YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Tanggapi Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah sampaikan pernyataan sikapnya pada 22 Mei 2023.
PP Aisyiyah menilai Peraturan KPU tersebut yakni pada pasal 8 ayat (2) huruf a, sebagai bentuk ketidakberpihakan pada perempuan di ranah politik. “Ketentuan tersebut bisa dibaca sebagai bentuk ketidak berpihakan pada upaya mewujudkan pemilu inklusif dan berkeadilan yang memungkinkan perempuan mengejar ketertinggalan di bidang politik dan pemerintahan melalui kehadiran lebih banyak perempuan dalam proses pemilu,” ujar Tri Hastuti Nur Rochimah, Sekretaris Umum PP ‘Aisyiyah.
Pasal yang disoroti oleh PP ‘Aisyiyah disebut Tri adalah pada pasal 8 ayat (2) huruf a, yang menyebutkan bahwa: Dalam hal penghitungan 30% (tiga puluh persen) jumlah Bakal Calon perempuan di setiap Dapil menghasilkan angka pecahan maka apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai kurang dari 50 (lima puluh), hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah.
Hal ini berbeda dengan pengaturan Pemilu 2019 dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan KPU No. 20 Tahun 2018 yang mengatur bahwa dalam hal penghitungan 30% (tiga puluh persen) jumlah bakal calon perempuan di setiap Dapil menghasilkan angka pecahan, dilakukan pembulatan ke atas. Pengaturan PKPU 20/2018 merupakan kelanjutan dari konsistensi implementasi regulasi serupa yang telah diterapkan sejak penyelenggaraan Pemilu DPR dan DPRD Tahun 2014.
Selain mengubah norma afirmasi keterwakilan perempuan yang sudah dipraktikkan pada dua pemilu sebelumnya, Pasal 8 ayat (2) huruf a PKPU 10/2023 secara hukum disebut PP ‘Aisyiyah juga melanggar dan bertentangan dengan Pasal 245 UU 7/2017 yang menyatakan bahwa Daftar bakal calon di setiap daerah pemilihan memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen). Dampaknya, Pasal 8 ayat (2) huruf a dalam PKPU 10/2023 bisa membuat berkurangnya jumlah caleg perempuan pada sejumlah dapil Pemilu DPR dan DPRD.
Hingga saat ini, PP ‘Aisyiyah menantikan itikad baik dari KPU yang telah menerima keberatan yang disampaikan banyak pihak terkait hal tersebut yang pada konferensi pers pada 10 Mei 2023 menyatakan akan melakukan perubahan Pasal 8 ayat (2) huruf a PKPU No 10/2023 disertai kesempatan bagi partai politik untuk melakukan perbaikan sehingga keterwakilan perempuan memenuhi ketentuan Pasal 245 UU 7/2017. Namun hingga saat ini, KPU belum merealisasikan revisi PKPU 10/2023 yang telah dijanjikan tersebut.
Sehubungan itu, dalam pernyataan sikapnya, Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah mendesak KPU, Bawaslu dan DKPP untuk:
1. Segera merealisasikan janjinya kepada masyarakat Indonesia dan gerakan keterwakilan perempuan untuk merevisi ketentuan Pasal 8 ayat (2) PKPU 10/2018 dan mengembalikannya pada ketentuan yang sejalan dengan Pasal 245 UU 7/2017, yakni “Dalam hal penghitungan 30% (tiga puluh persen) jumlah bakal calon perempuan di setiap Dapil menghasilkan angka pecahan, dilakukan pembulatan ke atas”.
2. Mewujudkan dan memenuhi keterwakilan perempuan dalam komposisi Tim Seleksi ataupun keanggotaan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Serta menyertakan kebijakan afirmasi yang tegas dalam Peraturan KPU tentang Seleksi Calon Anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota agar tidak menegasikan dan menihilkan keterwakilan perempuan dalam pengisian keanggotaan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Demikian halnya Bawaslu beserta jajarannya sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu harus mengimplementasikan affirmative action untuk terpenuhinya keterwakilan perempuan paling sedikit 30%.
3. KPU, Bawaslu, dan DKPP harus menyusun kebijakan tata kelola organisasi penyelenggara pemilu yang berperspektif adil dan setara gender dalam pengaturan, implementasi, dan pengelolaan tahapan ataupun organisasi pada setiap tingkatannya.
4. KPU mendorong partai politik untuk secara aktif membuka peluang seluas-luasnya kepada caleg perempuan di partai politiknya melalui kebijakan affirmative action. Partai politik juga harus berkomitmen meminimalisir pencalegan yang berbiaya tinggi (high cost) serta tidak menempatkan perempuan sekadar sebagai pelengkap pada posisi sepatu ataupun sebatas vote gather semata.