YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Hubungan dan Kerja Sama Internasional, Prof Dr H Syafiq A Mughni, MA menghadiri kegiatan Pengajian Ramadhan 1444 Hijriah yang diselenggarakan oleh Majelis Pendidikan Kader (MPK) Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Yogyakarta, Sabtu (25/3/23). Kegiatan tersebut mengusung tema “Transformasi Kader dalam Politik Kebangsaan” dan dipusatkan di SMK Muhammadiyah 3 Yogyakarta.
Dalam tausyiahnya, Syafiq mengatakan bahwa membicarakan topik politik, lebih-lebih menjelang perhelatan akbar lima tahunan Pemilihan Umum presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta anggota DPD RI pada 2024 mendatang sangat ‘ngeri-ngeri sedap’.
“Bicara politik itu ngeri-ngeri sedap antara suka dan tidak suka antara butuh dan tidak butuh jadi pendayung diantara dua itulah menjadikan Muhammadiyah kadang-kadang gampang untuk menyikapi event-event politik termasuk pemilihan umum yang akan datang ini,” ujarnya.
Syafiq menjelaskan bahwa kaitan Muhammadiyah dengan dunia politik sudah terjalin sejak lama. Dalam literatur sejarah disebutkan, bahwa Muhammadiyah ikut terlibat di dalam proses mendirikan Partai Masyumi. Di mana Partai Masyumi lahir dari Kongres Umat Islam Indonesia yang diselenggarakan di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta tahun 1945. Di isni, kemudian Muhammadiyah menjadi anggota istimewa dari Partai Masyumi.
“Bisa dikatakan 80% dari aktivis Masyumi itu adalah orang-orang Muhammadiyah dan tokoh-tokoh Muhammadiyah, termasuk kakek saya, ayah saya, ibu saya itu semua aktivis di sana. Dan merangkap juga menjadi pimpinan di Persyarikatan Muhammadiyah,” katanya.
Keterlibatan Muhammadiyah dengan Partai Masyumi berlanjut sampai pada tahun 1950. Dan pada tahun 1960 Presiden Soekarno secara resmi membubarkan Partai Masyumi melalui SK Presiden No 220/1960. Dan sebulan kemudian, partai tersebut membubarkan diri pada September 1960. Setelah Partai Masyumi dibubarkan, kemudian Muhammadiyah lepas dari partai politik.
“Jadi Ini pengalaman yang cukup berharga yang pada akhirnya berujung pada sikap bahwa Muhammadiyah tidak terlibat di dalam politik praktis dalam arti berjuang untuk memperoleh kekuasaan. Dan tidak merupakan bagian dari partai politik, tidak ada keharusan mendukung salah satu partai politik,” terangnya.
Syafiq menegaskan kepada para pimpinan, anggota, dan kader Persyarikatan, membebaskan untuk masuk dan aktif di dalam partai politik. Akan tetapi perlu diingat agar tidak boleh membawa nama Muhammadiyah dalam berpolitik.
“Itulah sikap final yang sampai sekarang. Silahkan para anggota masuk partai politik apapun silakan mendukung partai politik apapun. Asal tidak membawa nama Persyarikatan Muhammadiyah. Itu adalah langkah atau sikap yang diambil berdasarkan Maslahah bagi sebuah organisasi,” tegasnya.
Seturut dengan itu, Dr H Immawan Wahyudi, MH selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta mengatakan bahwa Muhammadiyah di dalam menghadapi Pemilu 2024 menegaskan harus terlaksana sesuai jadwal yang telah ditetapkan. Menurutnya hal tersebut menjadi sikap politik yang sangat mendasar jika dikaitkan dengan isu-isu yang berkaitan dengan perubahan masa jabatan (periodisasi). Kemudian juga isu tentang tambahan masa jabatan dan sebagainya.
“Sikap Muhammadiyah mendorong atau menegaskan bahwa Pemilu tahun 2024 harus terlaksana. Itu sudah Maknyus itu sudah sangat mendasar walaupun sangat normatif,” tuturnya.
Wakil Bupati Gunungkidul Periode 2011-2022 itu menyebut bahwa politik sebagai bidang yang sangat dinamis. Sebab itu, politik juga merupakan bidang kehidupan bernegara dan berbangsa yang memiliki “beribu wajah”. Dan pada saat bersamaan, disebutkan bahwa ukuran kebenaran politik itu bersifat situasional. “Justru karena alasan inilah menggagas pentingnya sikap Muhammadiyah dalam Pemilu 2024 menjadi relevan,” jelasnya.
Menurut Immawan, sikap Muhammadiyah di dalam menghadapi Pemilu 2024 mendatang, senada dengan yang disampaikan oleh Syafiq. Pada saat bersamaan, dirinya menambahkan bahwa segenap warga Persyarikatan diminta untuk bersikap arif dalam menghadapi Pemilu 2024 nanti. Serta harus mempedomani Khittah Muhammadiyah dan yang penting adalah senantiasa menyadari bahwa Muhammadiyah bukan sebagai partai politik.
“Saya yakin statemen normative-ideologis semacam ini tidak menggairahkan bagi dunia politik praktis. Tapi daya tawar Muhammadiyah justru dalam sikapnya yang tawaran ini,” tegasnya. (Cris)