YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menghadiri kegiatan Syawalan Keluarga Besar Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta. Kegiatan tersebut digelar Sabtu (29/4) dalam rangka menyemarakkan Idul Fitri 1444 Hijriah yang dipusatkan bertempat di Masjid Islamic Center Kampus 4 UAD Ring Road Selatan, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta.
Dalam tausiyahnya, Haedar mengatakan perayaan Idul Fitri yang dilaksanakan setiap setahun sekali menjadi ruang untuk merekatkan tali silaturahmi antarsesama umat. Ini sangat penting sebab merupakan salah satu dari kebutuhan pokok bagi umat manusia untuk mengaktualisasikan keseimbangan sosiologis sekaligus menciptakan interaksi sosial yang harmonis antarsesama umat manusia di muka bumi. Karena pada dasarnya silaturahmi sebagai ajaran luhur dan agung dari agama Islam.
“Ini menjadi tradisi yang baik, yakni silaturahmi berjamaah di seluruh tanah air. Itu (silaturahmi) urusan masyarakat semuanya bukan hanya kaum muslimin bahkan juga saudara-saudara kita yang berbeda agama. Dan ada kegiatan-kegiatan silaturahmi yang bersifat kekerabatan,” ujarnya.
Spirit silaturahmi sebagai manifestasi mempertautkan persaudaraan (ukhuwah) secara universal (kesemestaan). Seperti yang tertuang di dalam khutbat al-wada’ Nabi Muhammad SAW terkait ummatan wahidah (umat yang satu) pernah berkata bahwa “Wahai manusia! Sesungguhnya Tuhan kalian itu satu, dan sesungguhnya kalian berasal dari satu bapak.”
Konsep ummatan wahidah sangat indah yang dikreasikan oleh Allah dengan menampilkan keragaman yang terdapat di lingkungan masyarakat, wabilkhusus di negeri Indonesia yang bersifat majemuk. Salah satu keragaman yang dimiliki Indonesia antara lain keragaman agama, suku bangsa, bahasa, ras, dan golongan-golongan yang berbeda-beda. Sehingga dengan adanya keragaman itu, penting sekali segenap warga masyarakat untuk mempertautkan silaturahmi, lebih-lebih umat Islam selaku lulusan pascapuasa dan Idul Fitri.
“Artinya di sini ada dimensi nilai, normatif bahkan Ilahiyah (profetik). Di mana silaturahmi merupakan keniscayaan kita untuk menyambung persaudaraan baik persaudaraan secara universal maupun persaudaraan berbasis iman,” katanya.
Di tengah keragaman, niscaya terdapat peluang untuk munculnya gesekan antarsesama. Gesekan itu muncul karena terjadinya perbedaan pandangan, pikiran, maupun bertindak dalam hal beragama. Ini sangat krusial, manakala jika tidak menempatkan persaudaraan sebagai bantalan vital kehidupan, maka hal itu dapat menimbulkan perpecahan dan keretakan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Seperti yang terjadi dalam belakangan ini, di mana perayaan Idul Fitri yang tidak serempak dirayakan. Menurut Haedar, di sini terjadi titik temu penyatuan dan persaudaraan antarsesama umat. Sebab perbedaan perayaan Idul Fitri bahkan perayaan hari besar Islam seperti Ramadan, 1 Zulhijah, Idul Adha (10 Zulhijah), dan kaifiyah salat, umat Islam sudah bisa bersikap dewasa dengan arif-bijaksana menghargai dan menghormati perbedaan yang terjadi itu. Sehingga penting sekali iman yang kokoh dijadikan landasan utama dalam kehidupan umat manusia, utamanya umat Islam.
Sehingga di tengah keragaman dan pebedaan itu, segenap umat manusia, lebih-lebih umat Islam selayaknya harus bisa bersatu. Yakni menampikan sikap saling menghargai, menghormati, dan tidak menyudutkan siapapun. Ini menjadi tugas besar dalam sketsa rancang-bangun kehidupan kebangsaan yang damai, adem ayem, dan harmoni dalam tarikan napas persatuan dan kesatuan.
“Kalau kita tidak larikan ke sumber utamanya (iman), maka yang terjadi kesempitan berpikir, kesempitan bersikap, dan kekerdilan dalam bertindak. Dan inilah yang terjadi selama ini atau belakangan ini. Bukan karena perbedaannya, tetapi sikap menghadapi perbedaan itu tidak punya landasan kokoh pada iman. Padahal iman itu dimensinya mendalam dan luas. Di sinilah kita perkaya khazanah keimanan kita,” ucapnya.
Dalam konteks beribadah, umat Islam mesti mengecek kadar keimanannya. Seperti beribadah menjalankan puasa di bulan Ramadan, semestinya imannya makin tinggi yang melahirkan ketaatan dan ketakwaan kepada Allah atau justru berkurang dan stagnan. Di sinilah diperlukan penghayatan keimanan atas segala pelaksanaan ibadah yang ditunaikan.
Selain itu, dimensi aktualisasi dari iman antara lain amaliah. Dimensi iman seyogianya dapat menyinari dan mencerahkan kalbu serta akal budi umat Islam. Tetapi manakala dimensi iman tidak diaktualisasikan secara benar, hanya menonjolkan keilmuan yang mengandung penafsiran dangkal (subjektivitas), maka di sini justru menciptakan kegaduhan dan keresahan di ruang publik.
“Agama mengajarkan khoirul umur ausathuha (sebaik-baik perkara yaitu diambil yang tengah-tengah). Maka kita harus bikin reaksi yang proporsional. Tetapi jangan berlebihan. Karena sesuatu yang berlebihan itu tidak baik,” tuturnya. (Cris)