Oleh: Mohammad Fakhrudin dan Nifʻan Nazudi
Pada Shalat untuk Menjemput Rahmat (7) diuraikan kaifiat membaca surat atau ayat al-Qur’an di dalam shalat. Pada pada dasarnya, surat atau ayat yang dibaca di dalam shalat bersifat sunah dan pilihan.
Jika shalat sendirian, tentu utama sekali kita memilih surat atau ayat yang panjang. Dengan memilih surat atau ayat yang panjang, berarti kita mengondisikan “pertemuan” dengan Allah Subhanahu wa Taʻāla berlama-lama. Jika kondisi tersebut terwujud, ada harapan terwujudnya ikhtiar untuk mensyukuri nikmat-Nya karena salah satu fungsi shalat adalah untuk bersyukur atas nikmat-Nya..
Di dalam shalat berjamaah, imam dianjurkan agar memperhatikan kondisi makmum. Jika mengetahui bahwa di antara makmum ada yang uzur usia, usur kesehatan, dan/atau ada pula yang memiliki urusan untuk dilakukan, imam dianjurkan membaca surat atau ayat pendek sehingga mereka dapat mengikutinya dengan khusyuk.
Dalam hal membaca surat atau ayat dari al-Qur’an, ada contoh bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca surat lebih panjang pada rakaat pertama daripada pada rakaat kedua. Hal itu tentu bermanfaat bagi makmum yang datang terlambat pada rakaat pertama. Mereka dapat mengikuti rakaat pertama.
Perlu dipahami dengan sebaik-baiknya bahwa panjang pendeknya surat pada rakaat pertama dan pada rakaat kedua itu bersifat tidak mutlak. Pada shalat Jumat dan shalat ‘idain misalnya, beliau membaca surat al-Aʻla pada rakaat pertama, kemudian membaca surat al-Ghāsyiyah pada rakaat kedua, padahal surat al-Aʻla lebih pendek daripada surat al-Ghāsyiyah.
Pada shalat magrib, isya, atau subuh, shalat Jumat, ‘idain, kusuf, tarawih, dan istisqa, surat dibaca secara jahar. Sangat dianjurkan bagi imam membaca surat secara utuh (dari ayat pertama sampai ayat terakhir) pada rakaat pertama dan kedua.
Jika membaca ayat dari al-Qurʻan, kita dianjurkan membaca ayat bagian awal surat, pertengahan surat, atau akhir surat. Kita tidak dianjurkan membaca ayat yang tidak dapat diartikan jika hanya satu ayat tanpa ayat lainnya seperti ayat di dalam surat ar-Rahman (55): 64. Yang dianjurkan adalah satu ayat yang telah mempunyai makna atau pesan yang jelas dan utuh.
Ada lagi yang perlu kita pahami. Kita boleh pula membaca satu ayat, tetapi diulang-ulang. Di dalam riwayat an-Nasaʻi, Ibnu Khuzaimah, Ahmad, dan al-Hakim, dijelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah shalat malam dengan membaca surat al-Maidah ayat 118 diulang-ulang sampai pagi.
Hal yang perlu mendapat perhatian juga adalah tentang membaca lebih dari dua surat di dalam satu rakaat, yakni al-Ikhlas, al-Falaq, dan an-Nas. Hal itu pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Abdul Abbas Asham. Di samping itu, diriwayatkan oleh al-Hakim bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam shalat witir pada rakaat ketiga membaca ketiga surat tersebut sebagaimana dijelaskan di dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid 1 (hlm. 55) yang disusun oleh Majelis Tarih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Perlu diingat kembali pula bahwa imam pada shalat dengan bacaan jahar jika lupa ketika membaca ayat, padahal belum mencapai tiga ayat, dia dapat menambah ayat atau surat lain. Jika sudah mencapai tiga ayat atau lebih, dia tidak perlu menambah ayat atau mengganti surat yang lain.
Surat as-Sajdah
Ada kebiasaan imam tertentu membaca surat as-Sajdah pada shalat subuh pada hari Jumat. Dia mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Di dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid 1 (hlm. 78-79) yang disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, diuraikan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah membaca surat as-Sajdah (32) pada waktu shalat subuh pada hari Jumat. Hal itu dapat kita ketahui melalui HR Muslim dari Ibnu Abbas, yang transkrip dan maknanya sebagai berikut,
“Dari Ibnu Abbas (diterangkan) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika shalat subuh pada hari Jumat membaca surat Alif Lam Mim, Tanzil as Sajdah dan Hal atāʻalal insāni hinun minaddahri” dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada shalat Jumat, membaca surat Jumat dan Munafiqun.”
Setelah membaca ayat kelima belas, yakni,
اِنَّمَا يُؤْمِنُ بِاٰيٰتِنَا الَّذِيْنَ اِذَا ذُكِّرُوْا بِهَا خَرُّوْا سُجَّدًا وَّسَبَّحُوْا بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُوْنَ
imam tersebut langsung sujud. Setelah sujud, dia berdiri kembali dengan mengucapkan takbir intiqal tanpa mengangkat, tetapi langsung bersedekap untuk melanjutkan shalat rakaat pertama. Selanjutnya, dia membaca ayat keenam belas sampai selesai.
Surat tersebut terdiri atas 30 ayat. Setelah selesai, barulah dia rukuk, iʻtidal, sujud pertama, duduk di antara dua sujud, sujud kedua, kemudian berdiri untuk mengerjakan rakaat kedua.
Makmum yang tidak memahaminya, ada yang mengucapkan subhanallah karena mengira imam lupa rukuk. Bahkan, ada juga di antara mereka yang rukuk.
Agar hal itu tidak terjadi, ada baiknya, sebelum shalat dimulai, imam memberikan penjelasan tentang surat yang akan dibacanya. Tentu sangat ideal lagi jika semua makmum sudah memahami hal sujud tilawah sehingga shalat berlangsung khusyuk.
Dalam hubungannya dengan sujud ketika mendengar ayat sajdah, al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang dikabarkan oleh Umar bin Khattab, yang artinya sebagai berikut.
“Dari Umar bin Khattab dia pada hari Jumat membaca di atas mimbar surat an-Nahl. Hingga bila sampai pada ayat sajdah, beliau turun lalu sujud sehingga orang-orang pun sujud. Saat Jumat berikutnya, beliau membaca lagi surat tersebut hingga sampai pada ayat sajdah. Beliau berkata, ‘Wahai manusia, sesungguhnya kita melewati ayat sajdah. Barang siapa bersujud sungguh ia telah benar, dan barang siapa tidak bersujud, maka tiada dosa baginya.’ Dan Umar sendiri tidak bersujud.”
Sementara itu, di dalam HR Muslim dari Abu Hurairah dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, yang artinya sebagai berikut.
“Ketika anak Adam membaca ayat as-Sajdah, kemudian ia bersujud, maka setan menyendiri dan menangis. Ia berkata, “Celaka, anak Adam diperintah untuk bersujud dan ia pun bersujud, maka baginya surga. Dan aku telah diperintah untuk bersujud, tetapi aku menolak, maka bagiku neraka.”
Sujud tilawah dalam shalat bergantung pada imam pada saat membaca ayat sajdah. Jika imam sujud, makmum pun sujud. Jjika imam tidak sujud, makmum tidak sujud juga.
Sebaiknya, membaca takbir sebelum melaksanakan sujud tilawah. Hal itu berdasarkan hadis, yang maknanya,
“Diriwayatkan dari Ibnu Umar raḍiyallahu ‘anhu, ia berkata, Pernah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membacakan al-Qurʻan atas kami, maka apabila sampai pada ayat sajdah beliau bertakbir dan sujud, dan kami pun sujud bersama beliau.” (HR Abu Dawud).
Adapun dalil al-Qurʻan yang berisi tuntunan sujud tilawah, antara lain, terdapat di dalam surat Maryam (19): 58
اِذَا تُتْلٰى عَلَيْهِمْ اٰيٰتُ الرَّحْمٰنِ خَرُّوْا سُجَّدًا وَّبُكِيًّا
“Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, mereka sujud dan menangis.”
Mengangkat Kedua Tangan sambil Mengucapkan Takbir seperti ketika Takbiratul Ihram, lalu Rukuk
Rukuk merupakan salah satu rukun shalat. Oleh karena itu, rukuk tidak boleh ditinggalkan.
Rukuk dilakukan setelah selesai membaca surat atau ayat al-Qurʻan. Di dalam HPT 3 (hlm. 56) dijelaskan bahwa dari segi bahasa rukuk berarti merunduk; menunduk. Secara istilah, rukuk adalah merundukkan badan sehingga kepala sejajar dengan punggung seraya meletakkan kedua telapak tangan di atas kedua lutut. Gerakan rukuk di dalam shalat disebut dengan jelas dalam al-Qurʻan surat al-Hajj (22): 77.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ارْكَعُوْا وَاسْجُدُوْا وَاعْبُدُوْا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Hai, orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebaikan supaya kamu mendapat kemenangan.”
Sementara itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan pula kepada kaum muslimin untuk rukuk dengan baik (tumakninah) sebagaimana dijelaskan di dalam hadis dari Abū Hurairah tentang orang yang keliru mengerjakan shalatnya.
“Dari Abū Hurairah [diriwayatkan bahwa] Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam … bersabda (kepada orang yang keliru mengerjakan shalatnya], Apabila engkau hendak shalat, bertakbirlah; kemudian, bacalah apa yang mudah dari al-Qurʻan; kemudian, rukuklah dengan tumakninah.” (HR al-Bukhari)
Bagaimana cara melakukan rukuk yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Rukuk dilakukan dengan lebih dahulu mengangkat kedua tangan sambil membaca takbir seperti dalam takbiratul ihram. Lalu, rukuk (membungkukkan badan) seraya meluruskan punggung dengan tengkuk dan telapak tangan kanan memegang lutut kanan dan telapak tangan kiri memegang lutut kiri dengan jari-jari tangan agak direnggangkan sambil membaca doa.
Jadi, ada beberapa hal penting yang perlu kita pahami baik-baik, yakni
1. Bertakbir ketika akan rukuk seperti dalam takbiratul ihram, sebagaimana dijelaskan di dalam HR an-Nasaʻi, yang transkrip dan maknanya sebagai berikut.
“Dari Mālik Ibn al-Huwaris–ia adalah salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam–[diriwayatkan] bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila shalat, beliau mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua telinganya ketika bertakbir; [begitu pula] apabila hendak rukuk, dan apabila mengangkat kepala dari rukuk.”
2. Memegang kedua lutut dengan kedua tangan dan merenggangkan jari-jari. Hal ini sesuai dengan hadis dari Abū Humaid as-Sāʻidī, yang transkrip dan maknanya sebagai berikut.
“[Abū Humaid] berkata, apabila rukuk, beliau (Rasulullah) meletakkan dua tangannya di kedua lututnya dan merenggangkan jari-jarinya. [HR Abū Dāwud] al-Ḥāfiẓ Abū Tāhir mengatakan bahwa hadis ini sahih]
3. Meluruskan punggung pada saat rukuk. Hal ini sesuai dengan hadis lain dari Abū Humaid as-Sāʻidī
Di dalam HR Ibn Mājah dijelaskan sebagai berikut.
“… Kemudian, beliau (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) rukuk dengan meletakkan kedua telapak tangannya bersandar di kedua lututnya, tanpa membuat kepalanya terlalu menunduk dan tidak terlalu mengangkat kepalanya hingga lebih dari punggungnya); yang beliau lakukan adalah seimbang di antara keduanya.”
4. Rukuk dilakukan dengan tumakninah.
Tumakninah di dalam hubungannya dengan rukuk berarti gerakan rukuk dilakukan dengan tenang, khusyuk, dan tidak tergesa-gesa. Jadi, rukuk sudah dilakukan dengan sempurna lebih dahulu, barulah membaca doa rukuk. Tumakninah merupakan rukun shalat. Oleh karena itu, tidak sah shalat seseorang jika rukuknya tidak dikerjakan dengan tumakninah. Di dalam HR al-Bukhari dijelaskan perintah rukuk agar dilakukan dengan tumakninah, yang maknanya sebagai berikut.
“… kemudian, rukuklah sehingga kamu tumakninah dalam keadaan rukuk.”
Adapun doa rukuk adalah sebagai berikut.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى
“Subḥānakallāhumma rabbanā wa bi ḥamdikallāhummaghfirlī”
Doa tersebut sesuai dengan HR Muslim, yang transkrip dan maknanya sebagai berikut.
“Dari ‘Aisyah raḍiyallahu ‘anha [diriwayatkan bahwa] Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.ketika rukuk dan sujud, banyak (sering) membaca, Subḥānakallāhumma rabbāna wa bi ḥamdikallāhummagfirlī (Mahasuci Engkau, Ya, Allah, Ya, Tuhan kami, dan dengan memuji-Mu, ambpunilah aku, Ya, Allah). Beliau menerangkan maksud dari ayat al-Qurʻan dengan bacaan tersebut.”
atau
سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلعَظِيمِ, سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلعَظِيمِ, سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلعَظِيمِ
Subhaana robbiyal ‘adhiimi, Subhaana robbiyal ‘adhiimi, Subhaana robbiyal ‘adhiimi
Doa tersebut berdasarkan hadis dari Ḥuẑaifah Ibn al-Yamān, yang transkrip dan maknanya sebagai berikut.
“Dari Khuẓaifah [diriwayatkan] bahwa “dia pernah shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika rukuk, beliau membaca, Subḥāna rabbiyal a‘ẓīm” (Mahasuci Tuhanku Yang Mahaagung), dan ketika sujud beliau membaca, Subḥāna rbbiyal-a’la (Mahasuci Tuhanku Yang Mahatinggi).”
atau
سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ رَبُّ اْلمَلاَئِكَةِ وُالرُّوحِ
Subbūḥun quddūsun rabbul-malāikati war-rūh
Doa itu didasarkan HR Muslim, yang transkrip dan maknanya sebagai berikut.
“Dari ‘Aisyah (diriwayatkan bahwa) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca di dalam sujud atau rukuknya, Subbūḥun quddūsun rabbul-malāikati war-rūh (Mahasuci, Maha Qudus, Rabb-nya para malaikat dan ruh).”
atau
اللَّهُمَّ لَكَ رَكَعْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَلَكَ أَسْلَمْتُ خَشَعَ لَكَ سَمْعِى وَبَصَرِى وَمُخِّى وَعَظْمِى وَعَصَبِى
“Allāhumma laka rakaʻtu, wa bika āmantu, wa laka aslamtu. Khasyaʻa laka samʻī, wa baṣarī, wa mukhkhī, wa ʻaẓmī, wa ʻaṣabī (Ya, Allah, kepada-Mu-lah aku rukuk, terhadap-Mu-lah aku beriman, dan kepada-Mu aku berserah diri. Kepada-Mu hati, pandangan, otak, tulang, dan sarafku tunduk).
Hal itu didasarkan kepada hadis dari Ali Ibn Abi Thalib,
“Dari ‘Ali Ibn Tālib, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam [diriwayatkan] bahwa beliau apabila berdiri hendak shalat, beliau mengucapkan … dan apabila rukuk beliau mengucapkan Allāhumma laka rakaʻtu, wa bika āmantu, wa laka aslamtu. Khasyaʻa laka samʻī, wa baṣarī, wa mukhkhī, wa ʻaẓmī, wa ʻaṣabī (Ya, Allah, kepada-Mu-lah aku rukuk, terhadap-Mu-lah aku beriman, dan kepada-Mu aku berserah diri. Kepada-Mu hati, pandangan, otak, tulang, dan sarafku tunduk) [HR Muslim]
Allahu a’lam
Mohammad Fakhrudin, warga Muhamamdiyah tinggal di Magelang Kota
Nifʻan Nazudi, Dosen Universitas Muhammadiyah Purworejo