Haedar Nashir: Pascaramadhan, Mestinya Terjadi Transformasi Perilaku
JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Umat Islam telah meninggalkan bulan Ramadan. Bersamaan dengan itu juga telah merayakan Idul Fitri dengan penuh kegembiraan dan sukacita. Karena itu, umat Islam penting merenungkan kembali perjalanan spiritual yang telah dilakukan pascaramadhan berlalu. Yakni mengenai ibadah puasa yang menjadi perintah Allah.
Ibadah ini setiap tahun dikerjakan oleh segenap umat Islam di seluruh penjuru buana. Di mana verbal syariahnya menahan diri dari makan, minum, dan aktivitas yang mengeluarkan energi sejak terbit fajar hingga terbenam matahari. Titik tujunya agar peserta puasa dapat mencapai derajat takwa.
“Setiap tahun kita berpuasa, berarti kalau mereka yang makin tua pengalamannya makin panjang. Seiring bertambahnya umur, mestinya kualitas ketakwaan umat dalam menjalankan ibadah Ramadan harus meningkatkan,” ujar Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir dalam Program Acara MetroTv Damai Fitri Terangi Negeri: Lebaran Bersama Haedar Nashir, disiarkan dari Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Jakarta, Sabtu (22/4).
Usaha mengintensifikasikan ibadah-ibadah terkait Ramadhan, sebagai koridor untuk meningkatkan ketakwaan. Karena mustahil takwa bisa meningkat tanpa adanya usaha, ikhtiar yang dilakukan. Untuk mengukur capaian ketakwaan, Haedar membentangkan pelbagai karakteristik yang menonjol.
Pertama orang yang menginfakan sebagian hartanya baik lapang maupun sempit. Kedua, orang yang dapat menahan marah. Ketiga, memberi maaf kepada orang.
Dalam acara tersebut, Haedar menyebut bahwa pascaramadhan di mana di dalamnya ada ibadah puasa dan sederet ibadah lainnya semestinya dapat mentransformasikan perilaku. Yakni dalam orientasi sikap, pikiran, dan tindakan yang mencerminkan nilai-nilai luhur agama.
Sebagai contoh, harta yang diberikan Allah untuk dunia-akhirat sekaligus berbagi ketika diberikan kelebihan dari harta tersebut. Akan tetapi, kehidupan masa kini dipersaksikan dengan budaya flexing (pamer) yang memperlihatkan kepemilikan materi serba glamor di ruang jagat media sosial.
Budaya flexing sering dilakukan oleh berbagai kalangan seperti selebriti, penguasaha, pengacara, pejabat tinggi negara, bahkan pendakwah agama yang memamerkan harta serba mewah. Tentu saja ini akan menggerus nilai-nilai keislaman.
Budaya semacam ini menjadikan puasa maupun ibadah yang dijalani tidak bernilai apapun, dalam kata lain hampa tanpa membuahkan makna hakiki, yakni mentransformasi perilaku dari buruk ke baik, dari baik ke baik lagi.
“Ketika harta itu ditumpuk-tumpuk lalu jadi pamer kemewahan seperti sekarang menunjukkan puasa atau ibadah tidak menggerakkan dan mengubah perilaku kita tentang harta (dunia). Lebih jauh lagi ketika kita mengejar sesuatu yang berlebihan lalu kita jadi sering menggunakan cara-cara instan dengan segala cara. Satu contoh saja ini menjadi energi kolektif bahwa agama mengajarkan untuk hidup hemat dan dengan hemat kita bisa berbagi bukan boros,” katanya.
Guru Besar Ilmu Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini menyebut mekarnya budaya flexing sehingga dapat menggerus nilai-nilai keislaman itu disebabkan karena dua hal. Pertama bawaan materi ingin eksis, melihat, dan dilihat. Artinya orang dengan materi hidupnya selalu hendak viral dan dipuji oleh banyak orang terhadap hal yang dimilikinya.
Di sinilah lalu agama memberikan tuntunan bahwa materi itu bisa menyelamatkan dan bisa juga menjerumuskan dalam hidup. “Ada problem di mana cara kita beragama tidak menginternalisasi di dalam diri kita tetapi lebih daripada syariat luarnya,” jelasnya.
Kedua, lingkungan. Kemajuan media sosial menjadi wahana untuk ajang menampilkan kepameran. Seperti pelaksanaan shalat atau ibadah haji di Masjidil Haram, di mana jamaah memiliki dorongan untuk di foto atau di vidio, lalu kemudian di posting di media sosial menurut Haedar perbuatan macam ini tidak elok dilakukan.
Sehingga puasa dan ibadah di bulan Ramadan menempa diri untuk menahan melakukan perbuatan tidak bermaslahat. Dengan kata lain, Ramadan mengajarkan diri untuk peduli sesama dan semangat berbagi harus menjadi budaya kolektif bagi kaum beragama. “Saya yakin kalau budaya berbagi dan budaya peduli itu hidup maka tidak akan lagi ada pameran kemewahan,” tegasnya. (Cris)