Oleh: Donny Syofyan
Salah satu masalah dalam pemikiran manusia adalah adanya kutub ekstremisme. Terkait keberadaan Tuhan, ada kutub ekstrem yang menganggap Tuhan begitu jauh, tidak dapat digapai. Di sisi ekstrem lainnya, ada orang-orang yang berpikir bahwa Tuhan ada di bumi. Mereka mencoba membayangkan Tuhan seperti manusia yang berjalan di bumi, bahkan sebagai binatang. Islam hadir untuk menjembatani dua kutub ekstrem tersebut dengan menawarkan keseimbangan di antaranya.
Bila kita mengambil kubu ekstrem pertama, maka ini tak ubahnya seperti para deist di Abad Pertengahan yang berpikir bahwa Tuhan begitu transenden. Tuhan adalah sesuatu yang liyan, seolah-olah Dia menciptakan dunia layaknya pencipta jam. Begitu usai dibuat, jam akan bekerja sesuai dengan tata kerja yang didisain oleh pembuat jam. Artinya, Tuhan menciptakan alam semesta yang isinya bergerak dan berfungsi sesuai dengan hukum fisika. Tuhan tidak lagi terlibat lebih lanjut di alam ini. Karenanya, Anda tidak perlu repot-repot berdoa kepada Tuhan karena Dia tidak akan mengubah apa pun di dunia untuk Anda. Konsekuesinya, manusia mulai berpikir jangan-jangan Tuhan tidak ada. Kalaupun ada, Dia tidak ada hubungannya dengan dunia, tidak peduli dengan dunia.
Di sisi ekstrem lain, ada yang percaya bahwa Tuhan seperti manusia, binatang atau semacamnya, atau salah satu makhluk. Jelas ini membatasi Tuhan. Ini berarti bahwa Tuhan ada di sini tetapi tidak ada di sana dan konsepsi semua orang tentang Tuhan akan berbeda. Jadi Tuhan disembah seperti manusia oleh sekelompok manusia. Ini tak ayal membuka pintu pertengkaran; Tuhan mana yang lebih besar? Bagaimanapun, konsep-konsep ini menunjukkan bahwa Tuhan terbatas dan mengundang banyak pertanyaan lain; apakah Tuhan ada di sini dan berjalan di bumi? Jika demikian, siapa yang merawat Mars dan Jupiter atau yang menjaga Galaksi Bima Sakti, seluruh kosmos? Bagaimana bisa ‘Tuhan’ yang berjalan di bumi Palestina 2000 tahun yang lalu bertanggung jawab atas penciptaan seluruh kosmos dan pada saat yang sama memerintah dan mengawasi seluruh kosmos saat Dia tidur di atas kapal di sini? Pertanyaan-pertanyaan sejenis ini akan terus bermunculan.
Tetapi jika kita memahami Tuhan dalam posisi yang seimbang bahwa Dia selalu bersama kita, di mana pun kita berada, maka ini menyingkirkan semua masalah tersebut. Jadi bagaimana Al-Quran kemudian menyelesaikan masalah ini? Al-Quran menunjukkan kepada kita di satu sisi bahwa Tuhan itu transenden, tapi di sisi lain Tuhan ada di sini bersama kita. Surah Al A`la ayat 1 menegaskan, “Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi.” Ayat ini menegaskan bahwa Allah itu transenden. Ada juga ayat Al-Quran yang menunjukkan bahwa Allah ada di langit, misal surah Al Mulk ayat 16, “Sudah merasa amankah kamu, bahwa Dia yang di langit tidak akan membuat kamu ditelan bumi ketika tiba-tiba ia terguncang?”
Pada saat yang sama, Al-Quran menunjukkan bahwa Tuhan meliputi segalanya, sebagai misal pada surah An Nisa ayat 126, “….dan Allah meliputi segala sesuatu.” Lalu pada surah Al Baqarah ayat 186, “Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat.” Jadi sejak awal kita bertanya,”Di mana Tuhan?” maka jawabannya bahwa Tuhan sudah ada di sini, hadir dan dekat bersama kita. Di ayat lain, surah Qaf ayat 16 Allah menegaskan, “Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” Untuk menyimpulkan ini semua, kita juga bisa baca surah Al-Anfal ayat 24 bahwa “…..Allah melayang di antara manusia dan hati manusia itu.” Jadi itu berarti bahwa Tuhan sangat dekat dengan kita, dapat diakses, bisa diraih. Demikian pula banyak hadits memberi kesan yang sama. Di satu sisi, Tuhan ada di langit dan di sisi lain Tuhan sangat dekat dengan kita. Jadi Allah mendengarkan doa kita. Dia merespons saat kita memohon kepada-Nya. Dia mengabulkan pinta kita dan sebagainya. Jadi ini adalah keseimbangan antara kedua ekstrem.
Bagaimana keseimbangan ini membantu kita lewat Al-Quran dan Hadits? Ini menjadikan Muslim meyakini dan mengetahui bahwa Allah ada bersama kita, bahkan di saat-saat kita berada dalam kesulitan kita, di mana pun kita berada, di mana pun kita terjebak, Tuhan ada bersama kita. Jika seorang penambang terjebak di di suatu tempat di daerah pertambangan, Tuhan ada bersamanya dan Dia akan mengeluarkannya dari kesulitannya dengan cara apapun. Tuhan akan menggunakan cara dan membawa bantuan dari mana pun itu, bahkan lewat bantuan manusia. Dia adalah Tuhan yang selalu bersama kita, mengawasi semuanya dan membawa hasil yang terbaik.
Gagasan bahwa Tuhan ada bersama kita di mana pun juga membantu kita untuk menghindari dosa karena kita tahu bahwa kita dapat bersembunyi dari manusia dan CCTV tetapi kita tidak dapat bersembunyi dari Tuhan. Ini dinamakan muraqabah—selalu merasa diawasi oleh Allah SWT. Manusia memiliki sifat tidak suka diamati saat berbuat salah. Ketika kita tahu bahwa Tuhan mengamati kita, di mana pun kita berada, bahkan di balik pintu yang terkunci, itu akan membantu kita untuk menjauh dari dosa. Tak kalah pentingnya bahwa mengimani bahwa Allah Mahahadir berarti setiap Muslim dapat pergi ke mana pun di dunia karena Tuhan ada di sana. Terlepas apakah kita berada di Kutub Utara atau kita pergi ke Antartika, dua kawasan yang sangat dingin. Mungkin kita tidak ingin tinggal di sana, tetapi jika kebetulan kita tinggal di sana, maka kita yakin bahwa kita tidak jauh dari Tuhan dan Tuhan juga ada bersama kita. Wallâhu a`lam.
Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas