Oleh: Mansurni Abadi
Masih ingat atau pernah menonton film berjudul The social Dillema yang berkisah tentang sisi lain dari produk yang diciptakan oleh perusahaan teknologi, sedikit banyak membuka mata kita semua tentang sisi lain dari produk yang selama ini memberikan kita keselesaan.
Di dalam dokumentari itu beberapa ahli syarikat teknologi yang diberi kedudukan tinggi ditemu ramah. Mereka semua berkisah jika apa yang mereka buat telahpun menjebak banyak manusia dalam kecanduan teknologi yang teruk.
Salah satu kebenaran yang paling menyedihkan daripada dokumentari ini adalah betapa lebih banyak syarikat teknologi mengambil berat tentang keuntungan berbanding kesihatan pengguna mereka.
Ada satu hujjah yang saya sukai dalam film ini “If you are not paying anything for a platform or a service, it means YOU ARE THE PRODUCT “ tentu sahaja dengan cara mengambil alih waktu dan perhatian kita sehingga persepsi kita pun berubah
Selepas tularnya dokumentari ini, hujjah pro dan kontra terhadap teknologi maklumat merebak,tapi disini saya tak ingin menilai apakah teknologi maklumat itu sangat negatif atau positif karena kesemuanya bergantung pada cara kita memakainya, mengambil hujjah dari yuval noah harari dalam bukunya 21 lesson for the 21st Century “ Technology isn’t bad, if you know what you want in life , technology can help you get it, but if you don’t know what you want in life, it will be all too easy for technology to shape your aims for you and take control of your life”.
Media sosial dalam jebakan dillema
Tentu sahaja dalam hal ini, Dunia sosial media sebagai salah satu produk teknologi maklumat yang hampir setiap manusia gunapakai sebagai tempat kita semua membentuk ruang-ruang publik yang alternative, juga tak lepas dari fenomena ini.
Disamping ehwal positifnya kita pun tak bisa nafikan ada sisi negative yang seringkali lebih besar daripada sisi positif utamanya berkait rapat dengan usaha untuk menghancurkan perpaduan dan kesepaduan dalam masyarakat.
Post truth sebagai jebakan baru
Keterjebakan kita akan dilemma ini mengingatkan saya dengan fenomena yang disebut dengan Istilah post-truth yang pertama kali dikenalkan oleh penulis steve tesich dalam bukunya in Nation sebagai gaya politik baru yang menggerakkan kepercayaan orang ramai karena emosinya tanpa kisah fakta sebenarnya. Biasanya, kondisi post-truth membabitkan suatu keadaan dimana fakta kurang berperan untuk menggerakkan kepercayaan umum dari pada sesuatu yang berhubungan dengan emosi dan kebanggaan tertentu.
Post truth atau pasca kebenaran sebenarnya terjadi karena Pengumpulan besar-besaran kita terhadap pengetahuan yang seringkali tidak di imbangi dengan tindakan untuk berpikir sehingga banyak hal sekarang yang kita ketahui tapi disatu sisi juga banyak ketidaktahuan akan soalan itu yang juga tidak kita kenal pasti.
Alaf digital dengan tsunami informasinya memaksa kita untuk selalunya ingin mengetahui banyak hal namun ironisnya kita terjebak pada kondisi pengetahuan yang sedikit tentang banyak perkara.
Oleh karena itu menjadi semakin sukar bagi siapa pun untuk mengetahui sama ada dia tahu apa yang dia bicarakan atau tidak. Dan ketika kita tidak tahu, atau ketika kita tidak cukup tahu, kita cenderung selalu mengganti emosi dengan pemikiran.
Hal ini menjadi wajar karena Sebelum media sosial, jumlah orang yang memutuskan apa yang diterbitkan dan apa yang tidak sangat rendah dan biasanya komited terhadap prinsip kewartawanan, kritikan sumber, dan kenyataan yang sebenarnya.Pada masa itu biasanya penyebaran maklumat ditangan orang-orang yang kebanyakan tahu apa yang mereka lakukan, namun tidak di era sosial media namun kini setiap orang awam bisa membuat versi maklumatnya sendiri dan kemudian menyebarkannya pada masyarakat.
Dalam kes covid contohnya, kita dibuat seolah-olah mengetahui banyak hal tentang covid ini tanpa sedikit pun mengambil kira apa fakta yang sebenarnya ,oleh karena itu tak sedikit orang yang kemudian menjadi degil karena merasa dirinya paling benar dan paling mengetahui begitupun hal yang sama digunapakai dalam merespon kondisi covid-19 yang kemudian menghala pada merebaknya isu-isu perkauman.
Strategi Lepas dari jebakan post truth
Lepas dari jebakan post-truth memanglah tidak mudah namun bukan berarti suatu yang mustahil, hal pertama yang perlu kita lakukan ditengah zaman tsunami informasi adalah menguatkan kemauan kita untuk merenungi setiap informasi tular yang masuk di gawai kita agar kita mampu masuk ke tahap pikiran yang lebih logik
Untuk berpikir logik ada metode bagus daripada Socrates yang disebut dialektika logik, yaitu kaedah analisis silogistik terhadap pendapat melalui aktiviti soal jawab dengan tujuan mencari pengetahuan, pemahaman dan kesedaran baru mengenai pendapat itu dari si pemberi pendapat atau maklumat .
Dalam bahasa Yunani, dialektik logik dikenali sebagai Elenchos, yang secara harfiah bermaksud penolakan. Sebenarnya, logika dialektik ini digunakan sebagai cara untuk menolak pendapat. Tetapi ini berbeza dengan berdebat atau berdebat secara umum.
Dalam dialektika logik, seorang logik hanya menanyakan soalan, melakukan analisis logik, memeriksa kontradiksi, dan apabila mendapati percanggahan maka soal jawab akan kembali di tujukan kepada si pemberi maklumat. Jadi, jika ada penolakan, maka penolakan itu dilakukan oleh pembicara itu sendiri. Pada prinsipnya, metode ini berdasarkan dua perkara:
1) Kebenaran dijumpai di setiap orang, jadi tidak perlu diajar lagi, melainkan dibantu agar kebenaran itu diungkapkan
2) jika seseorang mempunyai kepercayaan yang salah, maka pasti kepercayaannya akan bertentangan dengan dirinya sendiri
Setelah berlogik, cara lain yang harus kita lakukan adalah mengetahui tiga kondisi penting zaman post-truth yang Pertama, simulakra. Situasi dimana batas-batas antara kebenaran dan kepalsuan, realitas dan rekaan, fakta dan opini semakin kabur dan sulit untuk diidentifikasi. Realitas yang ada adalah realitas yang semu dan realitas hasil simulasi (hyper-reality) contohnya teori konspirasi tentang covid yang terlihat rumit dan meyakinkan namun jika dikaji sangat lemah basis akademisnya.
Yang Kedua, pseudo-event. Keadaan dimana sesuatu yang dibuat dan diadakan untuk membentuk citra dan opini publik, padahal itu bukan realitas sesungguhnya. Dalam istilah politik praktis di Indonesia disebut sebagai tindakan pencitraan, contoh covid adalah virus china kita patut mempetanyakan seberapa benarnya suatu virus yang tak mengenal kaum bisa melekat pada suatu kaum atau ini hanya permainan politik agar rasisme terhadap etnik china meningkat?
Dan Ketiga, pseudosophy. Adalah upaya menghasilkan suatu ‘realitas’ sosial, politik dan budaya yang sekilas nampak nyata, padahal sebenarnya adalah palsu. Masyarakat lalu dikondisikan untuk lebih percaya pada ilusi yang dihasilkan dari pada realitas yang sesungguhnya. Contoh daripada ini isu melayu terancam kita patut kemudian mempertanyakannya dengan dialektika logika seberapa terancamkah melayu di negeri yang masih memberikan banyak keistimewaan terhadap Melayu?
Mansurni Abadi, IMM Malaysia