Allah Maha Pengampun

Allah Maha Pengampun

Oleh: Donny Syofyan

Fakta bahwa Allah Maha Pengampun adalah salah kebahagiaan kita menjadi seorang Muslim. Pertama, di satu sisi ini membebaskan kita dari keputusasaan. Kita tidak harus dibebani dengan dosa dan pikiran, “Aku telah berbuat dosa, apa yang akan aku lakukan sekarang?” Kedua, itu membantu kita untuk memaafkan orang lain karena kita tahu bahwa Allah memaafkan kita dan kita menginginkan ampunan-Nya. Karena itu, kita juga ingin memaafkan orang lain.

Ketiga, ini berarti bahwa kita tidak harus takut menghadapi dunia dan melakukan apapun. Kita tidak harus mengundurkan diri dari pergaulan dengan menjadi pertapa. Para pertapa tidak ingin melihat dan melakukan kejahatan. Dengan keimanan bahwa Allah memaafkan dan berbelas kasih kepada hamba-Nya, kita dapat berjalan di muka bumi dan melakukan hal-hal dengan risikonya. Ya, kita jatuh ke dalam dosa, tetapi kita sadar bahwa kita selalu dapat kembali kepada Allah dan mendapatkan ampunan-Nya. Keempat, ada keyakinan di agama lain bahwa seseorang harus mati untuk dosa-dosa kita. Dan gagasan itu penuh dengan kompleksitas tersendiri. Kita akan merasa bersalah karena dosa-dosa kita telah menyebabkan kematian orang yang tidak bersalah.

Mari kita telaah persoalan tersebut secara lebih luas. Kita mengetahui adanya keyakinan tertentu bahwa ada seseorang yang harus mati karena dosa-dosa kita. Gagasan keyakinan ini membutuhkan seseorang yang suci, tidak bersalah, melebihi kapasitas atau karakteristik seorang manusia, sebab manusia pada dasarnya rentan terhadap kesalahan. Kita juga mengenal adanya sistem keyakinan lain bahwa ada dewa kebaikan dan dewa kejahatan. Bagi Muslim, ini tentu membingungkan, misalnya dengan pertanyaan “Dewa yang mana yang saya akan sembah dan bahagiakan hari ini?” Dalam sistem pemikiran Islam, hanya ada satu Tuhan—Allah SWT. Tuhan yang esa itu maha memaafkan dan menaruh belas kasih. Ia adalah pencipta kita. Ia mengetahui semua kelemahan kita, kecenderungan kita terhadap kejahatan, dan sebagainya. Allah berkenan mengampuni kita yang berdosa, memaafkan kita ketika kita tergelincir dan jatuh.

Bagaimana Al-Quran menggambarkan Allah? Al-Quran menggambarkan Allah sebagai “Ra’ûf” atau “Rahîm—“Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia,” QS Al Baqarah 143). “Ra’ûf ” bermakna Ia lembut dan berbelas kasih terhadap umat manusia. Jadi kita tahu Allah akan berbelas kasih kepada kita. Kita bisa membaca surah Al Buruj ayat 14, “Dialah Yang Maha Pengampun (al-ghafûr)) lagi Maha Pengasih (al-wadûd).” Jadi Tuhan itu mencintai dan baik kepada kita. Dan dalam surat Az Zumar ayat 53 Allah menyapa langsung para pendosa, “…..”Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Oleh karena itu, kita percaya penuh bahwa ketika kita kembali kepada Allah dengan bertobat, Allah akan mengampuni dosa-dosa kita, kekurangan kita, kesalahan kita, dan kelalaian kita.

Tentu sebagai Muslim kita bahagia dan bersyukur dengan kenyataan bahwa Allah telah menjadikan kita Muslim. Sekarang, apa bedanya keyakinan Islam dengan keyakinan lain di dunia? Pertama, ini membebaskan kita dari keputusasaan. Kita tahu bahwa Allah memaafkan hamba-Nya. Jadi kita tidak terlalu terbebani oleh perasaan akan dosa. Kita tidak dapat mengubah jam sejarah. Kita tidak dapat membalikkan waktu, tetapi kita dapat kembali kepada Allah dan memohon ampunan-Nya.

Kedua, kita tahu bahwa karena Tuhan mengampuni dan dalam sifat-Nya untuk mengampuni, kita ingin menjadi hamba Tuhan untuk memaafkan orang lain juga. Ini membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik karena orang-orang saling memaafkan. Ini tak terlepas dari pengetahun dan keimanan kita bahwa Tuhan memaafkan dan berbelas kasih.

Ketiga, kita bisa berbuat sesuatu bagi masyarakat di dunia. Kita dapat membuat perubahan positif di dunia. Kita bisa berinteraksi dengan orang-orang. Benar bahwa kita pasti tergelincir berbuat dosa. Bahkan tanpa sengaja kita memasuki ranah dosa. Namun keimanan ini juga mendorong kita menghindari dosa sebaik mungkin. Tetapi pada saat yang sama, kita diperkuat oleh keyakinan bahwa jika kita jatuh ke dalam kesalahan, kita dapat kembali kepada Allah yang memaafkan dan berbelas kasih.

Akhirnya, kita tidak harus memiliki keyakinan bahwa seseorang yang tidak bersalah harus mati karena dosa-dosa kita. Terus terang bahwa sistem keyakinan seperti ini akan membebani kita berupa rasa bersalah bahwa dosa-dosa kita telah menyebabkan kematian orang yang tidak bersalah, siapa pun dia dan apa pun alasannya.

Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Exit mobile version