Tak Cukup Air Mata Bangsa: Untuk Buya Ahmad Syafii Maarif

Tak Cukup Air Mata Bangsa: Untuk Buya Ahmad Syafii Maarif

Buya Syafii Maarif dan Mustofa W Hasyim di Mushala Suara Muhammadiyah seusai Salat Zuhur (foto: ribas)

Tak Cukup Air Mata Bangsa:

Untuk Buya Ahmad Syafii Maarif

Puisi Mustofa W Hasyim

 

Tak cukup air mata bangsa

menyiram kuburmu

kalau setahun setelah itu

langit pikiran kita

bumi kesadaran kita

mata air cinta kita

dan udara hati nurani kita

melupakanmu.

 

Kau telah mengembara

di tiga benua

di dalam jiwamu

benua yang sangat sempit

benua yang penuh tembok

benua rahasia yang terbuka

penuh cakrawala.

 

Di pelosok pulau

di kampung kecil

kau berniaga

dengan waktu

sambil menanam kata

dalam sunyi

pergaulan.

 

Melompati tikungan zaman

menjelajah kampus

demi kampus

mencari penyembuh gelisah

mengapa banyak yang tak beres

di banyak negeri

sampai kemudian, kau

ketemu seorang guru

yang membuang diri

di seberang lautan.

 

Kau meneliti banyak jejak

banyak yang buntu

di granit kepala

tanpa hati

banyak jejak berkelok

sampai di gua gelap dusta.

Ada juga jejak licin

mengarah ke kubangan

sejarah.

“Ada apa dengan manusia ini?”

gerutumu kepada diri sendiri.

 

Seperti Nabi Nuh

kau buat bahtera

di musim kemarau

Kau seret sendiri kapal itu

ke pantai

masuk lautan ketika badai

Tiang layar yang kokoh

kemudi dipeluk erat

dan haluan telah ditetapkan

“Aku ingin tahu

Apa yang dikehendaki Tuhan

di balik gelombang-gelombang ini.”

 

Sampai di sebuah negeri

ternyata penuh penyembah berhala

bersekutu dengan tukang sihir.

Degan tongkat Musa di tangan kanan

kapak Ibrahim di tangan kiri

Kau taklukkan negeri itu

saat kau istirahat di bawah pohon

Lamat-lamat terdengar suara

“Mulailah dari dirimu sendiri.”

Lho, ini sepeti suara Nabi.

 

Dengan kapal yang sama

dilengkapi kompas dan lampu baru

kau kembali ke tanah asal

saat lautan penuh gelombang

menutup cakrawala

Air yang menyiram geladak

kau kuras sendiri

kau kembalikan ke lautan.

 

Perjalanan pulang ini

terasa sangat lama

sambil mengepit kemudi

kau sempat membaca buku

yang dikirim dari langit

“Nah, ini dia kuncinya

Mudah-mudahan berguna

nanti.”

 

Sampai ke Tanah asal

setelah melempar jangkar

kau meloncat ke air segar

tapi seketika kau tertegun

pantai telah dipagari

dan digembok pintunya

kau buka dengan kunci

dari kitab itu.

 

Dia heran

mengapa rumah-rumah digembok

warung restoran pasar digembok

gedung-gedung digembok

tempat ibadah digembok

kampus dan sekolah digembok

sumur-sumur dan telaga digembok

Dan ketika berjumpa orang-orang

kau saksikan, kepala mereka digembok

mulut mereka digembbok

Tangan mereka digembok

kaki digembok, menyisakan rantai pendek

Bahkan astagaaa, pohon-pohon digembok

hewan-hewan digembok!

Astagaaa, ruang digembok

waktu digembok

keinginan digembok

rindu pun digembok!.

 

Hampir pingsan kau saksikan

semua ini

Sayang tongkat Musa

dan kapak Ibrahim

tertinggl di kapal.

 

Dari balik baju

kau buka  buku dari langit

tempat bermunculanya kunci-kunci

dengan kesabaran petani dan juru kunci

satu persatu gembok itu

kau buka dengan kunci,

 

Ini berlangsung puluhan tahun

sampai menjelang satu abad

sampai akhirnya kau kelelahan

sambil tetap menggenggam kunci

mencari gembok terakhir

di dalam diri sendiri.

 

“Tuhan, aku sangat malu

ternyata di dalam diriku sendiri

dan sahabat-sahabatku

masih tersembunyi gembok

tolong panggilkan malaikat

untuk membuka gembok

yang menyebalkan ini,

aku udah sangat lelah, wahai Tuhan.”

 

Tuhan tersenyum,

“Wahai jiwa yang tenang dan lembut

Tugasmu di dunia telah selesai

Aku tidak pernah memberi beban

di luar  dari beban yang mampu

kau pikul.”

“Jadi aku tidak bersalah wahai Tuhan?”

“Sudah cukup, tugas membuka gembok

biar diselesaikan oleh anak cucu

dan murid-muridmu.”

Mendengar itu kau tersenyum

sungguh, untuk pertama kali kusaksikan

kau tersenyum begitu indah.

 

Di balik kegarangan kata dan nada ucapanmu

tersembunyi kasih sayang

kepada sesama

kepada semesta.

 

Tidak cukup air mata bangsa

menyiram kuburmu

kalau setahun setelah itu

kami melupakanmu.

 

Yogyakarta,  29 Mei 2022

 

Mustofa W Hasyim, sastrawan, Anggota Dewan Redaksi Suara Muhammadiyah yang setiap Selasa pagi rapat dan berdiskusi dengan Buya Ahmad Syafii Maarif (Pemimpin Umum Suara Muhammadiyah) di ruang rapat redaksi Lantai 3 Gedung Grha Suara Muhammadiyah. Puisi ini mensarikan perjalanan hidup beliau dan rekaman kegelisahan beliau yang muncul dalam rapat-rapat Redaksi Suara Muhammadiyah.

 

Exit mobile version