Judul : Geneologi Gerakan Politik Majelis Mujahidin
Penulis : Dr Aji Deni SPd MSi dan Agusmawanda SIP MIP
Penerbit : Suara Muhammadiyah
Cetakan : I, Februari 2023
Tebal, ukuran : x + 86 hlm, 13 x 19 cm
ISBN : 978-623-5303-25-3
Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) lahir dari Kongres Mujahidin I di Yogyakarta pada 5-7 Agustus 2000. Kongres tersebut memilih Abu Bakar Ba’asyir yang dinilai sebagai “tokoh jihad” diangkat sebagai amir Majelis Mujahidin Indonesia. Organisasi ini melihat berbagai problem Indonesia yang sangat serius dan mengajukan solusi: penegakan syariat Islam. Mereka mengusung slogan, “Penegakan syariah melalui institusi negara merupakan satu-satunya jalan keluar untuk mengatasi kemelut bangsa.”
Kepemimpinan Ba’syir di MMI sangat signifikan. Pada Juli 2008, Ba’asyir mengundurkan diri dari amir MMI karena menganggap sistem organisasi MMI sudah tidak sesuai dengan syariat Islam. Ba’asyir mengaku sudah memberikan peringatan kepada jajaran MMI untuk memperbaiki sistem, namun tidak dijalankan. Ba’asyir melihat sistem keorganisasian MMI serupa organisasi jahiliyah yang menjadikan pemimpin hanya sebagai simbol yang menjalankan keputusan rapat majelis tertingginya. Pemimpin juga tidak memiliki otoritas untuk mengambil keputusan ketika pendapatnya berbeda dengan hasil keputusan rapat. Menurutnya, sejarah Islam mengenal konsep jamaah wal imamah, di mana anggota atau jamaah harus sami’na wa atha’na atas apapun keputusan amir.
Ba’asyir digantikan oleh Muhammad Thalib. Pada 2008 itu juga, MMI terpecah menjadi beberapa kelompok seperti Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), Jamaah Ansharus Syariah (JAS), Mujahidin Indonesia Barat (MIB), Mujahidin Indonesia Timur (MIT), Jamaah Ansharut Daulah (JAD), hingga Jamaah Ansharut Khilafah (JAK). MMI di kemudian hari berubah nama menjadi Majelis Mujahidin.
Majelis Mujahidin mencantumkan misi utamanya untuk menegakkan syariat Islam, yang mencakup lingkup pribadi, lingkup keluarga, dan lingkup kehidupan sosial kenegaraan. “Adapun penegakan Syari’ah Islam dalam kehidupan sosial kenegaraan, artinya berjuang demi memberlakukan Syari’ah Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga terwujud negara yang adil, makmur dan sejahtera dalam ampunan Allah swt, sebagai basis Khalifah Islamiyah.”
Dalam rangka mencapai misi utamanya itu, Majelis Mujahidin menggunakan dua strategi, yakni pendekatan struktural dan pendekatan kultural. Pendekatan struktural dimaksudkan bahwa Majelis Mujahidin berorientasi kekuasaan, bahwa kekuasaan negara diupayakan dipegang oleh seorang muslim yang jelas komitmennya terhadap Islam, dan siap memberlakukan Syari’ah Islam dalam lingkup sosial kenegaraan. Sementara strategi kultural diupayakan dengan, “Mengajak secara proaktif semua kekuatan sosial politik untuk memahami akan esensi terjadinya berbagai krisis multi dimensional di dalam negeri; dan meyakinkan mereka bahwa solusi mendasarnya tidak bisa lain kecuali dengan tegaknya Syari’ah Islam dalam lingkup sosial kenegaraan,” (majelismujahidin.com).
Menariknya, Majelis Mujahidin memberi ruang bagi beberapa tokoh untuk duduk di posisi Ahlul Halli wal Aqdi (AHWA) seperti KH Ali Yafie, Prof Ahmad Mansyur Suryanegara, Prof Deliar Noor. Ada juga nama Prof Aidul Fitriciada Azhari SH di posisi Ketua bidang Hukum dan Fatwa.
Buku ini memberi informasi singkat tentang keberadaan Majelis Mujahidin beserta kaitannya dengan gerakan radikalisme di Indonesia. Namun, guna memahamai kompleksitas geneologi kelompok radikal dan transformasinya secara komprehensif, tentu perlu dipadukan dengan referensi lainnya. (Muhammad Ridha Basri)