Moderat Berkemajuan

Moderat Berkemajuan

Oleh: Fokky Fuad Wasitaatmadja

 

Tesis versus Anti-Tesis

Sikap beragama manusia umumnya dapat dilihat dari 3 hal: puritan-ortodoks, moderat, dan liberal. Ketiga sikap ini merupakan bentuk dari cara kerja akal untuk menginterpretasikan makna kandungan ayat-ayat yang terdapat dalam Kitab Suci. Beragama secara puritanisme merupakan cara beragama manusia dimana manusia meyakini bahwa kitab suci mengandung kebenaran mutlak. Campur tangan akal dipahami hanya akan menjadi cara dan upaya manusia untuk merubah apa yang telah Tuhan perintahkan dalam kitab suci. Ayat-ayat suci sebagai kebenaran mutlak sehingga tidak memerlukan interpretasi mendalam atas makna yang terkandung di dalamnya. Kelompok ortodoks ini sudah ada sejak masa munculnya Kekhalifahan Abbasiyah (Gibb, 1983).

Kelompok Puritan-ortodoks umumnya menjelaskan bahwa dalam setiap pembentukan hukum, manusia tidak memiliki hak dan hanyalah Allah yang berhak menetapkan hukum (Qs.[20]: 57, Qs.[5]: 44). Agama difahami sebatas pada rangkaian dogma-dogma yang ketat, rigid, kaku, berbasis pada narasi tekstual literasi Kitab Suci dan hadits. Kelompok puritan berupaya menjaga kemurnian dalam menjalankan agama, dan segala yang tidak murni adalah sebuah penyimpangan (deviasi).

Puritanisme-ortodoksi beragama meminimalisasi penggunaan akal untuk memahami kehendak-kehendak Allah. Bahwa akal harus ditundukkan, ditekan, dikendalikan, dan didudukkan di bawah narasi tekstual Kitab Suci sebagai hukum tertingginya. Akal yang hendak mengatur metode beragama acapkali dimaknai sebagai dorongan ego manusia (Qs.[18]:28). Posisi Allah yang absolut dibandingkan relativitas akal manusia, maka akal tunduk pada kehendak absolut.

Secara anti-tesis, terdapat konsep metodologi beragama secara liberal. Liberalisasi beragama meletakkan konsep kebebasan akal merupakan anugerah Allah tertinggi. Akal adalah senjata utama manusia untuk memahami Allah (Qs.[2]:165). Tanpa adanya kebebasan akal, maka manusia tak adapat disebut sebagai manusia. Tanpa kebebasan akal manusia tak dapat dinyatakan sebagai makhluk yang mulia dihadapan Allah. Tanpa kebebasan akal, manusia tak ubahnya hewan. Akal menjadi penuntun utama untuk memahami kehendak-kehenak Tuhan itu sendiri. Akal adalah alat utama untuk mengetahui, memahami, hingga bahkan melakukan rekonstruksi terhadap ayat-ayat Kitab Suci.

Kitab suci tidaklah bermakna membatasi kekuasaan akal, karena Allah sendirilah yang telah melimpahkan kebebasan akal pada makhlukNya yang bernama manusia. Manusia secara hakiki memiliki kebebasan untuk mencoba menginterpretasikan ayat-ayat Kitab Suci sehingga dapat dilaksanakan secara operasional. Kebangkitan gerakan pemikiran Islam Liberal adalah bentuk reaksi dari adanya gagasan fundamentalisme dan konservativisme Islam yang telah mematikan pemikiran Islam. Tema sentral yang dibawa oleh para pemikir Islam Liberal antara lain: sekularisme, dan pluralisme agama (Sobur, 2012).

Bagi kelompok Islam liberal, perkembangan pemikiran Islam saat ini mengalami kemunduran, keterbelakangan, dan jika Islam ingin difahami dengan benar akan sejalan dengan liberalisme barat. Bagi kaum Liberal, kelompok yang dianggap sebagai penghambat kemajuan dan kebebasan Islam adalah kelompok Fundamentalisme Islam dan Wahabisme (Latuapo dan Amin, 2012) Gerakan liberalisme Islam merupakan bentuk reaksi dari eksistensi gerakan ortodoksi Islam yang dianggap sebagai penghambat kemajuan peradaban Islam.

Muhammadiyah dan Moderasi Islam, Sebuah Sintesis

Gagasan Islam Moderat merupakan titik temu (sintesis) dari dua kekuatan yang saling berhadapan: puritan-ortodoks versus liberal. Gerakan Islam Moderat juga digagas oleh Yusuf Qardhawi berupa: sikap toleran, pengakuan atas perbedaan pendapat, penolakan atas cara-cara kekerasan dalam beragama, pemahaman Islam secara komprehensif, serta pengakuan terhadap hak-hak minoritas. Gerakan moderat menjadi penangkal dari munculnya perilaku ekstremisme dan terror yang dilakukan oleh kelompok ISIS di Timur Tengah. Moderasi Islam sendiri terdapat dalam Kitab Suci, dan bukanlah sekedar gagasan filosofis semata. Ia tertuang dalam narasi al-Qur’an yang menyatakan bahwa Umat Islam adalah umat pertengahan (Qs.[2]:143). Islam bukanlah semata agama doktrin sakral, ajaran ritual, karena Islam merupakan ajaran yang memberi rahmat bagi semesta alam (Zainuddin, 2016).

Gagasan Muhammadiyah tentang Islam Moderat tertuang dalam konsep pemikiran Haedar Nashir. Nashir menjelaskan pokok-pokok moderasi Islam yaitu: Islam merupakan agama yang mencerahkan, Islam sebagai agama berkemajuan, serta Islam sebagai agama modern. Islam sebagai agama yang mencerahkan bermakna bahwa Islam merupakan ajaran yang mengutamakan atau berfokus pada penghormatan ilmu pengetahuan. Hal ini dapat dilihat bertaburnya penghormatan ilmu di dalam Kitab Suci al-Quran. Islam sebagai agama berkemajuan bermakna bahwa Islam merupakan ajaran yang mampu menghadapi beragam tantangan zaman. Muhammadiyah sendiri mencoba untuk mendobrak terjadinya keterbelakangan yang terjadi berupa kejumudan berfikir. Islam adalah agama yang membawa pada kemajuan peradaban umat manusia. Sedangkan Islam sebagai agama modern bermakna bahwa Ilsam merupakan agama yang dapat menyesuaikan dengan modernisasi zaman. Umat Islam merupakan umat yang berpegang pada Kitab Suci tanpa kehilangan modernitasnya. (Yulianto, 2020).

KH Achmad Dachlan sendiri menjelaskan mengenai gagasan pendirian Persyarikatan Muhammadiyah sebagai “awit miturut paugeraning agama kito, sarta cocok kaliyan pikajenangipun jaman kemajengan” (mengikuti kaidah-kaidah agama Islam serta sesuai dengan harapan kemajuan zaman). Terhadap adanya keterbelakangan umat Islam KH Achmad Dachlan menawarkan 5 (lima) hal: pertama, setiap orang harus beragama. Kedua, agama itu awalnya bercahaya tetapi kemudian cahaya itu padam, bukan agamanya yang salah melainkan orang yang beragama itu yang bermasalah. Ketiga, setiap orang yang beragama harus melaksanakan syariat dan harus menggunakan hati dan pikiran yang suci. Keempat, setiap orang beragama harus meningkatkan pengetahuannya. Kelima, setiap orang yang berpengetahuan harus mengamalkan pengetahuannya. Pada sisi lain KH Achmad Dachlan juga akhlak dan spiritual manusia. K.H. Achmad Dachlan juga sering mengutip pikiran dan gagasan tasawuf Imam al-Ghazali dengan kalimatnya: setiap orang itu mati perasaannya, kecuali orang yang berilmu, dan orang yang berilmu mengalami kebingungan kecuali orang yang beramal, dan setiap orang yang beramal mengalami kebingungan kecuali orang yang ikhlas. (Nashir, 2020).

Dari penjelasan KH Achmad Dachlan di atas tampak bahwa konsep moderasi yang dilaksanakan Muhammadiyah adalah mengedepankan akal dan ilmu dengan tetap berpijak pada syariah. Akal dan ilmu adalah fondasi masyarakat peradaban modern, sedangkan syariah adalah fondasi atas pemahaman beragama. Memahami ajaran Islam juga menuntut kapasitas pengetahuan yang tinggi. Ia tidak sekedar dijalankan melalui metode skriptualis semata-mata dogma tanpa memperhatikan perubahan sosio-kultural yang terjadi. Ilmu hanya dapat dijalankan melalui sikap yang terbuka sekaligus toleran serta adaptif terhadap beragam perubahan yang terjadi.

Muhammadiyah walaupun sedikit mengusung ide puritanisme melalui gagasan penghapusan TBC (tahayul, bid’ah, dan churafat) tetapi yang tampak dalam konsep berislam tetaplah ide berkemajuan. Muhammadiyah tidak pernah sekalipun menyatakan bahwa kegiatan grebeg Maulud sebagai sebuah kegiatan bid’ah. Muhammadiyah bahkan dengan cerdas telah mampu menangkap rasionalitas kehidupan modern, tidak heran jika Muhammadiyah disebut sebagai organisasi modernis progresif (El-Hamdi, 2019).

Secara progresif Muhammadiyah tiada henti melakukan proses-proses perubahan sosial melalui pendidikan dan layanan kesehatan bagi sesama. Muhamamdiyah terlibat aktif dalam beragam kegiatan sosial dan ekonomi Bangsa Indonesia. Muhammadiyah bersama dengan Nahdatul Ulama (NU) meletakkan gagasan Islam Moderat sebagai center atau jantung peradaban umat. Bahwa moderasi tidak diartikan sikap pasif atau ketidakpedulian atas kondisi umat karena ketidakjelasan posisi yang diambil oleh Muhammadiyah dan NU. Sebagai organisasi moderat ia justru menjadi aktif, mendalam, serta holistik terhadap pemahaman ajaran Islam (Darajat, 2017).

Fokky Fuad Wasitaatmadja, Dosen Program Magister Hukum Universitas Al Azhar Indonesia

Exit mobile version