TUBAN, Suara Muhammadiyah – Ratusan warga Muhammadiyah Panyuran, Cabang Palang, Daerah Tuban Jawa Timur tumpah ruah memenuhi halaman MI Muhammadiyah Panyuran, Jumat (21/4) untuk menunaikan Shalat Idul Fitri 1 Syawal 1444 Hijriah. Bertugas sebagai Imam dan Khatib adalah Athiful Khoiri, S.Psi., M.Psi selaku Aktivis Muda Muhammadiyah Sleman, Yogyakarta.
Dalam Khutbahnya, Athiful menyampaikan bahwa Idul Fitri kali ini menjadi momentum yang sangat tepat untuk mengumandangkan takbir, tahmid, dan tasbih sebagai manifestasi mengagungkan asma Allah. “Allah-lah dzat yang paling besar. Tidak ada yang lebih besar dari-Nya. Allah-lah yang paling berhak atas segala apa yang terjadi di alam semesta, termasuk apapun yang terjadi pada diri kita sekalian,” ujarnya.
“Kita adalah makhluk-Nya yang lemah, tiada daya, dan tiada kekuatan apapun kecuali atas kehendak Allah. Makhluk yang diciptakan dari tanah yang proses penciptaannya memberikan pelajaran mendalam bagi kesadaran manusia, tentang siapa kita, di mana kita, dan akan ke mana kita nanti,” lanjutnya.
Kemudian Athiful menyitir QS. Al-Mu’minun ayat 12-14. Surat ini berkaitan dengan proses penciptaan manusia. Tiga ayat itu menurutnya menyadarkan umat manusia untuk kembali merenungkan betapa agung-Nya Allah dan betapa lemahnya manusia.
“Jika kesadaran ini kita tanamkan dalam jiwa kita, maka bisa dipastikan kita akan senantiasa patuh dan takut karena cinta kepada Allah,” terangnya.
Dari ayat ini manusia haruslah menyadari bahwa kita semua berasal dari Allah, dan akan kembali kepada-Nya. “Kita berawal dari kondisi yang lemah dan akan kembali menjadi lemah. Kita akan melewati sebuah siklus yang berasal dari tidak ada dan akan kembali kepada ketiadaan kembali,” ungkap Anggota Majelis Tabligh PCM Depok Sleman itu.
Untaian takbir, tahmid, dan tahlil yang dikumandangkan dari lisan manusia di hari yang fitri ini harus ditancapkan dalam hati pribadi manusia. Takbir yang membesarkan nama Allah, harus serta merta mengecilkan nafsu dan kesombongan manusia.
“Takbir tanda kebahagiaan Idul Fitri, harus serta merta menjadi tanda perubahan untuk menjaga kesucian ini. Takbir di Idul Fitri ini harus tumbuh dari dalam hati untuk menjadi pujian terbaik bagi Penguasa Alam Semesta,” ungkapnya.
Kemudian Athiful mengajak jamaah untuk menjadikan Idul Fitri kali ini sebagai renungan suci akan kebesaran Allah, sekaligus tekad untuk menjaga kesucian diri. “Setelah melalui kawah candradimuka perjuangan dan pendidikan di bulan Ramadhan, kita harus mampu menjadi pribadi yang paripurna setelah gemblengan puasa selama satu bulan penuh,” ujar Psikolog alumni Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta ini.
“Dalam puasa, kita diajarkan menahan diri untuk tidak makan dan minum, sehingga setelah puasa, jangan lagi kita memakan makanan yang bukan hak kita. Dalam puasa kita terbiasa dengan bibir kering karena kehausan, mata kita sayu karena keletihan, dan perut kita kosong karena menahan lapar, sehingga jangan sampai ke depan, tangan-tangan kita kotor karena berbuat zalim kepada orang lain,” terangnya.
“Pada Ramadhan kita yang bisa khusyuk dalam shalat, sehingga jangan lagi setelah Ramadhan kita juga khusyuk merampas hak-hak orang lain. Pada Ramadhan, kita lihai membaca ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga jangan sampai kita juga lihai menipu orang lain,” pungkas penulis Khutbah Jumat Suara Muhammadiyah ini. (Din/Tuban)