In Memoriam Butet Bersua Buya Syafii

In Memoriam Butet Bersua Buya Syafii

BANTUL, Suara Muhammadiyanh – Sampai sekarang, semenjak kepergian tokoh bangsa yang sekaligus Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1998-2005 Prof Dr H Ahmad Syafii Maarif atau Buya Syafii pada Jumat (27/5) tahun lalu, niscaya masih menggoreskan kenangan berharga dalam kanvas kehidupan. Hal itu sebagaimana yang diutarakan oleh Budayawan Kondang asal Yogyakarta, Butet Kartaredjasa.

Menurut Butet, pertemuan dengan Buya Syafii pertama kali terjadi pada tahun 1998. Sebelumnya, dirinya mengaku belum mengetahui sosok Buya Syafii, tetapi hanya mengetahui sosok di Muhammadiyah itu Kiai Haji Abdur Rozak Fachruddin (AR Fachruddin).

“Saya ketemu Buya termasuk yang sangat terlambat. Bisa mengobrol dengan Buya baru sekitar tahun 2014. Sebelumnya momentum pertama tahu ada makhluk bernama Buya itu tahun 1998. Ketika pertama kali saya naik panggung demonstrasi. Waktu itu beliau tampil sebagai Guru Besar IKIP Yogyakarta-kini Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Itu kenangan pertama bertemu dengan Buya Syafii,” ujarnya dalam Orasi Budaya Wirid Kebangsaan: Mengenang Buya Ahmad Syafii Maarif di Kiniko Art (SaRanG Building) Kalipakis, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, Sabtu (27/5).

Butet mengatakan kedekatan dengan Buya Syafii bukan diperkenalkan dari kalangan Muhammadiyah. Bukan pula dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Akan tetapi justru diperkenalkan dari kaum minoritas.

“Yang menyebabkan saya menjadi kenal dan sangat dekat dengan Buya Syafii, itu yang memperkenalkan bukan kawan-kawan dari Muhammadiyah. Bukan kawan-kawan saya dari NU, bukan. Tapi kawan saya yang minoritasnya ganda, namanya Lib Tamajaya. Saya kenal dengan beliau sudah lama. Sejak saat itu saya tahu Tamajaya sangat dekat dengan Buya. Energi hidup dan seluruh kreativitasnya sumber apinya dari Buya Syafii,” turunya.

Butet ketika bertamu ke rumah Buya Syafii, dirinya dibuat terperanjat bukan kepalang. Melihat kesederhanan yang dipancarkan oleh Buya Syafii. Yaitu sikap toleran kepada para tetangga. Tidak membeda-bedakan agama, suku bangsa, bahasa, ras, maupun golongan. Selain itu, Butet menuturkan kenangan dengan Buya Syafii, yaitu menyantap makanan kesukannya berupa Tengkleng.

“Sejak saat itu, saya selalu memanfaatkan kesempatan dengan sebaik-baiknya (bertemu dengan Buya Syafii). Itulah kenangan-kenangan istimewa saya dengan Buya Syafii,” katanya. (Jati/Cris)

Exit mobile version