Oleh: M. Rofiq Muzakkir
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
الصَّلَاةُ و السَّلَامُ عَلَى أَشْرَفِ الْمُرْسَلِيْنَ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ
أما بعد:
Jamaah hadirin dan hadirat yang Allah muliakan
Peristiwa gerhana adalah sunnatullah, fenomena alam, yang terjadi sesuai dengan ketentuan Allah azza wa jalla. Allah mengatur pergerakan alam semesta secara detail dan rapi. Allah berfirman:
وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَّهَا ۚ ذَٰلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ
dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan (Allah) Yang Mahaperkasa, Maha Mengetahui. (Yasin 38)
Gerhana matahari (dalam Bahasa Arab disebut dengan khusūf) terjadi ketika bulan mengakhiri satu putaran rutin nya mengelilingi bumi. Ketika gerhana terjadi, posisi bulan berada di tengah-tengah antara matahari dan bumi dalam satu garis lurus. Posisi tengahan bulan ini menutupi seluruh atau sebagian cahaya matahari ke bumi.
Rasulullah Saw mewasiatkan kepada kita pada saat gerhana terjadi untuk memperbanyak zikir, doa, dan istighfar.
إنَّ الشَّمْسَ والقَمَرَ آيَتانِ مِن آياتِ اللَّهِ، لا يَخْسِفانِ لِمَوْتِ أحَدٍ ولا لِحَياتِهِ، فإذا رَأَيْتُمْ ذلكَ، فادْعُوا اللَّهَ، وكَبِّرُوا وصَلُّوا وتَصَدَّقُوا
Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari banyak tanda-tanda kekuasaan Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena wafatnya atau hidupnya seseorang. Jika kalian melihat gerhana, maka berdoalah kepada Allah, perbanyak takbir, lakukan shalat, dan bersedekahlah. [HR Bukhari no 1044 dan no Muslim 901]
Dalam hadis lain beliau bersabda,
فَافْزَعُوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ تعالى، ودُعَائِهِ، وَاسْتِغْفَارِهِ
Bersegeralah untuk berzikir kepada Allah, berdoa kepada-Na, dan beristifghar [HR Bukhari no 1059 dan Muslim no 912].
Jamaah hadirin dan hadirat yang Allah muliakan
Perintah khusus untuk melaksanakan zikir, doa, dan istighfar di waktu gerhana (momen khusus yang jarang terjadi) mengindikasikan setidaknya dua hal.
Pertama, peristiwa gerhana adalah salah satu momen yang mustajab (doa kita akan dikabulkan oleh Allah Swt). Untuk itu, selaku khatib, saya mengajak kepada kita semua pada hari ini untuk melangitkan kalimat-kalimat indah dan memunajatkan keinginan kita kepada Allah Swt. Mintalah apapun kepada Allah disertai keyakinan bahwa Allah akan mengabulkan nya (udʿullāh wa antum muqinūna bil ijābah).
Kedua, Rasulullah mengingatkan kepada kita bahwa kita harus menghubungkan semua hal di alam semesta yang kita lihat kepada kebesaran Allah Swt. Gerhana adalah kesempatan bagi kita untuk mengekspresikan kesadaran bahwa Allah lah yang berkuasa dan mengatur alam semesta. Semuanya tunduk akan kehendak Allah. Matahari tunduk, bulan tunduk, maka kita pun semestinya tunduk kepada-Nya.
Jamaah hadirin dan hadirat yang Allah muliakan
Peristiwa gerhana matahari pernah terjadi pada masa Rasulullah satu kali. Peristiwa ini terjadi di akhir hayat beliau, yaitu tepatnya tanggal 29 Syawwal tahun 10 hijriyah, atau lima bulan sebelum beliau wafat. Sebagaimana kita ketahui, Nabi kita tercinta wafat pada tanggal 12 Rabiul Awwal 11 H.
Peristiwa gerhana di zaman Rasulullah terjadi berbarengan dengan wafatnya putra terakhir beliau yang bernama Ibrahim. Ia adalah satu-satunya anak nabi yang lahir dari selain ummul mukminin Khadijah Ra. Ibrahim lahir dari pasangan Nabi yang bernama Maria Qibtiyyah yang berasal dari Mesir.
Nabi sendiri dalam hidupnya memiliki tujuh orang anak, yaitu Qasim, Abdullah (yang wafatnya menjadi sebab turunnya surat al-Kautsar), Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, Fatimah, dan Ibrahim sendiri. Qadarallah, semua anak-anak Nabi dipanggil oleh Allah mendahului beliau, kecuali Sayyidah Fatimah az-Zahra, yang wafat enam bulan setelah nabi wafat.
Pada saat gerhana terjadi, muncul desas-desus di kalangan sahabat Nabi bahwa fenomena ini terjadi karena wafatnya Ibrahim. Nabi mengetahui beredarnya spekulasi ini di kalangan sahabatnya di Madinah. Maka dalam khutbah nya Nabi tegaskan:
إنَّ الشَّمْسَ والقَمَرَ لا يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أحَدٍ ولَا لِحَيَاتِهِ
Sesungguhnya matahari dan bulan tidak mengalami gerhana karena wafatnya atau hidupnya seseorang. [HR Bukhari no. 1059]
Jamaah hadirin dan hadirat yang Allah muliakan
Pernyataan Nabi dalam hadis ini sesungguhnya penting untuk kita renungkan sejenak karena ada pelajaran akidah penting di dalamnya. Kita seringkali secara keliru menisbahkan peristiwa di dunia karena perbuatan manusia. Khusus terkait dengan gerhana, bahkan ada satu keyakinan mistik pada tingkat global yang terdapat dalam banyak peradaban manusia bahwa peristiwa ini adalah akibat dari seorang raksasa memakan matahari.[1] Tentu saja ini suatu kekeliruan: selain bertentangan dengan akidah Islam, ia juga bertentangan dengan ilmu pengetahuan.
Di samping pandangan mistik, di sisi lain, kita juga menjumpai pandangan sekuler terkait gerhana. Kelompok ateis atau agnotik meletakkan fenomena gerhana matahari murni sebagai gejala alam, tidak ada hubungan nya dengan Tuhan dan keimanan. Pandangan ini tidak kalah menyesatkan nya. Alam semesta dikosongkan dari campur tangan Tuhan. Naʿūdzubillāh, betapa arogannya pandangan ini.
Di sinilah kita bisa memahami letak posisi tengahan (wasatiyyah) Islam. Ajaran agama ini berada di antara kelompok yang kurang dan lebih (bayna al-ifrāṭ wa al-tafriṭ). Islam tidak mistis, tetapi juga tidak sekuler. Ajaran tengahan ini perlu kita dakwahkan kepada dunia global. Allah berfirman:
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا
Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. [QS al-Baqarah 143]
Apa yang terjadi pada Nabi Muhammad setelah wafatnya putra beliau?
Kembali kepada Ibrahim. Ia wafat dalam usia belum genap dua tahun. Ada riwayat yang menyebutnya bahwa ia wafat pada usia 1 tahun 4 bulan, ada yang menyebutnya 1 tahun 6 bulan. Pada usia ini, anak-anak sedang dalam usia menggemaskan. Anak kecil mulai mengenal orang tuanya, mulai berjalan, dan lari-lari kecil. Anak pada usia ini membawa kesenangan kepada orang tuanya. Kehilangan anak pada usia ini tentu akan sangat menyakitkan bagi orang tua. Begitu pula dengan Nabi Muhammad Saw.
Wafatnya Ibrahim meninggalkan kesedihan yang mendalam pada diri beliau. Air mata deras mengalir di pipi beliau. Seorang sahabat, Abdurrahman ibn Auf, yang menyaksikan ini sampai terheran dan bertanya:
“Wa anta yā rasūlallāh (Engkau juga bisa menangis, ya Rasulullah)?
Jawaban Rasulullah adalah sebagai berikut:
إنَّهَا رَحْمَةٌ
Ini adalah tangisan kasih sayang
إنَّ العَيْنَ تَدْمَعُ، والقَلْبَ يَحْزَنُ، ولَا نَقُولُ إلَّا ما يَرْضَى رَبُّنَا، وإنَّا بفِرَاقِكَ يا إبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ
Sesungguhnya mata ini bisa menitikkan air mata dan hati ini bersedih, namun kami tidak mengatakan sesuatu yang tidak diridhai Rabb kami. Sesungguhnya kami bersedih dengan kepergianmu wahai Ibrahim. [HR Bukhari no 1303 dan Muslim no 2315]
Jamaah hadirin dan hadirat yang Allah muliakan.
Ada pelajaran penting yang dapat kita ambil dari jawaban Rasulullah ini.
Pertama, kesedihan saat musibah terjadi adalah sesuatu yang manusiawi. Kesedihan justru menunjukkan ada kasih sayang dalam diri kita. Sedih juga tidak bertentangan dengan sabar. Orang yang bersedih dan menangis, bukan berarti ia tidak sabar. Sabar artinya adalah mengontrol ucapan dan lisan kita, supaya tidak mengucapkan kalimat buruk dan berbuat buruk. Kita tidak merusak diri dan orang lain dan juga tidak frustasi.
Kedua, hadis ini menunjukkan tingkat keteguhan hati dan kesabaran Nabi Muhammad Saw. Beliau adalah makhluk Allah yang paling banyak diuji Allah. Beliau kehilangan ayah-ibu saat kecil, kehilangan istri dan paman di puncak rintangan dakwah, akhirnya juga harus kehilangan anak di usia tua. Sebelum lahir, sejak kecil, sampai jelang wafat hidup Nabi tidak berhenti diuji Allah.
Pelajaran yang bisa kita ambil dari teladan Nabi Muhammad adalah pentingnya sabar dalam menghadapi ujian. Ujian adalah mekanisme yang Allah pilih untuk meningkatkan derajat kita di hadapan-Nya. Ujian jangan sampai membuat kita menjauh dari Allah dan menjadi kufur terhadap-Nya. Rasulullah bersabda:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ)
Diriwayatkan dari Anas ibn Malik Ra dari Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya besarnya pahala itu sesuai dengan besarnya cobaan. Dan sesungguhnya apabila Allah mencintai sebuah kaum niscaya Allah akan memberikan cobaan kepada mereka. Maka barangsiapa yang ridha (dengan ketetapan Allah –pent), maka Allah akan ridha kepadanya. Dan barangsiapa yang tidak ridha, maka Allahpun tidak akan ridha kepadanya.” [HR. Tirmidzi, no 2320 dan Ibnu Majah no 4021]
Jamaah hadirin dan hadirat yang Allah muliakan.
Sebelum mengakhiri ibadah shalat gerhana hari ini dengan berdoa, izinkan khatib merangkum pelajaran penting yang perlu kita catat.
1 Gerhana mendorong kita memperbanyak ibadah kepada Allah dengan berzikir, beristighfar, berdoa, dan bersadaqah. Di akhir bulan Ramadhan tentu saja, amalan ini bermakna khusus bagi kita semua. Insya Allah pahalanya Allah lipat gandakan.
2 Gerhana menguatkan iman kita karena peristiwa ini mengingatkan kita bahwa Allah mengatur alam semesta dengan kerapian dan keindahan.
Marilah kita berdoa kepada Allah azza wajalla.
Doa
اْلحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَ بِهِ نَسْتَعِيْنُ عَلَى أُمُوْرِ الدُنْيَا وَ الدِيْنِ
وَ الصَّلَاةُ و السَّلَامُ عَلَى أَشْرَفِ الْمُرْسَلِيْنَ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ
اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ سَلاَمَة ًفِى الدِّيْنِ وَعَافِيَة ًفِى اْلجَسَدِ وَ زِيَادَةً فِى اْلعِلْمِ وَبَرَكَةً فِى الِّرزْقِ وَتَوْبَةً قَبْلَ الْمَوْتِ وَرَحْمَةً عِنْدَ اْلمَوْتِ وَمَغْفِرَةً بَعْدَ الْمَوْتِ
رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيم
رَبَّنَا أَتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Rofiq Muzakkir, Warga Muhammadiyah Ranting Jongke Tengah, Sleman
[1] https://www.nationalgeographic.com/science/article/131101-solar-eclipse-myth-legend-space-science