Profetisme dalam Bingkai Kemanusiaan Universal
Oleh: Asyraf al Faruqi Tuhulele
Kuntowijoyo: Ilmu Sosial Profetik
Kuntowijoyo merupakan intelektual Muhammadiyah yang cukup lengkap. Ia menggeluti bidang sejarah, sastra dan budaya. Selain itu ia juga seorang dosen di UGM, Kyai di masjid, dan menjabat sebagai anggota PP. Muhammadiyah saa itu. Kesederhanaan hidup dan keteguhannya dalam menyikapi realitas sosial masyarakat saat itu mendapatkan perhatian dari banyak orang. Ia diberi julukan sebagai orang yang tradisionalis, modernis, konservatif, dan sekaligus reformis. Latar belakang keluarga yang merupakan seorang aktivis Muhammadiyah, banyak mempengaruhi dasar pemikiran dari Kuntowijoyo itu sendiri.
Sebagai seorang intelektual yang sangat memperdulikan keaadan disekitar, ia menjadikan tulisan sebagai salah satu media dakwahnya, tulisannya tersebar di banyak media massa, selain itu juga ada sekitar 50 buku yang ia tulis mengenai dengan esai-esai agama, sosial, dan politik dalam bentuk puisi, novel, cerpen, dan karya sastra lainnya. Ia ingin melakukan pendekatan kepada masyarakat dengan mengubah paradigma berfikir ideologis dan mistis berubah menjadi kesadaran ilmiah.
Kuntowijoyo sebagai Cendikiawan Islam Progresif
Kuntowijoyo merupakan seorang cendikiawan Islam yang tidak anti terhadap pemikiran-pemikiran barat, bahkan saat itu ia sering sekali mengadopsi teori barat untuk menjelaskan beberapa pemikirannya. Ia Menyusun gagasan tentang keislamannya setidaknya melalui dua hal. Pertama ia perihatin dengan kondisi sosial masyarakat yang terbelenggu dengan persoalan mitos dan mistik sampai, tapi setelah mengalami agrarisasi dan berkembangnya ilmu pengetahuan ia mulai mencoba untuk menggeser paradigma tersebut ke pemikiran yang lebih ilmiah. Bagi Kuntowijoyo, universalisme ajaran agama Islam tidak berarti menyingkirkan budaya lokal, maka daripada itu semangat kosmopolitanisme Islam itu mulai digaungkan, Islam sebagai budaya global yang ada dimana-mana dan rasionalisme Islam.
Kedua, respon tehadap perkembangan yang cenderung mereduksi peran agama dan sekularisasi antara agama dan negara. Terknikratisasi dan industrialisasi melahirkan moralitas baru yang menekankan pada pencapaian perorangan, kesamaan, dan rasionalitas ekonomi. Inilah yang mendorong Kuntowijoyo untuk memberikan alternatif reinpretasi nilai-nilai keislaman, terutama yang berkaitan dengan ilmu sosial, yang kemudian kita kenal gagasannya yaitu tentang ilmu sosial profetik.
Meski demikian, Kuntowijoyo tidak alergi terhadap teori dan metodologi yang dikembangkan di negara-negara barat. Ia mencari titik konvergensi (temu) antara barat dan Islam, bahkan sampai pada menafsir ayat al-Qur’an. Seperti yang ia tuliskan dalam bukunya “Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (2008: 28)”, bahwa tafsir surah Ali-Imran ayat 110 pada istilah amar ma’ruf dimaknai dengan humanisasi dan emansipasi, nahi munkar dimaknai dengan liberasi, dan iman kepada Allah dimaknai dengan transendensi.
Dengan pendekatan inilah lahir gagasan terkenal tentang ilmu sosial dan sastra profetik. Sejak 1982 Kuntowijoyo menggunakan sastra sebagai alat melawan dehumanisasi sebab negatif modernisasi. Sastra tidak memandang manusia sebagai instrument industri atau sekedar penggambaran ekspresi, namun lebih daripada itu memiliki kekuatan transformatik.
Ilmu Sosial Profetik
Kuntowijoyo menghadirkan paradigma berfikir baru yang filosofis dan transformatif tentang ilmu sosial profetik yang menjadikan dimensi transedental sebagai landasannya. Transendental berarti menjadikan teks agama otoritatif (al-Qur’an dan Hadist) sebagai sumber, sehingga ilmu pengetahuan memiliki nilai keilahian, yang berorientasi pada keimanan dan ketauhidan kepada Allah SWT. Pendekatan ini menggabungkan antara ilmu pengetahuan dan agama.
Profetik secara bahasa berarti sifat yang menyerupai nabi, bahwa nabi memiliki cara berfikir yang transformatif dan mencerahkan. Maka ilmu sosial profetik dapat dimaknai sebagai keilmuan yang dapat membawa transformasi nilai ilmu dan amal kepada sosial masyarakat.
Secara epistimologis, bahwa ilmu sosial profetik merupakan pengetahuan yang memiliki pendekatan atas tiga hal, yaitu rasio, realitas empiris, dan wahyu. Dengan pendekatan seperti ini, maka ilmu sosial profetik berdiri berhadapan atau tidak sejalan dengan teori positivisme yang menganggap bahwa wahyu adalah mitos.
Maka daripada itu, pijakan dasar ilmu sosial profetik ada pada karakter paradigmatiknya, yaitu humanisasi, liberasi, dan transendensi. Jika ditafsirkan kedalam tiga dasar ilmu filosofis, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi, maka tiga pendekatan yang dikemukakan Kuntowijoyo nampak berurutan. Humanisasi sebagai landasan ontologis, liberasi sebagai epistimologi, dan transendensi sebagai aksiologis.
Humanisasi, Liberasi, dan Transendensi
Humanisasi lebih banyak diartikan sebagai upaya memanusiakan manusia. Manusia dimaknai sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Jika memakai pendekatan humanism, maka humanism disini adalah teosentris, yang berlawanan dengan teori humanism era modern yang dikatakan oleh para kaum materialistik seperti Ludwig Feuerbach yang mengatakan bahwa tuhan merupakan alam buatan yang dibuat oleh manusia saja.
Manusia bukan lagi menjadi proyek teosentris, melainkan tuhan menjadi proyek antroposentris. Humanisme yang dikembangkan dalam ilmu sosial profetik juga bertentangan dengan rasionalisme yang berkembang di Barat, sehingga manusia dapat menentukan segalanya dalam bidang apapun. Dengan kemampuan otak manusia, mereka dapat mengeksploitasi alam, membuat mesin perang, sehingga humanism pada era modern mengkerdilkan kemanusiaan itu sendiri.
Kemudian, liberasi dapat dimaknai sebagai upaya pembebasan manusia dari sistem pengetahuan, politik, ekonomi, dan budaya yang membelenggu manusia. Kuntowijoyo menganggap bahwa masih banyak manusia yang hidup dalam hegemoni palsu. Contohnya, masih banyak manusia yang hidup berdampingan dengan mitos bukan logos, bahkan dalam beragama dengan mempercayai mitos-mitos yang ada, meyakini ajaran namun tidak mengaktualisasikannya. Liberasi juga memberikan kebebasan kepada manusia dari dominasi struktural, yang menjadikan manusia terpenjara dalam kemiskinan dan pemerasan.
Terakhir yaitu transendensi, yaitu upaya memberikan petunjuk hidup manusia sehingga dapat hidup lebih bermakna. Nilai-nilai yang terkandung dalam transendensi ini adalah nilai ketuhanan sebagaimana yang telah diajarkan Islam. Ajaran ketuhanan mengarahkan manusia untuk mengerjakan nilai luhur kemanusiaan dan mengajak manusia menjalankan nilai tersebut.
Sekilas ilmu sosial profetik yang digagas oleh Kuntowijoyo memiliki garis lurus dari aksi kemanusiaan menuju ketuhanan. Sebagai ilmu sosial, ilmu sosial profetik ini tetap mengatasi persoalan empirik. Jika ilmu sosial dimaknai sebagai empirik yang ditekankan, maka yang menjadi tujuan adalah humanisasi. Sebaliknya, jika profetisme yang lebih ditekankan, maka transedensi dijadikan aksiologi. Orientasi dimensi transenden ilmu sosial selama ini dikenal luas bertempat pada alam imanen yang memiliki gagasan menarik dan unik dari ilmu sosial profetik.
Asyraf al Faruqi Tuhulele, Ketua Umum PC IMM Cirendeu