Refleksi Diri Menjauhi Perangai Abu Jahal

Refleksi Diri Menjauhi Perangai Abu Jahal

Refleksi Diri Menjauhi Perangai Abu Jahal

Oleh: Miqdam Awwali Hashri, S.E

Pada masa dakwah Nabi Muhammad SAW di Makkah, ada seorang tokoh Quraisy yang dipanggil dengan sebutan Abu Jahal yang berarti “Bapak Kebodohan”. Nama asli Abu Jahal adalah Amr bin Hisyam. Dia merupakan seorang tokoh Quraisy yang mulanya sangat disegani. Ia memiliki gelar terhormat dan biasa dipanggil dengan panggilan Abul Hakam yang berarti “Bapak Kebijaksanaan”, suatu panggilan yang identik dengan kecendekiawanan. Mungkin di era sekarang bisa digolongkan sebagai seorang filsuf, profesor, atau guru besar.

Namun demikian, dibalik gelar kerhomatan tersebut, Abul Hakam memiliki perangai yang buruk. Dia merupakan orang yang paling memusuhi Nabi Muhammad SAW. Dia melakukan serangan-serangan secara terbuka kepada Nabi Muhammad SAW. Bahkan memprovokasi pembesar-pembesar Quraisy untuk memusuhi Muhammad. Mulai dari mencela, memboikot, hingga mengumpulkan orang untuk membunuh sang utusan terakhir.

Bukan itu saja, dia bersama pembesar Quraisy lainnya juga menyiksa dan mengintimidasi para pengikut Muhammad. Karena perangainya itulah kemudian Amr bin Hisyam dipanggil dengan sebutan Abu Jahal oleh orang-orang beriman karena dibalik gelarnya sebagai Abul Hakam ternyata di dalam hatinya memiliki sifat hasad, iri, dengki, dan dendam yang tidak pernah padam kepada Muhammad dan orang-orang beriman.

Abu Jahal sebenarnya mengakui kebenaran Islam. Namun ia enggan beriman karena diangkatnya seorang Nabi bukan dari kabilahnya. Ia menganggap bahwa kenabian adalah bagian dari persaingan antar kabilah. Sebagaimana diketahui bahwa Abu Jahal berasal dari Bani Makhzhum yang saling berlomba dengan Bani Hasyim untuk hal-hal kedermawanan. Padahal perlombaan yang baik seharusnya menciptakan hal yang positif untuk kemajuan bersama. Tapi tidak dengan Abu Jahal, ia justru melakukan hal yang kontra produktif dalam bentuk permusuhan. Hal inilah yang mendorong Abu Jahal memusuhi Muhammad yang semakin hari pengaruh Nabi semakin besar sedangkan kedengkian Abu Jahal semakin membara.

Abu Jahal dan pemuka Quraisy menganggap Muhammad dan pengikutnya telah bertafarruq – memisahkan diri dari orang-orang Quraisy karena meninggalkan tradisi nenek moyang.. Kaum Quraisy menganggap Al-Quran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW sebagai dongeng orang-orang terdahulu, sesuatu yang usang, supaya ditinggalkan. Bagi Abu Jahal, Muhammad dianggap sebagai orang yang memecah belah persatuan penduduk Makkah. Muhammad juga dianggap hanya mementingkan egonya sendiri dengan melestarikan perbedaan. Sehingga nampak sekali terlihat perangai hasad Abu Jahal meskipun dibungkus dengan dalih-dalih hendak menyatukan kaum Quraisy agar tidak terjadi konfilik sosial.

Agar penduduk Makkah kembali bersatu, Abu Jahal dan pemuka Quraisy pernah berdialog menawarkan kepada Muhammad untuk kooperatif dengan musyrikin Quraisy. Muhammad dan orang-orang beriman diajak untuk menyembah sesembahan kaum kafir Quraisy, begitu juga sebaliknya kaum kafir Quraisy akan menyembah Allah SWT, secara bergantian setiap tahunnya. Kemudian turunlah Surat Al Kafirun ayat 1-6 untuk mempertegas batas antara keimanan dengan kekafiran. Maka jelas bahwa ajakan tersebut ditolak oleh sang Nabi.

Apakah orang-orang Quraisy terpengaruh oleh provokasi untuk memusuhi Nabi? Tidak semua orang Quraisy  memusuhi Nabi, karena justru pengaruh Muhammad semakin besar ketika beliau dimusuhi. Beberapa tokoh penting Quraisy seperti Abu Bakar, Utsman bin Affan, Hamzah bin Abdul Muthalib, Umar bin Khaththab, dan lainnya bersimpati kepada Nabi serta mendukung penuh dakwah Muhammad. Bahkan paman Nabi sendiri yaitu Abu Thalib, meskipun tidak menyatakan diri memeluk Islam, namun cenderung mendukung dengan memberikan fasilitas dan jaminan keamanan bagi Nabi dalam dakwahnya.

Dakwah Muhammad pun terus berkembang, hingga dikemudian hari mayoritas penduduk Kota Makkah menjadi pengikut Muhammad. Tak terkecuali putra dari Abu Jahal, yaitu Ikrimah, yang setelah Fathul Makkah menjadi shahabat Nabi. Ikrimah bin Amr RA merupakan seorang shahabat gagah berani yang memiliki keahlian berkuda. Ia berjuang hingga akhir hayat untuk menyebarluaskan dakwah Islam. Ikriham bin Amr RA syahid dalam peperangan melawan kaum murtad pada masa kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shidiq.

Hikmah yang dapat dipetik dari seorang Abu Jahal adalah meskipun seseorang memiliki gelar kecendekiawanan, jika masih memelihara sifat hasad, iri, dengki, dan dendam, maka kecendekiawanan tersebut pun luntur. Dan seketika menjadi seorang yang bodoh. Orang yang memiliki perangai seperti Abu Jahal merasa bahwa dialah orang yang paling benar dan harus diikuti. Dia merasa berkuasa, padahal sebenarnya tidak memiliki kewenangan apapun untuk memaksa orang. Jika ada sekelompok orang yang tidak mengikutinya maka dianggap telah bertafarruq atau memisahkan diri dari umat. Kelompok tersebut akan dianggap sebagai golongan yang menciptakan konflik. Padahal sejatinya dialah yang menyulut api konflik.

Meskipun Abu Jahal mati dalam keadaan terbunuh ketika memerangi Nabi Muhammad, namun anaknya yaitu Ikrimah bin Amr RA merupakan mujahid yang syahid dalam perjuangan Islam. Hal ini mengisyaratkan bahwa dakwah Islam hendaklah berkelanjutan sehingga hidayah Allah tidak terputus pada generasi tertentu. Agama Islam hendaknya didakwahkan sesuai dengan zamannya sehingga setiap generasi dapat merasakan kemajuan Islam. Dakwah Muhammad kepada kaum Quraisy adalah untuk menyempurnakan akhlak dan mengajak kepada sesembahan yang hakiki yaitu menyembah hanya kepada Allah SWT dengan hati dan akal budi.

Miqdam Awwali Hashri, S.E – Anggota Lembaga Dakwah Komunitas (LDK) PP Muhammadiyah

Exit mobile version