Perang Semesta Melawan Sindikat Perdagangan Manusia
JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Diakui atau tidak, paradigma tentang pekerja migran belum sepenuhnya berubah atau bergeser dari pandangan bahwa mereka adalah warga kelas dua. Manusia tanpa keterampilan istimewa. Pandangan yang menyebabkan relasi tak setara inilah yang membuat mereka rentan dieksploitasi oleh para majikan atau perusahaan yang memanfaatkan jasa dan tenaga mereka di luar negeri. Tak jarang mereka mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi seperti kekerasan fisik, eksploitasi jam kerja yang berlebih, kekerasan seksual, upah yang tidak diberikan, dan lain sebagainya yang membuat nasib mereka merana di negeri orang.
Masalah keimigrasian ditengarai menjadi faktor utama terjadinya diskriminasi bagi para buruh migran di luar negeri. Jauh dari keluarga dan kampung halaman membuat mereka kian terpuruk, pasalnya banyak dari mereka yang datang tanpa dokumen resmi. Sehingga segala jaminan yang ada di negara penerima sulit untuk mereka dapatkan.
Kepala Bandan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, Benny Rhamdani mengatakan bahwa sebanyak 4,9 juta pekerja migran berangkat secara ilegal ke negara tempat mereka melabuhkan harapan untuk mengubah nasib dan penghidupan. Namun sesampainya di negara tujuan, mereka tak diperlakukan secara manusiawi. “Saya selalu emosi dan marah ketika mendengar atau membicarakan nasib pekerja migran Indonesia yang bekerja di luar negeri,” ujarnya.
Ia menyayangkan Indonesia sebagai negara yang tumbuh dengan iklim religius, ternyata tidak berdaya dihadapan para sindikat perdagangan manusia. Oleh karenanya ia mendorong kehadiran negara serta merangkul institusi dan organisasi terkait untuk bersama-sama menyelesaikan dan menyudahi kejahatan kemanusiaan tersebut. “Mudah-mudahan melalui agenda bersama MPM Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini kita bisa menumbuhkan kesadaran kolektif untuk menyatakan perang semesta terhadap perdagangan manusia yang saat ini banyak menyasar pekerja migran kita,” tegasnya dalam diskusi publik dengan tema “Membela Keadilan Pekerja Migran” yang berlangsung di Aula PP Muhammadiyah Menteng, Jakarta Pusat (13/4).
Selain mendorong kehadiran negara secara penuh dalam kasus ini, Benny juga berharap adanya perubahan mindset terhadap para pekerja migran Indonesia. Perubahan mindset tersebut dimasudkan untuk membangun kesetaraan relasi antar manusia yang selama ini masih sangat timpang. Hubungan antara majikan dan bawahan semata hanya dilihat dari aspek ekonomi dan bisnis, tak ada relasi kemanusiaan di sana. Sehingga eksploitasi manusia menjadi ancaman yang sewaktu-waktu bisa menerpa pekerja migran Indonesia dimanapun mereka berada.
“Pekerja migran adalah duta bangsa. Mereka itu orang-orang hebat. Mereka rela meninggalkan keluarga, kampung halaman, dan negaranya dengan tujuan mulia memperbaiki nasib dan membangun masa depan yang lebih baik. Oleh karena itu dibutuhkan kerja kolektif yang serius untuk memerdekakan nasib pekerja migran kita di luar negeri,” ungkap Benny.
Izzul Muslimin, Sekretaris PP Muhammadiyah mengatakan, terselenggaranya diskusi publik tersebut menjadi bagian integral dari kepedulian Muhammadiyah kepada nasib buruh migran yang sedang tidak baik-baik saja. Kompleksnya permasalahan yang menjerat buruh migran sejatinya bisa menjadi alarm bagi negara, institusi, serta organisasi terkait untuk segera melakukan langkah-langkah strategis. Mengurai setiap permasalahan dan kemudian memberikan solusi konkrit yang menjamin keamanan dan hak pekerja migran di luar negeri.
“Semoga melalui acara ini kita dapat menghasilkan ide dan gagasan dalam upaya memperbaiki nasib saudara-saudara kita, khususnya para pekerja migran Indonesia. Atas nama Pimpinan Pusat Muhammadiyah, kami sampaikan selamat berdiskusi,” ujar Izzul.
Tidak hanya berdiskusi, agenda yang berlangsung menjelang waktu berbuka tersebut juga diselingi dengan nontong bareng film Undocumented yang diproduksi oleh Watchdoc. Film berdurasi 1 jam 15 menit tersebut menceritakan tentang nasib buruh migran di Malaysia yang sangat mengkhawatirkan. Nyawa menjadi pertaruhan terakhir bagi mereka ketika negara dibuat tak berdaya dihadapan sindikat perdagangan manusia. (diko)