Pembentukan Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan yang dikonsep dengan metode omnibus law saat ini disebut-sebut telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2023 di DPR, hal ini tentu menjadi menjadi polemik di masyarakat, khususnya bagi organisasi profesi kesehatan. Hal ini dikarenakan omnibus law RUU Kesehatan tersebut akan menggabungkan sejumlah undang-undang yang mengatur tentang dunia kesehatan di Indonesia, seperti UU Keperawatan, UU Kebidanan, dan UU Praktik Kedokteran. Lewat RUU ini, UU Nomor 36 Tahun 2009 bakal direvisi dan sedikitnya ada 13 undang – undang lain yang berkaitan dengan sektor kesehatan bakal digabungkan ke dalamnya.
Masalahnya, RUU Kesehatan tersebut telah menjadi perhatian Muhammadiyah dan unsur organisasi masyarakat sipil lainnya serta organisasi profesi kesehatan sejak lama, mereka bergabung dan mengawali pembahasan mengenai konsep serta merumuskan draft RUU Kesehatan yang saat menjadi polemik di masyarakat.
Dalam penyusunan RUU kesehatan tersebut dinilai tidak transparan & terdapat unsur monopoli oleh Menteri Kesehatan. Bahkan, hingga kini dapat dibilang tidak ada informasi jelas pihak pembuat RUU tersebut, dari sisi DPR menunjuk Kemenkes sebagai pembuatnya. Sedangkan pihak Kemenkes menyebut RUU ini merupakan inisiatif DPR. Dalam draf RUU sendiri tertulis catatan confidential yang artinya rahasia.
Hal ini menjadi tidak wajar yang mana seharusnya RUU justru disebar luas ke publik sejak awal agar masyarakat mengetahui dan terlibat memberikan catatan dan masukan. Terlebih lagi, RUU Kesehatan disebut – sebut akan masuk dalam Prolegnas 2023. Artinya, masyarakat berhadapan dengan sebuah RUU misterius yang ujug-ujug akan disahkan. Ini jelas bertentangan dengan salah satu asas krusial pembentukan UU, yaitu keterbukaan.
Menyoroti kondisi polemik tersebut Center of Human and Economic Development sebagai salah satu lembaga pusat studi yang fokus pada kajian dan advokasi ekonomi sosial kemanusiaan bersama dengan Majelis Hukum dan Ham (MHH) PP Muhammadiyah serta Muhammadiyah Tobacco Control Network (MTCN) menyelenggarakan Diskusi Publik secara online dan menghadirkan Dr. H. M. Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum. dari Ketua Pmpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM dan Hikmah sekaligus mantan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Indonesia, beliau menyebutkan bahwa dalam perumusan RUU Kesehatan saat ini dianggap tidak terdapat didalamnya unsur demokratisasi karena tidak sama sekali memperhatikan bahkan melibatkan eksistensi masyarakat sipil termasuk didalamnya Muhammadiyah maupun organisasi masyarakat sipil lainnya sebagai unsur sosial.
Busyro menyebutkan, “Dalam RUU Kesehatan mengandung kecenderungan sistem politik sentralistik dan paradigma sentralisme, bukan hanya RUU Kesehatan namun juga RUU lainnya seperti halnya mengenai Revisi KPK. Saat ini KPK tidak lagi dilemahkan namun juga di lumpuhkan secara institusional”.
RUU Kesehatan tidak lepas dari unsur politik, sehingga perlu dikaji kembai mengenao paradigma maupun metode omnibus yang diterapkan oleh pemenerintah bersama DPR secara serempak aklamasi mengesahkan sejumlah UU, khususnya RUU Keseharan disahkan oleh DPR menjadi prolegnas. Sedang disisi lain, metode omnibus yang bertentangan dengan nilia – nilai outensik kebangsaan yang merupakan dokumen resmi untuk tidak diubah, mengubah isi dokumen tersebut berarti mengubah arah kebangsaan negara, yakni berkaitan dengan melawan kolonialisasi. Karakter RUU Kesehatan yang tidak memihak dengan jujur kepada rakyat terlihat dengan tidak melibatkan masyarakat sebagai obyek hukum yang berkedaulatan, dalam hal ini obyek hukum bukan negara maupun partai politik.
Dalam diskusi tersebut hadir juga Dr. Mukhaer Pakkanna, SE.,MM – Rektor ITBAD Jakarta yang memberikan pandangan mengenai Perspektif Sosial Ekonomi yang lebih spesifik pada pembahasan urgensitas pasal pelarangan iklan, sponsor zat aditif pada RUU Kesehatan. Pasal 383 dan 159 menjadi salah satu psal yang dikritisi dalam RUU Kesehatan, ia menyebutkan bahwa “pada pasal 383 peluang untuk industrialisasi penguasaha farmasi yang mana fakta menunjukkan 75% bahan farmasi dproduksi di Indonesia, namun 95% bahan farmasi masih import (dari Cina) yang mana harusnya melalui RUU Kesehatan dapan menjadi regulasi untuk menjembatani kemandirian dalam dunia farmasi bukan membuka lebar pintu industrialisasi pihak swasta”. Ujarnya.
Fakta lain dalam penyusunan RUU Kesehatan tersebut tidak melibatkan organisasi profesi (OP) kesehatan, hal ini melahirkan spekulasi semakin kuat di kalangan organisasi profesi (OP) kesehatan dan masyarakat bahwa peran organisasi profesi (OP) kesehatan akan dikerdilkan bahkan dihilangkan dalam RUU. Selain itu, IDI menilai tidak adanya urgensi dalam penggantian UU bidang kesehatan. Sebab, masih ada UU di bidang lain yang perlu disahkan segera, seperti UU Telemedicine, UU Meta-Data Penduduk atau UU Pembuatan Obat, dan Vaksin Wabah. Poin penting yang menjadi alasan RUU Kesehatan omnibus law ditolak karena berpotensi terjadi praktik liberalisasi dan kapitalisasi kesehatan yang mengorbankan hak sehat rakyat. Dan ayat spesifik tentang pelarangan Iklan, Sponsor dan Promosi Zat Adiktif yang telah diusulkan di hapus. Pasal tameng dan perlindungan terhadap anak- anak dan generasi muda dari gencarkan iklan zat adiktif (dalam DIM pasal 154 ayat 7(a) dicoret). Indikasi ini menjadi semakin mengerucutkan aroma Industrialisasi untuk meraih profitabilitas, dan apakah bisa dikatakan jika ini untuk kepentingan rakyat?.
Dalam diskusi publik yang dipandu oleh Roosita Meilani Dewi selaku kepala Pusat Studi CHED ITBAD Jakarta menghadirkan narasumber dari perspektif hukum untuk mengkritisi Keperuntukan RUU Kesehatan Omnibus Law, hadir dalam forum Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.Hum. yang merupakan Ketua Majelis Hukum dab HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah sekaligus perwakilan Muhamamdiyah untuk mengawal RUU Kesehatan Omnibus Law menyampaikan bahwa, “Muhammadiyah sudah memberikan pandangan mengenai RUU Kesehatan pada 11 April 2023 kemarin bersama dengan organisasi keagamaan dan organisasi profesi kesehatan, Muhammadiyah menyampain RUU Kesehataan harusnya tidak dilakukan dengan buru-buru, hal ini sebagai bukti dewan tidak memperhatikan masukan pihak publik. Selain itu, pembahasanya RUU Kesehatan yang tidak disampaikan di hadapan publik menjadi hal yang tidak tepat dan elok dilakukan oleh pihak pemerintah karena tidak mengindahkan unsur demokratisasi”. Ujarnya. Beliau juga menyebutkan bahwa perubahan RUU Kesehatan dianggap tidak bersandar/berpedoman pada draft RUU Keshetan 2019, namun terkesan sesuai dengan kepentingan – kepentingan pihak lainnya (unsur kepentingan politik). “Penyusunan RUU Kesehatan yang tidak terbuka dan tanpa naskah akademik maka mengidentikkan kepentingan modal bukan kepentingan rakyat”. Lanjutnya.
Selanjutnya pada perspektif kemerataan kesehatan Ibu dan Anak disampaikan oleh dr. Sophiati Sutjahjani, M.Kes. praktisi sekaligus perwakilan dari Majelis Kesehatan PP ‘Aisyiyah, ia menuturkan bahwa salah satu indikator IPM adalah angka kematian ibu, dan sampai saat ini Indonesia memiliki masalah kesehatan pada ibu yang cukup tinggi bahkan menjadi nomor 7 se-ASEAN. Peraturan perundangan terkait kesehatan ibu dan anak sebenernya sudah termuat dalam UU RI No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, UU RI No. 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, UU RI No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan UU RI NO. 4 tahun 2009 tentang Kebidanan, UU RI Tahun 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan Permenkes RI No.43 tahun 2019 tentang puskesmas. Draft RUU tentang kesehatan saat ini akan mencabut 9 UU diantaranya yang berkaitan dengan kesehatan ibu dan anak adalah UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
Kemeratan kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia secara umum belum mengalami pemerataan. Ia menegaskan bahwa Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah melalui Majelis Kesehtaan mendorong RUU Kesehatan mendukung kondisi kesehatan ibu dan anak, salah satunya adakah kemudahan akses pelayanan kesehatan serta sumber daya kesehatan yang mendukung. Selain itu, perlu hanya RUU Kesehatan mendukung meningkatan pengelolaan sumber daya manusia yang efektif dan efisien mengenai kesehatan ibu dan anak, serta menjamin adanya pendanaan yang tersedia. (rbs/humas)