JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Muhammadiyah telah menetapkan 1 Syawal 1444 H jatuh pada Jumat 21 April 2023. Besar kemungkinan, keputusan ini tidak akan sama dengan pemerintah. Dengan perbedaan keputusan ini, tentu saja hal tersebut menimbulkan paradoks. Seperti yang terjadi di sejumlah tempat di mana pelaksanaan shalat Idul Fitri yang bakal digelar oleh Muhammadiyah ditolak oleh pemerintah daerah setempat.
Penolakan itu antara lain di Lapangan Mataram Kota Pekalongan. Terbaru, Muhammadiyah juga mendapat informasi penolakan yang sama terjadi di Lapangan Merdeka, Sukabumi, Jawa Barat, pun juga ditolak oleh pemerintah daerah setempat. Atas terjadinya penolakan tersebut, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr H Abdul Mu’ti, MEd turut menanggapinya melalui laman media sosialnya.
“Setelah Kota Pekalongan, sekarang Kota Sukabumi? Setelah itu mana lagi?” katanya Senin (17/4).
Menurut Mu’ti, pelarangan penggunaan fasilitas publik untuk pelaksanaan Shalat Idul Fitri yang berbeda dengan pemerintah merupakan ekses (hal atau peristiwa yang melampaui batas) dari kebijakan pemerintah tentang awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Hal tersebut tidak dibenarkan di Negeri Indonesia yang berideologikan Pancasila.
“Dalam sistem negara Pancasila, pemerintah tidak memiliki kewenangan mengatur wilayah ibadah mahdlah seperti awal Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Pemerintah sebagai penyelenggara negara justru berkewajiban menjamin kemerdekaan warga negara untuk beribadah sesuai dengan agama dan keyakinannya,” tuturnya.
Menurut Guru Besar Ilmu Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini menyebut bahwa pengunaan fasilitas publik seperti lapangan dan fasilitas lainnya merupakan salah satu bagian dari wilayah terbuka yang bisa dimanfaatkan oleh seluruh warga masyarakat yang sesuai dengan ketentuan pemakaian. Hal ini bukan masalah mengenai perbedaan paham agama dengan pemerintah.
“Melaksanakan ibadah Idul Fitri di lapangan adalah keyakinan, bukan kegiatan politik dan makar kepada pemerintah,” tegasnya.
Sehingga Mu’ti mendorong kepada pemerintah pusat agar tidak membiarkan pemerintah daerah membuat kebijakan yang bertentengan dengan Konstitusi dan melenggar kebebasan berkeyakinan. (Cris)