Shalat untuk Menjemput Rahmat (10)
Oleh: Mohammad Fakhrudin dan Nifʻan Nazudi
Pada Shalat untuk Menjemput Rahmat (9) telah diuraikan kaifiat iktidal. Beberapa kaifiat iktidal yang diuraikan adalah bangkit dari rukuk, tata cara iktidal, posisi tangan ketika iktidal, dan macam doa iktidal.
Bangkit dari rukuk dilakukan setelah membaca doa rukuk. Kita harus selalu ingat bahwa rukuk harus kita lakukan dengan tumakninah. Ketika bangkit dari rukuk, kita membaca samiʻallahu liman ḥamidah disertai dengan mengangkat kedua tangan sebagaimana waktu takbiratul ihram.
Posisi tangan pada iktidal tidak bersedekap. Tangan lurus ke bawah atau menggantung.
Doa iktidal bermacam-macam dan semuanya merujuk pada contoh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu, kita dapat memilih satu.
Waktu membaca doa iktidal kita lakukan setelah sikap tubuh iktidal sempurna (yakni setelah kedua tangan lurus ke bawah atau menggantung). Membaca doa iktidal sebelum atau bersama dengan mengangkat kedua tangan tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Pada Shalat untuk Menjemput Rahmat (10) ini diuraikan beberapa hal penting yang berkenaan bersujud di dalam shalat.
Perintah Bersujud
Perintah bersujud di dalam shalat disebut dengan jelas di dalam al-Qurʻan surat al-Hajj (22): 77.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ارْكَعُوْا وَاسْجُدُوْا وَاعْبُدُوْا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Hai, orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebaikan supaya kamu mendapat kemenangan.”
Perintah bersujud tersebut bersifat umum. Belum ada penjelasan bagaimana kaifiat bersujud. Penjelasan yang rinci tentang kaifiat bersujud terdapat di dalam hadis.
Kaifat Sujud
- Setelah membaca doa iktidal, kita membaca takbir Allahu akbar tanpa mengangkat kedua tangan. Hal ini dijelaskan di dalam HR al-Bukhari dan Muslim, yang transkrip dan maknanya sebagai berikut.
“Apabila kamu berdiri hendak mengerjakan shalat, bertakbirlah; lalu, bacalah beberapa dari al-Qurʻan; lalu rukuk sehingga tenang (tumakninah); kemudian berdirilah sampai lurus; kemudian, sujud sehingga tenang; kemudian duduklah sampai tenang; lalu, sujud lagi sehingga tenang pula; kemudian, lakukanlah seperti itu dalam semua shalatmu.”
Hadis HR al-Bukhari dan Muslim, yang transkrip dan maknanya sebagai berikut, dijadikan rujukan juga.
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila mengerjakan shalat, ia bertakbir ketika berdiri; lalu, bertakbir ketika rukuk, lalu mengucapkan “samilʻallahu liman ḥamidah” ketika mengangkat punggungnya (bangun) dari rukuk; kemudian, ketika berdiri mengucapkan “Rabbanā wa lakal ḥamd”; lalu, takbir tatkala hendak sujud; lalu, bertakbir tatkala hendak mengangkat kepala (bangkit dari duduk antara dua sujud); lalu, bertakbir tatkala hendak berdiri, kemudian, melakukan itu dalam semua shalatnya, serta bertakbir tatkala berdiri dari rakaat yang kedua sesudah duduk. Kemudian, Abū Hurairah mengatakan, Sesungghnya, aku adalah orang yang paling mirip shalatnya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”
- Meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan. Hal ini didasarkan hadis dari Waʻil di dalam HR Tirmidzi, yang transkrip dan maknanya sebagai berikut.
“Apabila beliau bersujud, beliau meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya dan apabila bangkit (berdiri) untuk rakaat berikutnya, beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya.”
Hadis lain yang berasal dari Waʻil juga yang dijadikan rujukan adalah hadis sebagaimana terdapat di dalam HR an-Nasāʻī, yang transkrip dan maknanya sebagai berikut.
“Ia berkata, saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam apabila bersujud, beliau meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya dan apabila bangkit (berdiri untuk rakaat berikutnya), beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya.”
Sementara itu, hadis Abū Hurairah yang berisi keterangan bahwa sujud dengan meletakkan tangan lebih dulu daripada lutut, yang transkrip dan maknanya dikemukakan berikut ini, adalah daif.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Apabila salah seorang di antaramu bersujud, janganlah berdekam (menderum sebagaimana unta berdekam. menderum), dan hendaklah ia meletakkan tangannya sebelum lututnya.” (HR Abū Dawud)
Demikian pula halnya hadis Abū Hurairah lainnya, sebagaimana terdapat di dalam HR Ahmad, yang transkrip dan maknanya sebagai berikut, dinyatakan daif.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Apabila seorang di antaramu bersujud, janganlah mendekam seperti unta berdekam, dan agar ia meletakkan tangannya kemudian kedua lututnya.”
Mengapa hadis-hadis tersebut dinyatakan daif? Hadis-hadis tersebut maklub (terbalik) dan bertentangan dengan hadis Abū Hurairah juga, yang berisi hal yang sama. Berikut ini adalah transkrip dan maknanya.
“Dari Abū Hurairah ia menyatakan hadis ini marfuk [diriwayatkan] bahwa ia berkata, apabila salah seorang kamu sujud, hendaklah dia meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya dan jangan menderum seperti menderumnya unta.” [HR Ibn Abi Syaibah]
Keterbalikan matan dan kedaifan hadis Abū Hurairah tentang bersujud dengan meletakkan tangan lebih dahulu dinyatakan juga oleh Ibn al-Qayyim, al-Khaṭṭabi, dan as-Samʻāni. Jadi, gerakan sujud yang betul adalah meletakkan lutut lebih dahulu, baru kedua tangan.
Ada masalah bagi orang yang uzur kesehatan lututnya sehingga tidak dapat bersujud dengan meletakkan lutut lebih dahulu. Jika memang mempunyai uzur demikian, kita dapat melakukan sujud dengan cara yang mudah bagi kita! Ajaran Islam tidak menyulitkan umatnya.
- Merenggangkan kedua tangan dari lambung, mengangkat kedua siku, telapak tangan diletakkan sejajar dengan bahu, serta merapatkan jari-jari tangan dan tidak digenggam
Berikut ini disajikan transkrip dan makna hadis yang dijadikan rujukan sebagaimana terdapat di dalam HPT 3 (hlm. 569-570).
Hadis dari Abū Humaid as-Saʻidī sebagaimana terdapat di dalam HR al-Bukhari
“Saya lebih cermat (hafal) dari di antaramu tentang shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku melihat beliau ketika bertakbir, mengangkat kedua tangannya setentang dengan bahunya dan apabila rukuk meletakkan kedua tangannya pada lututnya; lalu, membungkukkan punggungnya; lalu, apabila mengangkat kepalanya, beliau berdiri tegak sehingga luruslah tiap tulang-tulang punggungnya seperti semula; lalu, apabila sujud, beliau letakkan kedua telapak tangannya pada tanah dengan tidak meletakkan lengan dan tidak merapatkannya pada lambung; dan ujung-ujung jari kakinya dihadapkan ke arah kiblat. Kemudian, apabila duduk pada rakaat kedua, beliau duduk di atas kaki kirinya dan menumpukkan kaki yang kanan. Kemudian, apabila duduk pada rakaat yang terakhir, beliau majukan kaki kirinya dan menumpukkan kaki kanan. serta bertumpu pada pantatnya.”
HR al-Bukhari dan Muslim
“Dari Malik Ibn Buḥainah [diriwayatkan] bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam apabila shalat, beliau merenggangkan antara kedua tangannya sehingga kelihatan putih kedua ketiaknya.”
Hadis al-Lais sebagaimana terdapat di dalam HR Muslim
“Dari al-Lais [diriwayatkan]bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila bersujud merenggangkan kedua tangannya dari ketiaknya sehingga aku melihat putih kedua ketiaknya.”
Hadis dari al-Barāʻ Ibn ‘Āzib sebagaimana terdapat di dalam HR Muslim Ahmad dan Ibn Khuzaimah
“Dari al-Barāʻ [diriwayatkan bahwa] ia berkata, Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Bila kamu bersujud, letakkanlah kedua belah telapak tanganmu dan angkatlah kedua sikumu.”
Di dalam pelaksanaan kaifiat tersebut, ada pemahaman bahwa bersujud dilakukan tidak sekadar meletakkan kedua telapak tangannya pada tanah (tempat shalat) dengan tidak meletakkan lengan dan tidak merapatkannya pada lambung; tidak sekadar merenggangkan kedua tangannya dari ketiaknya. Mereka membuka ketiak lebar-lebar dan menjauhkan lambung dari siku. Jika hal itu dilakukan pada shalat berjamaah, sikunya dapat mengenai jamaah yang di sebelahnya.
- Memosisikan tumit ketika sujud sesuai dengan kenyamanan
Ada dua pilihan memosisikan tumit ketika bersujud, yaitu rapat atau renggang. Tidak ada hadis yang secara rinci berisi penjelasan tentang posisi tumit ketika bersujud yang dapat dijadikan hujah. Jadi, kita dapat bersujud dengan posisi tumit rapat atau renggang.
Jika memakai pakaian shalat yang diyakini tidak menampakkan aurat lutut ketika bersujud, misalnya celana panjang dan ada uzur jika tumit dengan posisi rapat, kita dapat melakukan sujud dengan posisi tumit renggang. Sebaliknya, jika ada keraguan tetap tertutupnya aurat lutut ketika bersujud, kita dapat bersujud dengan posisi tumit rapat.
- Ketika sujud, hidung dan kening bersentuhan dengan tempat shalat
Di dalam HR at-Tirmidzi dijelaskan bahwa hidung dan kening merupakan satu kesatuan tulang yang harus menyentuh tempat sujud. Hal itu terdapat di dalam hadis, yang transkrip dan maknanya sebagai berikut.
“Diriwayatkan dari Abū Humaid as-Saʻidī [diriwayatkan] bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam apabila sujud menyentuhkan hidung dan dahinya di tanah (tempat shalat) dan merenggangkan kedua tangannya dari lambungnya dan meletakkan kedua telapak tangannya sejurus bahunya.”
Sementara itu, HR al-Bukhari yang maknanya sebagai berikut pun kita jadikan rujukan.
“Dari Ibnu Abbas berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diperintah agar melakukan sujud itu pada tujuh anggota dan supaya seseorang tidak merapatkan rambutnya atau kainnya sewaktu sujud, yakni kening, kedua tangan, kedua lutut, dan kedua kaki. Pada riwayat lain disebutkan sebagai berikut. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, saya diperintah bersujud pada tujuh tulang, yakni kening (tangan Nabi memberi isyarat pada hidung), kedua tangan, kedua lutut, dan atas ujung-ujung kedua telapak kaki.”
Berkenaan dengan hadis-hadis tersebut, kita ketahui bahwa hidung dan kening wajib menyentuh tempat sujud. Jika ketika sujud tiba-tiba mukena atau surban mengalangi hidung dan kening menyentuh tempat sujud, kita harus menariknya sehingga hidung dan kening tetap dapat menyentuh tempat sujud. Gerakan yang demikian tidak membatalkan shalat.
- Hendaklah sujud dengan ketujuh tulang
Ketujuh tulang yang dimaksud oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dapat kita ketahui melalui hadis dari Ibn Abbas, yang terdapat di dalam HR al-Bukhari dan Muslim, yang transkrip dan maknanya sebagai berikut.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Aku diperintahkan supaya bersujud di atas tujuh tulang: dahi―seraya menunjuk pada hidungnya―di atas dua belah tangan, kedua lutut, dan di atas kedua ujung kaki.”
Hadi-hadis yang berisi kaifiat sujud, yang transkrip dan maknanya disajikan di atas, berlaku bagi laki-laki dan perempuan. Menurut Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, ketetapan itu didasarkan hasil penelitian bahwa keterangan atau dalil tentang kaifiat sujud yang membedakan laki-laki dan perempuan belum ditemukan.
- Ketika bersujud membaca doa
Ada beberapa macam doa sujud yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Berikut dikemukakan doa ketika bersujud dan dalilnya.
Adapun doa sujud adalah sebagai berikut.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي
“Subḥānakallāhumma rabbanā wa bi ḥamdikallāhummaghfirlī”
Atau
سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى. سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى . سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى
Subḥāna rabbiyal-a‘lā, Subḥāna rabbiyal-a‘lā, Subḥāna rabbiyal-a‘lā
atau
سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ، رَبُّ الْمَلَائِكَةِ وَالرُّوحِ
Subbūḥun quddūsun rabbul-malāikati war-rūh
Hal ini berdasarkan beberapa hadis, yang transkrip dan maknanya, sebagai berikut.
HR al-Bukhari dan Muslim
“Dari ‘Āisyah raḍiyallahu ‘anha [diriwayatkan bahwa] ia berkata, Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam rukuk dan sujudnya mengucapkan, Subḥanakallāhumma wa bi ḥamdikallāhummaghfirlī (Mahasuci Engkau, Ya, Allah, Ya, Tuhan kami, dan dengan memuji-Mu, ampunilah aku, Ya, Allah).
HR Muslim
“Dari Khuẓaifah [diriwayatkan] ia berkata, Aku pernah shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, di dalam rukuknya, beliau membaca, Subḥāna rabbiyal a‘ẓīm” (Mahasuci Tuhanku Yang Mahaagung), dan di dalam sujudnya, Subḥāna rbbiyal-aʻla (Mahasuci Tuhanku Yang Mahatinggi).”
HR Muslim
“Dari ‘Āisyah ia berkata, Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam rukuk dan sujudnya, beliau mengucapkan, Subbūḥun quddūsun rabbul-malāikati war-rūh.”
Doa Sujud yang Sering Dibaca oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
Dari ketiga doa sujud tersebut yang sering dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Subḥānakallāhumma rabbanā wa bi ḥamdikallāhummaghfirlī. Hal itu sesuai dengan penjelasan dari ‘Āisyah sebagaimana terdapat di dalam HR al-Bukhari dan Muslim, yang transkrip dan maknanya sebagai berikut.
“Dari ‘Āisyah raḍiyallahu ‘anha [diriwayatkan bahwa] ia berkata, Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam rukuk dan sujudnya banyak membaca, Subḥanakallāhumma wa bi ḥamdikallāhummaghfirlī sebagai pemahaman al-Qurʻan.”
Oleh karena itu, sangat utama jika kita membaca doa tersebut.
Berapa kali membaca doa di dalam bersujud? Dari hadis Abū Dawud dari Abdullah Ibn Masʻūd, yang terdapat HR Abū Dawud, yang transkrip dan maknanya sebagai berikut, dapat kita ketahui berapa kali beliau membaca doa.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Apabila salah seorang di antara kamu rukuk, bacalah, Subḥana rabbiyal-‘adhīm tiga kali. Dan apabila sujud bacalah, Subḥana rabbiyal-a’la tiga kali dan itu paling sedikit (minimal).”
Dari HR Ahmad, Abū Dawud,dan an-Nasāʻī dari Anas yang transkrip dan maknanya sebagai berikut, dapat kita ketahui juga.
“Saya tidak melihat seorang pun yang shalatnya mirip dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari anak ini, yakni ‘Umar Ibn ‘Abd al-‘Azīz, maka kami memperkirakan di dalam rukuknya beliau membaca tasbih sepuluh kali dan dalam sujudnya juga sepuluh kali.” [HR Ahmad, Abū Dawud, dan an-Nasāʻī dengan sanad yang baik]
Dalam shalat munfarid (sendirian), kita tentu sangat utama jika membaca doa ketika rukuk dan sujud tidak hanya sekali, bahkan, tidak hanya tiga kali. Kita dapat merujuk pada hadis sahih yang berisi penjelasan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memanjangkan rukuk dan sujudnya ketika shalat.
Jadi, imam pun boleh memanjangkan rukuk dan sujudnya selama tidak memberatkan makmumnya. Kesempatan menemui Allah Subḥānahu wa Ta’āla melalui shalat harus kita manfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Memperbanyak Doa Saat Sujud
Sujud merupakan rukun shalat yang istimewa karena ada tuntunan memperbanyak doa di dalamnya. Petunjuk itu terdapat di dalam HR Abū Hurairah, yang maknanya sebagai berikut.
“Dari Abū Hurairah (diriwayatkan) bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Keadaan seorang hamba yang paling dekat dari Rabbnya adalah ketika dia sujud, maka perbanyaklah doa.” [HR Muslim]
Lafal sujud pada hadis tersebut adalah lafal mutlak yang tidak dibatasi dengan salah satu sujud tertentu. Oleh karena itu, hadis tersebut dapat diartikan berlaku untuk semua sujud di dalam shalat; tidak hanya saat sujud terakhir. Dengan demikian, memperbanyak doa dapat dilakukan pada setiap sujud pada waktu shalat.
Tentang membaca doa selain bacaan ketika sujud, lafal fa-akṡirū (maka perbanyaklah) di dalam hadis HR Muslim tersebut, mempunyai pengertian mengulang-ulang bacaan doa sujud, bukan menambahkan dengan bacaan yang lain.
Kita dapat mengulang bacaan Subḥanakallāhumma wa bi ḥamdikallāhummaghfirlī (doa yang sering dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) atau bacaan sujud yang lain. Kita tidak boleh membaca doa selain bacaan sujud karena dalil-dalil yang dirujuk sebagaimana telah disebutkan dan hadis berikut ini.
“Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Sesungguhnya, shalat ini tidak boleh ada di dalamnya sesuatu dari perkataan manusia. Sesungguhnya, ia adalah tasbih, takbir, dan bacaan al-Qurʻan [Ditakhrijkan oleh Muslim]
Kita tidak diperbolehkan juga mengkhususkan menambah bacaan doa sujud hanya saat sujud terakhir sehingga sujud terakhir menjadi lebih lama. Mengapa? Ada dalil yang menunjukkan bahwa lama waktu antara sujud yang satu dengan sujud yang lain di dalam shalat adalah hampir sama sebagaimana riwayat al-Baraʻ berikut ini.
“Adalah shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam rukuknya, iktidalnya, sujud-sujudnya, dan duduk di antara dua sujud itu (rentang waktunya) hampir sama.” [HR Muslim]
Hadis tersebut memberikan pentunjuk bahwa lama sujud dan rukuk shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki kisaran waktu yang sama.
Ibn Batthal di dalam kitabnya “syarḥ șaḥīḥ al-bukhāri li ibn Baṭṭal” bab, ḥad itmām ar-rukūʻ wa al-liʻtidāl fīhi ṭumaʻnīnah, menyebutkan bahwa kisaran lama sujud dan rukuknya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berbeda ketika shalat berjamaah dengan shalat munfarid (sendirian). Apabila shalat berjamaah, kisaran waktu sujud dan rukuk relatif tidak terlalu lama. Namun, apabila shalat munfarid, boleh memanjangkan rukuk dan sujud dengan mengulang-ulang bacaan rukuk dan sujud.
Dalil yang secara khusus menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memanjangkan sujud pada rakaat terakhir belum ditemukan.
Allahu aʻlam
Mohammad Fakhrudin, Warga Muhammadiyah. Tinggal di Magelang Kota
Nif’an Nazudi, Dosen al-Islam dan Kemuhammadiyahan Universitas Muhammadiyah Purworejo