Oleh: Donny Syofyan
Apakah poligami diperbolehkan dalam Islam? Mari kita memahaminya konsep ini secara bahasa. Poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan. Poligami ini terbagi dua, yakni poligini dan poliandri. Poligini merujuk kepada seorang pria yang memiliki banyak istri, lalu kebalikannya adalah poliandri, yakni seorang wanita yang memiliki banyak suami. Dalam etika dan hukum Islam, poliginilah yang dibolehkan.
Bagaimana memahami hikmah di balik poligini karena banyak yang percaya ini menempatkan wanita dalam situasi yang tidak nyaman? Di masa klasik, yang ditandai dengan masyarakat suku dan kebutuhan untuk membangun dan mengokohkan suku dari serangan pihak luar, memiliki keluarga besar menjadi kebutuhan. Strukturnya memang begitu. Keluarga yang terbilang cukup besar bisa membentuk klan dan suku.
Praktek ini jauh mendahului era Nabi Muhammad SAW, bahkan kita dapat lihat ke belakang ke zaman yang termaktub dalam Alkitab. Dalam Perjanjian Lama sejumlah nabi dan tokoh masyarakat memiliki banyak istri. Abraham, sang bapak monoteisme, memiliki dua istri pada suatu waktu, Sarah dan Hagar, kemudian ia juga menikah dengan Keturah. Dawud juga punya banyak istri. Putranya Sulaiman malah dikatakan dalam Alkitab memiliki 700 istri dan 300 selir. Jumlahnya ini memang sangat berlebihan, meskipun demikian ini menjelaskan bahwa kisah pria yang memiliki banyak istri sudah berusia ribuan tahun.
Ketika para sarjana Muslim memahami posisi Muslim klasik bahwa seorang pria boleh menikahi hingga empat orang wanita, mereka merujuk kepada jumlah istri yang dimilki Ya`qub, bapaknya kaum Israel. Dalam Alkitab dikatakan bahwa ia menikahi Leah dan kemudian saudarinya Rachel. Masing-masing memiliki seorang pelayan wanita yang juga mengabdi kepada Ya`qub. Jadi Ya`qub pada dasarnya memiliki empat orang istri. Ini terjadi di zaman klasik karena berbagai alasan. Salah satunya bahwa suku-suku waktu itu adalah himpunan orang-orang yang berhubungan darah. Salah satu cara paling efisien untuk mendapatkan dan merapatkan hubungan suku ini adalah memiliki seorang patriark yang menjadi kepala suku. Ia memiliki banyak istri dan anak. Semua berhubungan satu sama lain, bersedia untuk saling membela meskipun sebagai saudara tiri, dan berkorban membela suku tersebut.
Dalam Al Quran, perkara poligini ditemukan dalam surah An Nisa ayat ke-3. Ini membutuhkan penjelasan. Pertama-tama mari kita mulai dengan konteks historis. Yusuf Ali dalam The Holy Qur’an: Text, Translation and Commentary menyatakan bahwa ayat ini diturunkan setelah Perang Uhud, yang terjadi pada tahun ketiga Hijrah. Setelah hijrah, kaum Muslimin menghadapi pertempuran demi pertempuran. Banyak kaum Muslimin syahid, ada sekitar 70 yang gugur sewaktu Perang Uhud. Bayangkan, ada 70 orang laki-laki yang tiba-tiba wafat karena terbunuh. Lalu, apa yang akan terjadi atau bagaimana nasib para janda dan yatim piatu yang ditinggalkan?
Pada saat itu kaum Muslimin bukanlah masyarakat kesejahteraan (welfare society). Masyarakat Muslim mulai berevolusi ketika Umar bin Khattab melembagakan apa yang kita ketahui hari ini sebagai dukungan kesejahteraan seperti insentif bagi anggota masyarakat, semisal ibu dan anak-anaknya. Tetapi pada masa-masa awal sebelum itu, cara terbaik untuk merawat para janda dan anak-anak yatim adalah bahwa banyak pria mengambil tanggung jawab tambahan dengan menikahi janda para sahabat yang gugur di medan perang. Ini menjadi cara terbaik untuk menyelamatkan banyak janda dan juga anak-anak yatim.
Dengan memahami konteks historis demikian, kita bisa mengerti mengapa QS An Nisa ayat 3 berbicara demikian, “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat.” Di situlah semuanya dimulai. Ayat ini menyapa seluruh masyarakat, bahwa jika kamu sebagai masyarakat khawatir bahwa situasinya kritis telah mencapai puncaknya sehingga kamu sebagai masyarakat tidak sanggup memberikan keadilan bagi perempuan yang yatim bilamana kamu mengawininya, maka solusinya adalah diperkenankan bagi pria menikahi banyak istri. Mereka akan mengambil tanggung jawab tambahan ini buat menyelamatkan para janda dan anak-anak mereka yang yatim-piatu.
Mayoritas Muslim, dan lebih umum di seluruh dunia, mengadopsi praktik umum satu pria menikahi satu wanita. Ini menjadi semacam norma dan sesuatu yang ideal di banyak bagian dunia, bahkan di mana Muslim mayoritas. Memang adal kasus-kasus ketika seorang pria Muslim merasa bahwa ini adalah haknya yang fundamental. Ini dibolehkan dalam Al-Quran bahwa seorang laki-laki harus dapat memiliki banyak istri (ta`addud). Saya pernah bertemu dengan seorang ustad yang secara tradisional terlatih dalam ilmu-ilmu Islam. Ia mengatakan bahwa adalah sebuah norma bagi seorang pria untuk memiliki banyak istri. Hematnya, adalah sebuah pengecualian atau penyimpangan dari norma ketika seorang pria Muslim hanya memiliki satu istri.
Hemat saya ini adalah penafsirannya sendiri. Justru pendapatnya adalah penyimpangan dari norma karena mayoritas menyadari bahwa seorang pria lebih baik hanya memiliki satu istri. Pendapat ini berhujah dengan ayat yang sama (QS An Nisa: 3) bahwa jika seorang laki-laki takut tidak akan berlaku adil kepada istri-istrinya, maka nikahilah satu wanita saja. Penafsiran yang masyhur ini menunjukkan bahwa ada dorongan dari dalam masyarakat Muslim sendiri untuk bergerak ke cita-cita dan ekspektasi bahwa seorang pria hanya menikah satu wanita. Alasan ini sangat jelas karena sudah faktual dan umumnya dirasakan bahwa dalam situasi di mana seorang pria diizinkan untuk menikahi hingga empat istri, wanita kerapkali dirugikan.
Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas