahun 1926.

Wakil Ketua Majelis Pemberdayaan Kader (MPK) PDM Kota Yogyakarta periode 2005-2010 itu menyebut tahun 1919 terjadi konflik antara PSI dan Muhammadiyah. Konflik ini antara SI Putih dengan SI Merah terkait dengan kebijakan Disiplin Partai. “SI Merah itu benih-benih komunis awal, sehingga terjadi konflik dan dimenangkan oleh SI Putih. Sehingga itu yang masih menguasai SI,” ujarnya.

Tidak berhenti di situ saja, kembali terjadi konflik yang kedua di mana aktivis-aktivis Muhammadiyah yang aktif di SI harus mengambil langkah antara tetap di partai tetapi harus meninggalkan Muhammadiyah atau di Muhammadiyah tetapi meninggalkan partai. Akhirnya, para aktivis Muhammadiyah memilih untuk keluar dari SI.

“Pascaitu, aktivis Muhammadiyah (H Fachrudin, KH Mas Mansur, dan kawan-kawannya) menolak gagasan SI menerapkan politik hijrah (politik non-kooperatif). Sehingga terjadi konflik antara eks SI dengan aktivis SI. Itu juga mengakibatkan sejumlah kader Muhammadiyah keluar dari SI,” katanya.

Penolakan kebijakan Politik Hjrah ini membuat Mas Mansur mendirikan partai politik pada tahun 1938 yakni Partai Islam Indonesia (PII). Partai ini menjadi partai pertama kali yang didirikan oleh aktivis Muhammadiyah. Singkatnya, pada tahun 1912-1971, Muhammadiyah sangat intens terlibat dalam perjuangan politik nasional. Ridho menempatkannya tahun ini sebagai kesadaran individual.

Kemudian berlanjut tahun 1971-sekarang ada kesadaran instutisional di mana Muhammadiyah tidak akan menjadi politik dan tidak menerapkan politik praktis. Dalam Khittah Muhammadiyah Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara (Khittah Denpasar Tahun 2002), disebutkan bahwa Muhammadiyah memosisikan dirinya sebagai kelompok kepentingan (interest group). Haedar Nashir menyebut sebagai kekuatan moral (moral force). Dari proses panjang itu, kemudian akal politik Muhammadiyah terbentuk dengan sendirinya.

Ridho menyebut akal politik Muhammadiyah ada dua macam, pertama Skripturalis-rasional (akal dominan, akal massa) yakni menjaga agar Muhammadiyah konsisten tetap di jalur dakwah kemasyarakatan dan bukan jalur politik kekuasaan. Di sisi lain ada Substansialis-Pragmatis (akal marginal, akal elite). Yakni lebih menekankan pada manifestasi substansial nilai-nilai Islam dalam setiap aktivitas politiknya. Proses kulturalisasi telah melahirkan kompetisi di antara berbagai kekuatan kultural dan Islam hanya satu di antara kekuatan kultural yang bersaing itu.

“Jadi tokoh Muhammadiyah dan Muhammadiyah hampir mayoritas PDM PWM itu ketika membicarakan politik praktis itu tidak begitu tertarik dan kalau terlibat dalam politik praktis juga tidak begitu Ingin melibatkan diri dan itu cara pandang mayoritas warga Muhammadiyah. Artinya bahwa mayoritas warga Muhammadiyah itu enggak suka Muhammadiyah ditarik ke urusan politik praktis karena memang itu sesuai dengan khittah Muhammadiyah,” katanya.

Pandangan Muhammadiyah di Politik 2024

Pada saat bersamaan, Ridho menyebut bahwa menghadapi perhelatan akbar Pemilu 2024 mendatang, tidak partisan. Hal ini mengingat kelahiran Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang bergerak secara konsisten di bidang dakwah kemasyarakatan, bukan bergerak di bidang politik. Muhammadiyah selalu membaskan para kadernya untuk berpolitik karena itu menjadi haknya, namun begitu tidak boleh sampai membawa nama Persyarikatan Muhammadiyah.

“Muhammadiyah untuk menghadapi pemilu 2024, tidak partisan. Artinya Muhammadiyah bukan organisasi partai politik. Muhammadiyah tidak akan terjun secara politik praktis dan tidak akan mendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden tertentu. Dan juga bukan bagian dari partai politik manapun,” tegasnya.

Pihaknya mendukung penuh pelaksanaan Pemilu 2024 mendatang. Walaupun sempat ada isu penundaan, akan tetapi dirinya menegaskan sebagaimana dikemukakan oleh Haedar Nashir, “Pemilu 2024 adalah harga mati”. “Saya sebagai Ketua LHKP PP Muhammadiyah mendukung Pemilu 2024 harus wajib dilaksanakan 2024 tahun depan,” jelasnya. (Cris)

Exit mobile version