Tak Cukup Air Mata Bangsa:
Untuk Buya Ahmad Syafii Maarif
Puisi Mustofa W Hasyim
Tak cukup air mata bangsa
menyiram kuburmu
kalau setahun setelah itu
langit pikiran kita
bumi kesadaran kita
mata air cinta kita
dan udara hati nurani kita
melupakanmu.
Kau telah mengembara
di tiga benua
di dalam jiwamu
benua yang sangat sempit
benua yang penuh tembok
benua rahasia yang terbuka
penuh cakrawala.
Di pelosok pulau
di kampung kecil
kau berniaga
dengan waktu
sambil menanam kata
dalam sunyi
pergaulan.
Melompati tikungan zaman
menjelajah kampus
demi kampus
mencari penyembuh gelisah
mengapa banyak yang tak beres
di banyak negeri
sampai kemudian, kau
ketemu seorang guru
yang membuang diri
di seberang lautan.
Kau meneliti banyak jejak
banyak yang buntu
di granit kepala
tanpa hati
banyak jejak berkelok
sampai di gua gelap dusta.
Ada juga jejak licin
mengarah ke kubangan
sejarah.
“Ada apa dengan manusia ini?”
gerutumu kepada diri sendiri.
Seperti Nabi Nuh
kau buat bahtera
di musim kemarau
Kau seret sendiri kapal itu
ke pantai
masuk lautan ketika badai
Tiang layar yang kokoh
kemudi dipeluk erat
dan haluan telah ditetapkan
“Aku ingin tahu
Apa yang dikehendaki Tuhan
di balik gelombang-gelombang ini.”
Sampai di sebuah negeri
ternyata penuh penyembah berhala
bersekutu dengan tukang sihir.
Degan tongkat Musa di tangan kanan
kapak Ibrahim di tangan kiri
Kau taklukkan negeri itu
saat kau istirahat di bawah pohon
Lamat-lamat terdengar suara
“Mulailah dari dirimu sendiri.”
Lho, ini sepeti suara Nabi.
Dengan kapal yang sama
dilengkapi kompas dan lampu baru
kau kembali ke tanah asal
saat lautan penuh gelombang
menutup cakrawala
Air yang menyiram geladak
kau kuras sendiri
kau kembalikan ke lautan.
Perjalanan pulang ini
terasa sangat lama
sambil mengepit kemudi
kau sempat membaca buku
yang dikirim dari langit
“Nah, ini dia kuncinya
Mudah-mudahan berguna
nanti.”
Sampai ke Tanah asal
setelah melempar jangkar
kau meloncat ke air segar
tapi seketika kau tertegun
pantai telah dipagari
dan digembok pintunya
kau buka dengan kunci
dari kitab itu.
Dia heran
mengapa rumah-rumah digembok
warung restoran pasar digembok
gedung-gedung digembok
tempat ibadah digembok
kampus dan sekolah digembok
sumur-sumur dan telaga digembok
Dan ketika berjumpa orang-orang
kau saksikan, kepala mereka digembok
mulut mereka digembbok
Tangan mereka digembok
kaki digembok, menyisakan rantai pendek
Bahkan astagaaa, pohon-pohon digembok
hewan-hewan digembok!
Astagaaa, ruang digembok
waktu digembok
keinginan digembok
rindu pun digembok!.
Hampir pingsan kau saksikan
semua ini
Sayang tongkat Musa
dan kapak Ibrahim
tertinggl di kapal.
Dari balik baju
kau buka buku dari langit
tempat bermunculanya kunci-kunci
dengan kesabaran petani dan juru kunci
satu persatu gembok itu
kau buka dengan kunci,
Ini berlangsung puluhan tahun
sampai menjelang satu abad
sampai akhirnya kau kelelahan
sambil tetap menggenggam kunci
mencari gembok terakhir
di dalam diri sendiri.
“Tuhan, aku sangat malu
ternyata di dalam diriku sendiri
dan sahabat-sahabatku
masih tersembunyi gembok
tolong panggilkan malaikat
untuk membuka gembok
yang menyebalkan ini,
aku udah sangat lelah, wahai Tuhan.”
Tuhan tersenyum,
“Wahai jiwa yang tenang dan lembut
Tugasmu di dunia telah selesai
Aku tidak pernah memberi beban
di luar dari beban yang mampu
kau pikul.”
“Jadi aku tidak bersalah wahai Tuhan?”
“Sudah cukup, tugas membuka gembok
biar diselesaikan oleh anak cucu
dan murid-muridmu.”
Mendengar itu kau tersenyum
sungguh, untuk pertama kali kusaksikan
kau tersenyum begitu indah.
Di balik kegarangan kata dan nada ucapanmu
tersembunyi kasih sayang
kepada sesama
kepada semesta.
Tidak cukup air mata bangsa
menyiram kuburmu
kalau setahun setelah itu
kami melupakanmu.
Yogyakarta, 29 Mei 2022
Mustofa W Hasyim, sastrawan, Anggota Dewan Redaksi Suara Muhammadiyah yang setiap Selasa pagi rapat dan berdiskusi dengan Buya Ahmad Syafii Maarif (Pemimpin Umum Suara Muhammadiyah) di ruang rapat redaksi Lantai 3 Gedung Grha Suara Muhammadiyah. Puisi ini mensarikan perjalanan hidup beliau dan rekaman kegelisahan beliau yang muncul dalam rapat-rapat Redaksi Suara Muhammadiyah.