Darurat Kekerasan pada Perempuan atas Nama Agama

Darurat Kekerasan pada Perempuan atas Nama Agama

Oleh: Yayum Kumai

Dalam sebuah proses penelitian etnografi, saya bersama seorang perempuan desa tempat saya tinggal pergi mendatangi kafe di desa lain untuk berdiskusi dengan sejumlah pemuda pada malam hari. Pemuda yang saya maksud adalah para anak muda laki-laki dengan beragam profesi —mahasiswa, pekerja tambang, dan jurnalis lokal.

Malam itu kafe cukup ramai dan semuanya adalah laki-laki, kecuali kami. Sudah pasti hal tersebut mengundang perhatian dan sorot mata penuh tanda tanya mengintai gerak gerik kami. Sungguh bukan pengalaman yang menyenangkan. Namun, apa dikata, saya harus menemui sejumlah informan riset yang mesti dipertemukan dalam satu waktu dan itu mau-tidak-mau harus malam hari.

Barulah ketika pulang, kawan perempuan yang juga warga desa sekitar situ menyampaikan bahwa tidak “etis” perempuan pergi keluar rumah malam-malam, apalagi ke kafe. Mahfum betul saya kondisi ini. Sedari kecil sampai seusia ini, stigma tentang perempuan “nakal” yang keluar malam dan pergi ke warung kopi masih melekat erat.

Hal ini adalah baik sebagai kontrol sosial terhadap kemungkinan kriminalitas yang bisa terjadi pada perempuan –meskipun saya juga akan katakan bahwa menekan pelecehan seksual harus bermula dari laki-laki. Namun, bagaimana bila stigma ini dilandasi atas dogma agama yang radikal?

Kekerasan Seksual Kolektif di Painan

Nukilan pengalaman di atas itu saja sudah begitu membekasnya menjadi tambahan daftar kutukan saya pada pandangan misoginis. Apalagi yang baru-baru ini tengah menjadi kasus pelanggaran HAM berat di daerah Painan, Sumatra Barat.

Dua orang perempuan dipersekusi atas tuduhan sebagai pemandu karaoke sebuah kafe. Persekusinya bukan lagi dituduhkan melalui kekerasan verbal, namun sudah sampai pada kekerasan seksual, kekerasan fisik, dan penyebaran aib lewat teknologi informasi. Pun bukan oleh 2-3 orang, melainkan ditaksir oleh 300-an orang yang semuanya adalah laki-laki.

Ini jelas merupakan pelanggaran HAM berat dan dilakukan secara bersama-sama dengan biadabnya. Jika yang dimaksud adalah kemarahan kolektif, maka sasaran kemarahan yang lebih tepat berdasarkan pernyataan warga sekitar adalah kafe penyedia karaoke tersebut. Kafe yang dianggap telah mengganggu kekhusukkan ibadah Ramadhan warga, bukan dua orang perempuan yang tidak tahu menahu.

Jadi, bila mau dibaca, ini adalah bentuk kekerasan kolektif atau lebih tepatnya adalah kekerasan seksual kolektif. Dikatakan “kolektif” karena sifatnya yang memiliki efek menular, yakni ketika kesadaran individu melebur menjadi reaksi baru mengikuti kerumunan, bahkan bisa kehilangan kesadaran.

Pasalnya, kerumunan yang muncul pada malam kejadian bukan menyuarakan penutupan kafe, sebagaimana dalih permasalahan yang dikatakan oleh warga. Namun, kerumunan justru melucuti pakaian dua perempuan tidak bersalah tersebut dan mengarak mereka ke laut sambil tertawa-tawa, berdasar Kapolres Pesisir Selatan AKBP Novianto.

Itulah mengapa saya katakan ini adalah bentuk kekerasan seksual kolektif yang berupa kerumunan aktif bersifat destruktif.

Pentingnya Beragama Kontekstual-Empiris

Orang Minang boleh keras atas prinsip hidupnya yang didasarkan pada, adat basandi sarak, sarak basandi kitabullah. Keinginan besar untuk menjaga tata laku hidup masyarakat supaya berjalan harmonis dengan berlandaskan agama bukan hal buruk.

Hal buruknya ialah, jika masyarakat berhenti mempelajari agama Islam yang dielu-elukannya sebagai sumber hukum tertinggi. Hal buruknya ialah, ketika masyarakat melandaskan sikapnya atas dorongan nafsu; dalam hal ini ialah nafsu patriarki dan nafsu puritan-radikal.

Nas agama yang hanya dibaca secara tekstual dan dilandasi oleh nafsu sektoral itulah sumber penyebab bagi siapapun pemilik otaknya akan berwujud sebagai seorang penyombong. Ayat-ayat tentang kesucian bulan Ramadhan ketika dibaca dengan nafsu patriarki hanya akan menjelmakan laki-laki pembacanya sebagai sosok tangan besi nan sok suci.

Persis seperti yang terjadi pada kasus kekerasan seksual kolektif di Painan. Betapa laki-laki muslim yang mengaku diri konservatif dalam beragama menghalalkan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan sebagai jalan menuju kesucian Ramadhan.

Prof. Amin Abdullah sudah menerangkan kepada kita. Inilah kenapa pentingnya kita menanamkan di dalam diri kita, wahai umat muslim, untuk berpikir secara kontekstual-empiris. Kemampuan berpikir ini tidak akan bisa didapat kecuali dengan menimba ilmu.

Kontekstualitas berpikir tercipta dari kesadaran berpikir kritis dan keluasan ilmu. Bukan saja memperdalam ilmu agama, tetapi juga memperluas pengetahuan tentang dunia yang senantiasa berubah seiring zaman. Termasuk memperlajari perkembangan wawasan tentang hak-hak perempuan.

Bila bodoh dan malas mencari ilmu, maka jangan berbicara. Pergilah memperdalam dan memperluas ilmu supaya tidak dikuasi oleh nafsu moralitas-puritan! Segala bentuk kekerasan terhadap perempuan harus ditumpas!

Baca juga:

Tidak Ada Agama yang Melegalkan Kekerasan Seksual

Zakat untuk Korban Kekerasan Perempuan dan Anak

Respons Majelis Tarjih Terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Kekerasan Seksual di Sekitar

Korban Kekerasan Seksual Butuh Solidaritas Media

Exit mobile version