Shalat untuk Menjemput Rahmat (7)

Shalat untuk Menjemput Rahmat (7)

Oleh: Mohammad Fakhrudin dan Nifʻan Nazudi

Pada Shalat untuk Menjemput Rahmat (6) dikemukakan kaifiat membaca surat al- Fatihah dan āmīn. Ada beberapa hal penting yang perlu kita pahami kembali, yakni bahwa membaca surat al-Fatihah merupakan salah satu rukun shalat, baik di dalam shalat sendirian maupun shalat berjamaah.

Di dalam shalat, kita membaca surat al-Fatihah dengan cara membaca ayat demi ayat. Cara yang demikian tidak hanya berlaku pada shalat wajib, tetapi juga pada shalat sunah.

Pada shalat berjamaah, makmum masbuq yang berkesempatan membacanya, tetap wajib membacanya juga meskipun tidak sampai selesai. Dia, setelah takbiratul ihram, langsung membaca taʻawuz, basmalah, lalu surat al-Fatihah.

Surat al-Fatihah di dalam shalat berjamaah yang dibaca secara jahar, dibaca oleh makmum dengan menggerakkan lisan. Dalam hubungan ini ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian adalah sebagai berikut: (1) bila makmum menjumpai bacaan al-Fatihah imam (jahar), ia wajib mendengarkan dan ikut membacanya dengan menggerakkan lisan bersama-sama imam, (2) bila imam membaca sir, makmum wajib membaca al-Fatihah, (3) bila imam membaca jahar dan makmum tidak menjumpai al-Fatihah imam, makmum hendaknya mendengarkan bacaan imam, atau (4) dilakukan dengan cara membacanya di celah-celah imam membaca ayat-ayat dari surat al-Fatihah. Namun, ketika imam membaca surat atau ayat al-Qurʻan setelah al-Fatihah, makmum sepenuhnya memperhatikan bacaan tersebut.

Ketentuan membaca āmīn berlaku untuk shalat sendirian dan shalat berjamaah. Bacaan āmīn adalah tidak perlu didahului dengan bacaan rabbig firlī waliwālidayya. Jadi, setelah membaca wa lad-dāllīn, langsung membaca āmīn.

Pada Shalat untuk Menjemput Rahmat (7) ini dikemukakan kaifiat membaca surat atau ayat al-Qur’an. Ada perbedaan kedudukan hukum membaca surat al-Fatihah dengan membaca surat yang lain di dalam shalat. Membaca surat al-Fatihah termasuk rukun yang bersifat wajib shalat, sedangkan membaca surat yang lain bersifat sunah. Meskipun demikian, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu membaca surat atau ayat di dalam shalatnya.

Oleh karena itu, alangkah ruginya jika dalam keadaan tanpa uzur, kita secara sengaja tidak membacanya. Jika meninggalkannya dengan alasan bahwa membaca surat lain itu sunah, bukankah tindakan kita termasuk meringan-ringankan shalat atau, bahkan, mungkin dapat dikategorikan lalai di dalam shalat. Jika termasuk lalai, tentu merupakan masalah besar.

Ada kesepakatan para sahabat bahwa setelah membaca surat al-Fatihah disunahkan membaca surat yang lain atau ayat al-Qurʻan di dalam semua shalat, kecuali di dalam shalat sunah iftitah pada shalat tarawih atau shalat  jenazah. Di dalam shalat tersebut tidak dibaca surat atau ayat dari al-Qurʻan.

Surat yang Dibaca pada Rakaat Pertama dan Kedua

Pada pada dasarnya, surat yang dibaca di dalam shalat bersifat pilihan. Meskipun demikian, jika shalat sunah sendirian, tentu utama sekali kita memilih surat yang panjang.

Dengan memilih surat yang panjang, berarti kita mengondisikan “pertemuan” dengan Allah Subhanahu wa Taʻāla berlama-lama. Jika kondisi tersebut terwujud, ada harapan terwujudnya ikhtiar untuk mensyukuri nikmat-Nya.

Memang begitulah seharusnya! Bukankah salah satu fungsi shalat adalah mensyukuri nikmat-Nya? Di dalam surat al-Kaușar (108) Allah Subhanahu wa Taʻāla berfirman,

إِنَّآ أَعْطَيْنٰكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْاَبْتَرُ

“Sungguh Kami telah memberikan kepadamu nik­mat yang banyak. Oleh karena itu, dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah. Sesungguhnya, orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.”

Dari sisi lain dapat kita pahami juga bahwa dengan membaca surat yang panjang, berarti kita memanfaatkan shalat sebagai ladang pahala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda bahwa setiap huruf al-Qurʻan yang kita baca mendapat sepuluh kebaikan dari Allah Subhanahu wa Taʻāla.

Pada shalat sunah tertentu seperti dua rakaat sebelum shalat subuh dan shalat sunah setelah shalat wajib magrib telah ada contoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yakni membaca surat al-Kafirun pada rakaat pertama dan al-Ikhlas pada rakaat kedua (HR Muslim). Oleh karena itu, afdal jika kita mengikuti contoh beliau tersebut.

Pada shalat witir dengan tiga rakaat pun telah ada contoh surat yang dibaca beliau. Pada rakaat pertama dibaca surat al-Aʻla. Pada rakaat kedua dibaca surat al-Kafirun. Pada rakaat ketiga dibaca surat al-Ikhlas. Hal itu dijelaskan di dalam HR an-Nasaʻi, yang transkrip dan maknanya sebagai berikut.

Ubay bin Ka’ab menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada shalat witir membacaSabbiḥisma rabbikal aʻla dan Qul yā ayyuhal kāfirūn, dan Qul huwallāhu aḥad. Lalu, jika beliau telah membaca salam, lalu membaca Subḥānal malikil quddus tiga kali dengan memanjangkan suaranya pada bacaan yanng ketiga.”

Pada shalat wajib ketika bersafar, ada contoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca surat tertentu yang pendek. Bahkan, ada juga contoh shalat jamak atau jamak qasar.

Pengalaman Muʻadz ketika Menjadi Imam

Imam dianjurkan agar memperhatikan kondisi makmum. Jika mengetahui bahwa di antara makmum ada yang uzur usia atau usur kesehatan, imam dianjurkan membaca surat yang memungkinkan makmum dapat mengikutinya dengan khusyuk.

Kisah Muʻadz menjadi imam shalat dengan membaca surat panjang sebagaimana dijelaskan di dalam HR Ahmad Ibn Hanbal, yang maknanya dikemukakan berikut ini, kiranya sangat bagus dijadikan pertimbangan.

Anas bin Malik berkata, “Adalah Muʻadz Ibn Jabal mengimami kaumnya, yang ketika itu si Haram yang bermaksud hendak menyiram pohon kurmanya, lebih dahulu masuk masjid bersama-sama kaumnya. Setelah ia melihat Muʻadz memanjangkan bacaannya, ia pun mempercepat shalatnya dan mendatangi pohon kurmanya untuk menyiramnya. Setelah Muʻadz selesai mengerjakan shalatnya, disampaikan kepadanya hal si Haram, maka Muʻadz berkata bahwa ia seorang munafik. Adakah ia mempercepat shalat hanya karena akan menyiram pohon kurmanya?

Di dalam bukunya Adzan, Iqomah, & Sholat Berjamaah menurut Rasulullah, (hlm. 111-112) Agung Danarto menjelaskan bahwa si Haram menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika itu, Muʻadz berada di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. “Wahai Nabi Allah, aku bermaksud hendak menyiram pohon kurmaku, maka aku masuk masjid untuk shalat berjamaah. Setelah kujumpai Muʻadz yang menjadi imam memanjangkan bacaan Qurʻannya, aku lalu mempercepat shalatku dan setelah selesai aku menengok pohon kurmaku untuk menyiramnya. Tiba-tiba Muʻadz itu menuduh aku seorang munafik. Berkenaan dengan itu, Nabi shallallau ‘alaihi wasallam memandang kepada Muʻadz seraya sabdanya, Adakah engkau menjadi tukang fitnah? Adakah engkau menjadi tukang fitnah? Janganlah kamu perpanjang membaca surat Qurʻan pada waktu menjadi imam orang banyak. Bacalah surat Sabbiḥisma rabbikal aʻla, Wasy-Syamsyi Waduḥāhā,”

Di dalam hadis yang lain yang diriwayatkan oleh al-Bukhari & Muslim  juga dijelaskan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak menyarankan seorang imam shalat isyaʻ untuk membaca surat-surat yang panjang. Beliau menyuruh Muʻadz untuk membaca surat-surat seperti asy-Syams, al-Aʻla, al-ʻAlaq, dan surat al-Lail. Kemudian, beliau bersabda, “Beberapa yang shalat di belakangmu sudah berusia tua, lemah, dan ada pula yang memiliki urusan untuk dilakukan.”

Ada kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam membaca surat tertentu pada rakaat pertama dan pada rakaat kedua pada shalat-shalat tertentu. Pada shalat Jumat dan shalat ‘idain, beliau membaca surat al-Aʻla pada rakaat pertama dan membaca surat al-Ghāsyiyah pada rakaat kedua sebagaimana dijelaskan di dalam HR Muslim, yang transkrip dan maknanya sebagai berikut.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa membaca di dalam shalat dua hari raya dan shalat Jumat: Sabbiḥisma rabbikal a‘la dan Hal atāka ḥadīṣul ghāsyiyah.”

Di samping kedua surat itu, pada shalat ‘idain, pernah juga dibacanya surat yang lain sebagaimana dijelaskan di dalam HR Muslim yang transkrip dan maknanya sebagai berikut.

Dari Ubaidilah bin Abdullah (diriwayatkan) bahwasanya Umar bin al-Khaththab pernah bertanya kepada Abū Waqid al-Laitsi, Surat apa yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika mengerjakan shalat ‘Idul Adha dan ‘Idul Fitri? Ia menjawab, “Beliau membaca surat Qaf Wal Qurʻanil Majid dan Iqtarabatis Sā‘atu Wansyaqqal Qamar.”

Beberapa Contoh Surat yang Dibaca oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada Shalat Wajib

Di dalam HR al-Bukhari & Muslim disebutkan beberapa surat yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada waktu shalat duhur dan asar, subuh dan magrib, dan isya. Jka dapat mencontohnya, tentu sangat bagus. Jika tidak dapat, tidak mendatangkan dosa karena surat yang dibaca di dalam shalat pada dasarnya bersifat pilihan sebagaimana dijelaskan di dalam HPT 3 (hlm. 555).

Surat yang dibaca oleh Rasulullah shallallau ‘alaihi wasallam pada shalat duhur dan asar dapat diketahui melalui hadis yang maknanya sebagai berikut.

Dari Abdillah Ibn Qatādah dari ayahnya (Abū Qatādah)[diriwayatkan bahwa]ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca al-Fatihah pada dua rakaat pertama shalat zuhur dan juga membaca surat panjang pada rakaat pertama dan surat pendek pada rakaat kedua dan kadang-kadang beliau memperdengarkan ayat kepada kami. Beliau membaca al-Fatihah pada shalat asar dan juga membaca dua surat dengan surat yang panjang pada rakaat pertama. Beliau juga biasanya memperpanjang bacaan surat pada rakaat pertama shalat subuh dan memperpendeknya pada rakaat kedua.”

Dari hadis tersebut ada pelajaran penting bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca surat yang lebih panjang pada rakaat pertama daripada pada rakaat kedua. Hal itu tentu bermanfaat bagi makmum yang datang terlambat pada rakaat pertama. Mereka dapat mengikuti rakaat pertama.

Perlu dipahami dengan sebaik-baiknya bahwa panjang pendeknya surat pada rakaat pertama dan pada rakaat kedua itu bersifat tidak mutlak. Buktinya, pada shalat Jumat dan shalat ‘idain, beliau membaca surat al-Aʻla pada rakaat pertama, kemudian membaca surat al-Ghāsyiyah pada rakaat kedua, padahal surat al-Aʻla lebih pendek daripada surat al-Ghāsyiyah.

Berdasarkan hadis itu juga dapat kita ketahui bahwa pada shalat duhur dan asar semua surat atau ayat dibaca sir, tetapi tidak berarti hanya dibaca di dalam hati. Beliau membacanya dengan menggerakkan lidahnya sehingga kadang-kadang terdengar oleh makmumnya.

Sementara itu, pada shalat magrib, isya, atau subuh, shalat Jumat, ‘idain, kusuf, tarawih, dan istisqa surat dibaca secara jahar. Sangat dianjurkan bagi imam membaca surat secara utuh (dari ayat pertama sampai ayat terakhir) pada rakaat pertama dan kedua. Jika hal itu dilakukan, isi atau pesan surat tersebut diketahui secara utuh.

Dengan merujuk pada hadis itu diketahui juga bahwa di dalam shalat wajib kita dapat membaca ayat dari al-Qurʻan. Yang dianjurkan adalah ayat bagian awal, pertengahan surat, atau akhir surat.

Ketika shalat subuh, beliau pernah membaca surat Qaf dan at-Takwir sebagaimana diriwayatkan di dalam HR Muslim, yang transkrip dan maknanya sebagai berikut.

Ia pernah shalat subuh bersama Nabi shallallahu ‘alahi wasallam. Beliau pada rakaat pertama membaca ayat wa an-nakhlu bāsiqātin lahā țal’um naḍīd, barangkali maksudnya surat Qaf.”

Masih terkait dengan surat yang dibaca ketika shalat subuh, dijelaskan di dalam HR al-Bukhari, yang maknanya sebagai berikut.

“Diriwayatkan dari Abu Barzah raḍiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi shallallau ‘alaihi wasallam melakukan shalat subuh dan salah seorang di antara kami dapat mengenali teman yang ada di sampingnya (karena sudah agak terang). Ketika itu, beliau membaca 60 hingga 100 ayat. Lalu, beliau shalat duhur ketika matahari telah tergelincir. Kemudian, beliau melakukan shalat asar, dan salah seorang dari kami pergi ke ujung Madinah kemudian kembali lagi, sedangkan matahari belum terbenam. Beliau juga tidak mempermasalahkan untuk mengakhirkan waktu shalat isya hingga sepertiga malam.”

Ketika shalat magrib, beliau pernah membaca ayat walmursalāt ‘urfā. Di dalam HR al-Bukhari dijelaskan, yang maknanya sebagai berikut.

Diriwayatkan dari Ummu Fadi raḍiyallahu ‘anhu tentang Ibn Abbas raḍiyallahu ‘anhu, Ssungguhnya Ummu Fadi mendengar Ibnu Abbas raḍiyallahu ‘anhu membaca ayat walmursalāt ‘urfā, maka Ummu Fadi berkata, Wahai, anakku! Demi Allah engkau telah  mengingatkanku dengan bacaanmu ini bahwa surat tersebut adalah surat terakhir yang aku dengar dari Rsulullah shallallahu ‘alahi wasallam ketika beliau membacanya pada shalat magrib.”

Membaca Surat atau Ayat yang Mudah

Syariat Islam tidak memberatkan umatnya termasuk di dalamnya adalah tuntunan shalat. Dalam hubungannya dengan surat atau ayat yang dibaca di dalam shalat, kita perhatikan firman Allah Subhanahu wa Ta’āla di dalam al-Qur‘an surat Muzammil (73): 20

فَاقْرَءُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْاٰنِۗ

“ … karena itu, bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’an.”

Meskipun demikian, kita tidak boleh menyepelekannya misalnya membaca hanya satu ayat tanpa memperhatikan kesempurnaan maknanya. Tentu hal itu tidak dibolehkan.

Perlu kita pahami pula bahwa kita tidak dianjurkan membaca ayat yang tidak dapat diartikan jika hanya dibaca hanya satu ayat tanpa ayat lainnya seperti ayat di dalam surat ar-Rahman (55): 64,

مُدْهَاۤمَّتٰنِۚ

Sementara itu, Imam Ahmad mencontohkan satu ayat yang dapat dibaca saat shalat, yakni ayat 255 di dalam surat al-Baqarah (ayat Kursi) dan ayat 282 di dalam surat al-Baqarah.

Di dalam Fatwa Fatwa Majelis Tarjih yang terdapat di dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid 1 (hlm. 56) disebutkan bahwa sekiranya mau membaca surat atau ayat, maka yang utama dibaca minimal tiga ayat. Hal ini berdasarkan riwayat ad-Darimi, Ahmad, dan at-Tirmidzi.

Berkenaan dengan itu, imam yang lupa pada saat membaca surat secara jahr, tidak perlu membaca ayat atau surat lainnya jika telah membaca tiga ayat atau lebih. Namun, jika kurang dari tiga ayat, ia perlu menambah ayat atau surat lain. Hal ini dimaksudkan agar tidak bertentangan dengan hadis riwayat ad-Darimi, Ahmad, dan at-Tirmidzi tersebut.

Kita boleh juga membaca satu ayat, tetapi diulang-ulang. Di dalam riwayat an-Nasa’i, Ibnu Khuzaimah, Ahmad, dan al-Hakim, dijelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah shalat malam dengan membaca surat al-Maidah ayat 118 diulang-ulang sampai pagi.

Allahu a’lam

 

Mohammad Fakhrudin, warga Muhammadiyah tinggal di Magelang Kota

Nif’an Nazudi, Dosen Universitas Muhammadiyah Purworejo

Exit mobile version