Oleh: Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Moderasi beragama adalah salah satu program prioritas yang diusung oleh Kemenag RI. Salah satu moderasi yang digaungkan adalah sikap saling menghormati dalam masalah perbedaan penetapan kalender hijriah. Dalam hal ini Kemenag RI tidak memaksakan ormas Islam di tanah air bisa mempunyai hari ibadah yang sama, betapapun Kemenag RI tetap memberi kepastian kalender melalui Taqwim Standar Indonesia. Menteri Agama (Yaqut Cholil Qoumas) secara tegas menyatakan menghargai ormas yang berbeda dalam penetapana awal bulan hijriah. Kemenag RI juga mengajak umat untuk semakin bijak menerima perbedaan dalam penanggalan hijriah di tanah air, yang diharapkan adalah menghormati keragaman, termasuk menghormati pihak yang memang mempunyai perhitungan kalender berbeda. Ormas dan umat Islam di tanah air juga diharapkan dapat semakin bijaksana dan terbiasa menerima perbedaan yang notabenenya merupakan implementasi sikap moderasi beragama (baca: https://bimasislam.kemenag.go.id/post/berita/ajak-umat-makin-bijak-kasubdit-hisab-rukyat-kalender-hijriyah-tetap-jadi-pedoman, akses 17 April 2023).
Seperti diketahui, perbedaan penentuan awal bulan di Indonesia sudah lama terjadi, bahkan perbedaan itu sudah ada sejak zaman pra-kemerdekaan, bahkan lebih jauh lagi. Dengan kenyataan yang ada saat ini dan dengan alasan historis itu tampaknya Kemenag RI tidak lagi ‘ngotot’ dan ‘memaksa’ penyatuan awal bulan hijriah di tanah air.
Namun dalam perkembangannya ada paradoks dari program moderasi ini yang ditunjukkan salah seorang anggota Tim Hisab Rukyat Kemenag RI-nya. Anggota itu adalah seorang pakar yang memiliki banyak pengikut di media sosial dan dikenal sangat gigih membela keputusan Kemenag RI dalam masalah penetapan awal bulan hijriah, namun saat yang sama begitu intens mengkritik metode dan keputusan Muhammadiyah. Hanya saja kritik yang disampaikan kerap bersifat tendensi dan stigma negatif, yang ini paradoks dengan ruh moderasi beragama yang digaungkan Kemenag RI.
Beberapa narasi dan stigma negatif yang dilabelkan anggota Tim Hisab Rukyat Kemenag RI ini antara lain menyatakan Muhammadiyah sebagai organisasi yang mengedepankan ego dan mengabaikan ukhuwah Islamiyah, lalu berulang kali menyatakan metode/kriteria Hisab Hakiki Wujudul Hilal sebagai teori yang usang. Selain itu di media sosial anggota Tim Hisab Rukyat Kemenag RI ini juga kerap memberi pernyataan dan istilah yang menohok, menyindir, dan bahkan merendahkan Muhammadiyah. Problemnya lagi adalah segenap label, stigma, dan tendensi yang disampaikan itu tampak disengaja dan memang dipersiapkan, disini tampak anggota Tim Hisab Rukyat Kemenag RI ini memang ingin terbuka dan sengaja menyentuh aspek diluar substansi, tujuannya tidak lain agar Muhammadiyah merubah kriteria awal bulannya dan mengikuti keinginannya, yang ini bertolak-belakang dengan semangat moderasi yang diusung Kemenag RI. Tak ayal hal ini mendorong reaksi dari tokoh, akademisi, warga, dan simpatisan Muhammadiyah terutama di media sosial yang tidak terima dan tidak nyaman dengan pernyataan-pernyataan tersebut. Namun sayangnya dalam perjalanannya anggota Tim Hisab Rukyat Kemenag RI (yang juga profesor riset BRIN ini) terus dan semakin keras mengkritisi Muhammadiyah.
Terkini, pakar ini kembali menyorot Muhammadiyah terkait penetapan awal Syawal 1444 H (idul fitri) di Timur Tengah, terutama di negara Arab Saudi. Beberapa berita online, sebagaimana dikutip sang pakar, menyebutkan idul fitri akan jatuh pada tanggal 21 April 2023 M yang artinya akan sama dengan penetapan Muhammadiyah, sebatas ini tentu tidak ada masalah. Adapun yang menjadi problem dan menunjukkan tendensi adalah sang pakar menyatakan bahwa dipastikan penetapan negara-negara di Timur Tengah itu bukan berdasarkan Wujudul Hilal seperti digunakan Muhammadiyah. Berikut pernyataan sang pakar itu,
“…kalau pun akhirnya mereka mengumumkan idul fitri pd 21 April, Keputusan murni atas dasar hasil rukyat, bukan dg hisab wujudul hilal seperti dilakukan Muhammadiyah”.
Ini sekali lagi tendensi, yaitu kerap menjadikan Muhammadiyah objek negatif. Sama diketahui dan dapat dipastikan negara-negara di Timur Tengah, terutama Arab Saudi, menggunakan metode dan kriterianya masing-masing, apakah menggunakan hisab ataupun rukyat, tiap-tiap negara merdeka menggunakan metodenya. Lalu apa urusannya Muhammadiyah dan Wujudul Hilalnya harus dikaitkan? Padahal, bila ditelusuri berita-berita online yang beredar itu tak satupun yang menyatakan bahwa negara-negara Timur Tengah menggunakan Wujudul Hilal dalam menjatuhkan awal Syawal, ditambah lagi berita-berita itu bukan berasal dari sumber resmi Muhammadiyah. Disini sekali terlihat tendensi dari sang pakar yang terus menyorot Muhammadiyah dari berbagai sisi.
Karena itu dalam konteks moderasi beragama, patut dipertanyakan bagaimana sikap Kemenag RI atas sikap dan pernyataan salah satu anggota (pakar) nya ini. Secara konten dan substansi, jelas stigma dan tendensi yang kerap disematkan kepada Muhammadiyah yang mengatasnamakan anggota Tim Hisab Rukyat Kemenag RI bertolak-belakang dengan semangat moderasi beragama yang digaungkan. Jika Kemenag RI, terutama unsur yang secara langsung berhubungan dengan masalah ini diam dan tak memberi respons, maka ini berarti tidak mengindahkan moderasi beragama yang digaungkan, itu artinya moderasi yang digaungkan sebatas narasi. Sebab seperti diketahui selama ini sang pakar anggota Tim Hisab Rukyat Kemenag RI ini kerap menjadi ‘pembela’ paling terdepan keputusan Kemenag RI terutama dalam masalah awal bulan (dan masalah awal waktu Subuh), bahkan anggitan IR MABIMS 3-6.4 juga merupakan peran dominan darinya. Namun tatkala anggota Tim Hisab Rukyat Kemenag RI ini ‘menghajar’ Muhammadiyah, Kemenag RI sama sekali tak memberi respons dan arahan moderasi, maka ini paradoks. Wallahu a’lam. []
Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, Dosen FAI UMSU & Kepala OIF UMSU