Oleh: Mansurni Abadi
Terakhir kali saya membaca istilah “Halalkan darah” itu di majalah Isis yang berjudul dabiq tiga tahun lalu saat sedang menjadi asisten peneliti perihal radikalisme. Karena saya hobi mengoleksi buku, majalah itu kemudian saya bawa pulang kerumah. yang terjadi kemudian saya malah diintrograsi oleh pihak keluarga yang mengkhawatirkan saya akan melakukan hal-hal diluar nalar padahal niat hati hanya ingin mengetahui. Jangankan untuk menghalalkan darah manusia, memotong ayam saja saja saya tak sanggup.
Terkadang saya heran ada sebagian orang yang dengan gampangnya mengeluarkan diksi bak vampire itu, kita yang masih manusia seutuhnya lebih baik jangan mencari-cari darah meskipun hanya lewat kata lebih baik berderma darah untuk menolong sesama karena yang kedua lebih banyak manfaatnya.
Bagi saya, istilah ini memang bukan main-main karena tergolong kekerasan verbal yang akibatnya fatal jika sering di pelintir. Karena secara tersirat maupun tersurat sudah menempatkan pihak yang berbeda sebagai lawan yang harus di enyahkan, anti terhadap perbedaan, dan secara tidak langsung mendorong terjadinya pembelahan dimasyarakat yang melihat pihak lain itu sebagai lawan.
Dahulu saya mengira istilah seperti ini hanya datang dari kelompok ekstrim dikarenakan kemiskinan, kesalahan pemahaman agama, dan berpendidikan rendah namun seiring waktu nyatanya saya salah. Saat ini saya jumpai kembali kata—kata itu namun bukan dari kelompok yang sering kita kutuki itu , tetapi justru datang dari dari oknum akademisi yang berkerja untuk lembaga riset milik Negara sekelas BRIN terhadap organisasi Muhammadiyah.
Saya yakin keduanya memiliki prividlege pendidikan yang tidak dari NOL, baik dari segi fasilitas maupun jaringan sosial yang seharusnnya menghindarkan keduanya dari tindakan konyol. Disini saya menggunakan istilah oknum karena tidak ingin terjebak sesat pikir yang cenderung menggeneralisasi semua peneliti dari lembaga itu sama, karena ada juga warga Muhammadiyah yang saat ini menjadi peneliti BRIN.
Saya pun masih meyakini ada banyak lagi peneliti maupun calon peneliti di lembaga itu yang masih mengedepankan kehati-hatian ketika berkata sembari merayakan perbedaan sebagai sesuatu yang tidak perlu direspon dengan emosi.
Tentang sosial media dan ilmu.
Idealnya seorang peneliti atau yang bekerja di ranah akademis harus menjadi garda terdepan dalam menciptakan masyarakat berilmu yang bukan saja pintar secara akademis namun mampu memahami batas-batas antara kebenaran dan kemanfaatan terhadap segala sesuatu dengan bertindak yang sepatutnya sehingga tidak mengiris hati kelompok lain.
Tapi badai telah terjadi, kini publik diluar dari warga Muhammadiyah sekalipun merasa marah. Laporan polisi telah dibuat, BRIN pun telah bertindak. Di samping konsekuensi etik tentu ada konsekuensi sosial yang harus mereka terima dari netizen indonesia yang terkenal dengan sopan santunnya. Andaikan mereka pernah membaca buku dari George chelin tentang pelintiran kebencian itu, maka mereka pasti akan tahu konsekuensi dari setiap kalimat bernada kebencian yang terlanjur terlontar di ruang publik.
Bebas berpendapat di media sosial bukan berarti bisa bebas dari tanggung jawab. Ada aksi maka ada pula reaksi. Sebenarnya Muhammadiyah tidak melarang terjadinya kritik terhadap kriteria hilalnya toh kapasitas kedua oknum merupakan astronom, jadi sah-sah saja. Saya pun tidak mengerti apa polemiknya karena ranah saya bukan di sana.
Tapi, alangkah arifnya pula, kalau kritikan ilmiah mereka yang akademis itu , tidak disertai narasi-narasi yang negative terhadap Muhamamdiyah seperti “tidak taat pemerintah”, “ego organisasi”, apalagi sampai ada komentar mengancam. Meskipun sudah dihapus, jejak digital sudah terlanjur tersebar.
Bagi saya yang membedakan seorang yang berilmu dan tidak dalam menggunakan media sosial itu adalah dari caranya untuk membangun konten maupun percakapan yang sehat ketika dihadapkan pada perbedaan. Sehingga pemahaman bersama dapat terjalin, sembari mengapreasi apa yang menjadikan kita berbeda dan apa yang menjadikan kita sama.
Dalam konteks ini, posisi media sosial tidak bisa dikambing hitamkan karena sebagai wadah interaksi, posisinya netral untuk digunakan semua pihak apalagi dizaman ini tentu pengunaan sosial media itu suatu kebutuhan. Tetapi tanggung jawab penggunaan sosial media itu terletak sepenuhnya pada si pengguna bukan pada sosial media itu sendiri.
Diksi darah dan emosi destruktif
Saat mengkaji diksi-diksi yang digunakan kamu radikal, diksi darah ini berkaitan dengan kehidupan yang jika dipanjangkan lagi berhubungan dengan kemanusiaan. menghalalkan darah secara tersirat artinya ada niatan untuk mengugat kemanusiaan pihak lain karena tersimpan rasa benci. Kata menjadi alat yang efektif bagi seorang ekstrimis untuk mempropagandakan kebencian begitulah tulis J.M Berger dalam buku tentang ekstrimismenya namun marilah kita berbaik sangka untuk tidak menuduh kedua oknum sebagai seorang ekstrimis layaknya teroris.
Emosi sesaat seringkali dijadikan pembenaran oleh para oknum apalagi ketika adu argument di sosial media yang memang kadang panas. Namun dari banyaknya kata-kata yang kemudian keluar, tentu sangat ditentukan oleh motivasi dari alam bawah sadar si empunya badan begitulah tulis Mariana de Toledo Nascimento Gomes, seorang peneliti asal Brazil di jurnal berjudul O discurso de ódio na clínica psicanalítica (diskursus ujaran kebencian dari psikoanalisa).
Tentu amat wajar jika publik bertanya-apa tentang motif kebencian dari oknum peneliti itu terhadap Muhammadiyah selain karena persoalan perbedaan penentuan Ramadhan yang sebenarnya hal yang sudah lumrah karena sudah sering terjadi.
Kiranya perihal perbedaan ini, kedua oknum yang sebenarnya orang dengan latar belakang baik ini , harus membaca buku dari The Righteous Mind: Why Good People Are Divided by Politics and Religion dari Jonathan Haidt agar mereka memiliki pemikiran yang benar dan asyik tentang perbedaan.
Mungkin ada baiknya juga setelah semuanya berlalu, kedua oknum peneliti ini membaca buku- buku psikologi terutama tentang emosi, baik yang berasal dari ajaran islam maupun umum seperti misalnya Destructive Emotions dari Daniel Goleman, Master Your Emotions: A Practical Guide to Overcome Negativity and Better Manage Your Feelings dari Thibaut Meurisse, ataupun Don’t Become Angry dari penerbit Darussalam Arab Saudi agar mereka tidak terus menerus terjebak pada emosi yang desktruktif. A SCIENTIFIC DIALOGUE WITH THE DALAI LAMABy Daniel Goleman
Tidak sebatas materai
Disamping harus viral, tanda tangan diatas materai seringkali menjadi jalan ninja untuk menyelesaikan setiap persoalan. Bukan berarti hal itu tidak bagus, namun jika terus menerus dinormalkan tanpa adanya efek jera yang terjadi akan terus terjadi. Apalagi tanda tangan di atas materai seringkali tidak menimbulkan konsekuensi yang serius bagi si pelaku.
Di tengah mayoritas yang mudah lupa, penindakan yang tegas menjadi sebuah keharusan agar jari-jari lainnya tidak mengikuti jejak yang saat ini tengah viral. Pengawalan terhadap kasus ini bukan berarti kita tidak mempercayai kinerja mereka yang menegakkan aturan, hanya saja kita menginginkan aturan itu tidak memandang bulu dalam penindakan. Artinya setiap dari mereka yang berbuat sedemikian apapun posisinya, akan merasakan hal yang sama sehingga kehati-hatian akan dikedepankan dalam bermedia sosial dan tidak ada kecurigaan dari publik.
BRIN sebagai lembaga tempat kedua oknum bernaung, meski bersikap terbuka dan tegas terhadap keduanya dan sebagai warga Muhammadiyah, memaafkan pelaku tentu sudah menjadi keharusan, namun maaf bukan berarti kita melupakan.
Sejuk dalam merespon
Kita sebagai warga Muhamamdiyah maupun Non Muhammadiyah yang turut bersimpati hendaknya merespon situasi yang terjadi dengan kepala dingin, tidak perlulah untuk ikut-ikutan menghujat dengan kata-kata kasar apalagi sampai mengajak bertemu untuk baku hantam. Mengedepankan cara-cara yang bijaksana dan rasional tentu menjadi keutamaan.
Kita harus mewaspadai pemanfaatan kasus yang tengah viral ini untuk membenturkan rakyat dengan pemerintah ataupun ormas dengan ormas. Cocoklogi menjadi amat berbahaya ketika di framing seolah-olah apa yang dilakukan kedua oknum mewakili pandangan ormas tertentu dan pro terhadap tokoh politik tertentu yang ada kaitannya dengan Negara.
Akhirul Kalam, di tengah panasnya cuaca Kuala Lumpur ketika menulis artikel ini, saya rasa dari kasus ini kita juga perlu belajar untuk tidak membalas ujaran kebencian dengan ujaran kebencian. Kita pun bisa belajar jika menjadi akademis saja tidak cukup namun harus menjadi beradab dan toleran terhadap perbedaan tentu perbedaan dalam konteks yang tidak menggugat moralitas, dan pengunaan media sosial harus di imbangi dengan kesadaran akan akibat.
Mansurni Abadi, Pengurus RPK IMM Malaysia / editor untuk Nadi Siswa Malaysia