Persidangan Serantau ke-2 Bahas Kemajemukan dalam Bingkai Kesatuan

Persidangan Serantau ke-2 Bahas Kemajemukan dalam Bingkai Kesatuan

SELANGOR, Suara Muhammadiyah-Indonesia dan Malaysia memiliki sejarah panjang kemajemukan, baik dalam hal etnik, agama, pandangan politik, dan lain sebagainya. Indonesia menjadi rumah bagi 1.300-an etnik yang menuturkan bahasa berbeda dan mengamalkan kebudayaan yang berbeda pula. Sedangkan masyarakat Malaysia terdiri atas banyak etnik, termasuk di antaranya Melayu, India, dan Cina.

Kemajemukan atau kepelbagaian ini punya andil sebagai aset kekayaan suatu negara, tetapi sekaligus juga menyisakan tantangan. Keuntungan dan tantangan itulah yang dibahas dalam ‘Persidangan Serantau ke-2 Hidup Bersama dalam Budaya Damai’ dengan tajuk “Pendekatan Madani: Mengurus Kepelbagaian dalam Bingkai Kesatuan,” yang dihelat pada 11 dan 12 Mei 2023 di Acappella Suite Hotel, Shah Alam, Selangor, Malaysia.

Acara ini terwujud berkat kerja sama Universiti Selangor dan Institut Darul Ehsan. Dalam acara ini, tokoh Muhammadiyah bersama dengan beberapa cendekia asal Malaysia dan Singapura, diundang sebagai narasumber.

Pengarah Eksekutif Institut Darul Ehsan Datuk Ismail bin Yusop menjelaskan bahwa acara ini merupakan suatu bentuk usaha untuk melanjutkan legasi intelektual Malaysia, Prof. Dr. Siddik Fadzhil, sekaligus merupakan sambungan dari Persidangan Serantau ke-1 yang digelar pada 2019. Menurutnya, salah satu agenda acara ini adalah untuk saling mengenal antar pelbagai etnik dan bangsa di Nusantara, juga menyokong perwujudan Malaysia Madani, suatu konsep yang diperkenalkan oleh Perdana Menteri Malaysia Datuk Seri Anwar Ibrahim.

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2005–2015 Prof. Dr. Din Syamsuddin menyatakan bahwa kemajemukan adalah sunatullah sekaligus merupakan ujian apakah kita bisa hidup berdampingan dengan baik. Lanjutnya, kemajemukan masih menjadi masalah besar di dunia internasional maupun di dunia Islam.

Presiden Center for Dialogue and Cooperation Among Civilizations ini pun mengajak umat untuk mengakui kemajemukan, bersedia hidup damai, dan bersedia bertoleransi tetapi jangan sampai mengkompromikan akidah, apalagi Islam sudah sejak lama mengenal prinsip lakum diinukum wa liyadiin.

Din menggarisbawahai pentingnya pemahaman wasathiyah untuk merawat kemajemukan, dan juga dialog dengan paradigma baru, yakni dialogical dialogue yang berlandaskan pada ketulusan untuk bersama-sama memecahkan masalah, dalam situasi rileks tetapi tetap berpegang pada prinsip.

Menurutnya, konsep dan pendekatan madani yang digagas oleh Datuk Seri Anwar Ibrahim mesti diarusutamakan, dan persidangan ini mesti dilanjutkan dengan dibentuk dan dijalankannya working group.

Peneliti utama pada Universiti Malaya, Dr. Khairudin Aljunied, berpendapat bahwa Muslim di Asia Tenggara, khususnya Dunia Melayu, dapat menjadi agen perubahan dan mewujudkan persatuan antara sesama umat Islam maupun non-Islam dengan cara mengedepankan dan mengamalkan adab. Dia juga memuji Muhammadiyah sebagai organisasi yang memiliki nilai universalitas, itu terbukti dari pemikirannya yang progresif menyangkut kemanusian dan kemajemukan.

Sementara itu, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. Abdul Mu’ti menjelaskan bahwa kemajemukan terjadi karena sebab alamiah, ilmiah, dan amaliah. Adapun perbedaan agama, keberagamaan, dan mazhab adalah beberapa perbedaan yang disebabkan oleh hal-hal ilmiah. Sementara orientasi keagamaan, politik, kebangsaan, dan kenegaraan disebabkan oleh hal-hal yang bersifat amaliah.

Mu’ti menambahkan bahwa Muhammadiyah merupakan suatu organisasi lintas suku, budaya, bahkan agama. Muhammadiyah tidaklah monolitik, bahkan perguruannya mampu merangkul murid dengan agama yang berbeda dengan tetap memberikan pendidikan agama sesuai keyakinan mereka. Demikian pula halnya dengan layanan kesehatan dan pengasuhan sosial yang digalang Muhammadiyah.

Oleh karenanya, tidaklah mengherankan apabila gerak Muhammadiyah diapresiasi pula oleh non-Muslim. Bahkan belakangan di Nusa Tenggara Timur dan Papua, dikenal juga istilah Krismuha, Kristen Muhammadiyah, yakni orang-orang Kristen yang mendukung Muhammadiyah.

Adapun Menteri Luar Negeri Malaysia Dato’ Seri Diraja Dr. Zambry Abd Kadir mengapresiasi Indonesia dan Muhammadiyah sebagai tapak-tapak kepelbagaian, sekaligus mengingatkan bahwa tanpa kepelbagaian, maka yang ada adalah kebekuan pemikiran. (MPI PCIM Malaysia/ribas)

Exit mobile version