YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Bulan Ramadhan telah berada di penghujung dan sebentar lagi tiba Hari Raya Idul Fitri. Karena itu, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir berpesan agar implementasi dari ibadah yang dikerjakan selama Ramadhan untuk dibumikan kembali sehingga betul-betul melahirkan insan bertakwa di muka bumi.
“Kami harapkan kita kaum muslimin yang menjalankan puasa dengan seluruh rangkaian ibadah lainnya selama satu bulan lamanya menjadi insan-insan yang semakin bertakwa yakni Insan Yang selalu menjalankan perintah Allah menjauhi larangannya dan membuahkan kesalehan bagi kehidupan diri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan kemanusiaan semesta,” ujarnya Kamis (20/4).
Setiap umat Islam yang menjalankan ibadah Puasa Ramadhan niscaya dijalani secara khusyuk dan khidmat. Semua itu ketika tiba pada puncaknya Hari Raya Idul Fitri—maka akan memancarkan rasa kegembiraannya. Yakni gembira karena telah menyelesaikan perintah Allah untuk berpuasa dan pada saat bersamaan gembira dengan diperbolehkannya kembali untuk makan, minum, dan segala pemenuhan kebutuhan biologis sebagaimana mestinya. Itulah Idul Fitri sebagai hari raya berbuka puasa.
Selain itu, konteks lain dari Idul Fitri adalah mengaktualisasikan kembali dari ibadah yang telah ditunaikan selama Ramadan ke dalam bingkai kehidupan sehari-hari. Mulai puasa, salat tarawih, tadarus Al-Qur’an, infak dan sedekah seyogianya tidak hanya ditunaikan pada Ramadan berlangsung. Akan tetapi, hal itu diteruskan berikutnya dengan kesungguhan diri agar mampu membawa dampak dan transformasi bagi kehidupan kini dan di masa depan.
“Setiap muslim yang berpuasa dan tunai puasanya dengan berbuka di hari 1 Syawal 1444 Hijriah maka bagaimana nilai-nilai puasa dan seluruh rangkaian ibadah lainnya diaktualisasikan di dalam kehidupan. Insan yang bertakwa harus menjadi manusia terbaik dalam jiwa, pikiran, dan tindakan sebagai insan uswah hasanah (teladan terbaik) sekaligus menjadi ihsan kepada sesama dan lingkungan,” katanya.
Menjadi insan bertakwa maka akan selalu menjalankan perintah Allah menjauhi larangannya dan membuahkan kesalehan bagi kehidupan diri keluarga masyarakat bangsa dan kemanusiaan semesta. Ketika merayakan Idul Fitri, insan bertakwa niscaya dengan ketakwaannya itu akan melakukan penyatuan ukhuwah (persaudaraan) sehingga dapat menyatukan umat dan membawa kemajuan dalam hidup yang berlandaskan nilai-nilai luhur agama, kemanusiaan, dan kemasyarakatan yang berbuah amal saleh.
“Saya yakin setelah kita berpuasa dan puncaknya beridul fitri kita menjadi insan yang secara kolektif selain berakhlak mulia juga membawa kehidupan yang semakin baik dalam berbagai aspek kehidupan. Umat Islam menjadi baik aqidahnya, ibadahnya, akhlaknya, serta muamalah dunyawiyah sehingga kemudian menjadi Khairu Ummah (umat terbaik). Insyaallah kaum muslimin di manapun berada termasuk di negeri tercinta akan menjadi Insan penebar rahmat bagi semesta alam,” tuturnya.
Haedar menyebut dalam konteks Idul Fitri, lalu lintas kehidupan kebangsaan mesti dijiwai dengan nilai-nilai luhur keadaban yang berbasis pada ajaran agama. Nilai-nilai tersebut diintegrasikan pada nilai-nilai agama, Pancasila, bermasyarakat, dan kebudayaan bangsa.
“Perpaduan agama Pancasila dan nilai luhur kebudayaan bangsa akan melahirkan insan-insan indonesia yang berkeadaban utama. Lebih-lebih setelah berpuasa bagi kaum muslimin sebagai mayoritas di negeri ini jadilah sinar penerang, jadilah pencerdas, dan jadilah perekat kebersamaan hidup dalam kebhinnekaan,” terangnya.
Lebih dari itu, Haedar mengingatkan spirit Bhinneka Tunggal Ika harus menjadikan bangsa ini kokoh dan bersatu. Sehingga dapat tampil sebagai bangsa yang berdaulat, unggul, berkemajuan, dan setara dengan bangsa-bangsa lain. “Jadikan Idul Fitri sebagai kekuatan ruhani kolektif kaum muslimin dan warga bangsa untuk membawa Indonesia menjadi Indonesia berkemajuan dalam berbagai aspek kehidupan,” ucapnya.
Terakhir, Haedar berpesan ketika merayakan Idul Fitri tidak serempak, seperti yang terjadi pada tahun ini, maka dirinya mengajak untuk kedepankan sikap tasamuh (toleransi) dengan saling menghargai dan saling menghormati. Umat Islam tidak boleh bersikap diskriminatif dan menciptakan kegaduhan di ruang publik.
“Jika ada perbedaan dalam beridul fitri dan dalam kegiatan-kegiatan ibadah yang bersifat furu’iyah dan ikhtilaf, maka ke depankan tasamuh, saling toleran dan menghargai dengan penuh kedewasaan,” jelasnya. (Cris)