Sunnah dan Ilmu-Ilmu Islam (Bagian ke-1)

Sunnah dan Ilmu-Ilmu Islam (Bagian ke-1)

Oleh: Donny Syofyan

Gerakan yang menamakan dirinya Ahlul Quran bermula di India akhir abad ke-18 dan menguat di Mesir pada awal abad ke-20. Ia tak hanya dijumpai di Pakistan, Turki tapi juga di negara-negara Barat. Salah satu alasan munculnya gerakan a Ahlul Quran ini karena kekecewaan sementara Muslim dengan bagaimana ajaran Islam itu disampaikan kepada mereka, terutama bagaimana mereka melihat ulama-ulama tradisional. Mereka menganggap Islam tak sesuai dengan tuntutan kehidupan modern, tidak sesuai dengan nilai-nilai sejati dari Al-Quran atau ajaran Nabi Muhammad. Ada juga faktor kelas. Bila dilihat di kawasan Asteng, kebanyakan ulama berasal dari kalangan bawah. Di India, orang-orang yang menegakkan gerakan Ahlul Quran justru dekat dengan penjajah Inggris. Mereka terdidik dan kaum elit. Kelompok ini hendak membebaskan Islam dari ulama dan tradisionalisme dan selaras dengan nilai-nilai Barat yang menginspirasi mereka.

Hal yang sama juga terjadi di Amerika. Muslim di sana adalah kalangan menengah atas bahkan kalangan atas. Mereka mewakili kalangan profesional. Mereka terdidik alias memandang penting pendidikan. Begitu mereka melihat para ulama dari negara-negara asal mereka, yang tergambar adalah keterbelakangan, kekolotan. Pendekatan ulama ini dalam mendakwahkan Islam juga dipersepsi kolot dan ketinggalan. Mereka percaya bahwa Muslim harus melepaskan diri dari ulama yang sibuk menyampaikan ilmu-ilmu Islam tradisional. Bagi mereka, kita harus memahami Quran secara langsung sebagai orang-orang yang terpengaruh nilai-nilai modern ala Barat. Suka tidak suka, sentimen dan motivasi ini relatif banyak menghinggapi kalangan Muslim yang ada di Barat.

Bagaimana Al-Quran berbicara kepada kita? Ketika Nabi hidup, Al-Quran berbicara kepada beliau dan sahabat secara langsung dalam konteks yang mereka pahami. Seperti hanya guru yang berbicara kepada muridnya tentang hal-hal mutakhir. Al-Quran berbicara kepada manusia dengan berbagai level. Ia bisa berbicara secara universal, menyampaikan deklarasi universal, misal tentang sifat Tuhan. Keesaan Tuhan tidak berubah ketika mobil diciptakan, dalam keadaan damai atau dalam suasana peperangan. Keadilan, kuasa menciptakan bahkan kasih sayang Tuhan tidak berubah.

Al-Quran memberikan kita moralitas universal. Dalam surah al-Nahl 90: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. Ini adalah anjuran universal, abadi dan selalu bisa diterapkan kepada manusia di mana pun dan kapan pun. Tapi cara penerapannya bisa berbeda-beda. Apa yang dimaksud dengan keadilan atau kebaikan hari ini di Indonesia? Bagaimana keadilan dan kebaikan dipahami ketika seseorang meminta uang kepada saya? Apakah saya kasih atau tidak? Apakah kalau langsung dikasih tidak menyakitinya? Apakah ada cara lain yang membuatnya lebih terhormat? Larangan Tuhan juga bersifat universal, seperti jangan dekati zina. Begitu juga perintah tidak mengonsumsi minuman keras. Awalnya Al-Quran menjelaskan ada manfaat dan mudarat tapi mudaratnya mengalahkan manfaatnya, terlepas saya menetao di Jakarta, Sydney atau Moskow.

Ada pesan Al-Quran yang khusus kepada Muhammad, tapi pesan peristiwa ini menggema kepada semua kaum Muslimin, seperti surah Adh-Dhuha. Terkadang Al-Quran berkomunikasi dengan kita lewat perumpamaan. Dalam Al-Kahfi ayat 32-45, Allah mengisahkan dua orang tukang kebun. Satu sangat kaya, yang satunya kebunnya lebih kecil. Yang kaya mengatakan, مَآ أَظُنُّ أَن تَبِيدَ هَـٰذِهِۦۤ أَبَدً۬ا (Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, ayat 35). Ucapan tukang kebun yang kaya raya ini menunjukkan kesombongan. Sementara tukang kebun yang satu lagi berkata, “Kenapa engkau tidak mengucapkan مَا شَآءَ ٱللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِٱللَّهِ‌ۚ, ayat 39. Lengkapnya 39-40. Jadi kita punya teladan lewat perumpamaan. Bagaimana kita memandang kekayaan atau kesuksesan awal? Kita perlu paham bahwa status kita di dunia ini sepenuhnya tergantung kepada Allah. Dengan demikian kita mampu mengapresiasi apa yang kita miliki.

Kita bisa membaca surat Al-Lahab. “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa dia!” Surah ini tak bisa berdialog atau berbicara kecuali dengan atau tentang Abu Lahab. Saya belum pernah seumur hidup bertemu seseorang bernama Abu Lahab. Kalau pun ada surah ini berbicara secara spesifik tentang Abu Lahab dan istrinya. Ada beberapa surah yang terkunci dalam sejarah. Lewat surah ini, kita tahu siapa Abu Lahab, apa yang diperbuatnya, kenapa ia gagal melewati ujian. Tapi ia tak bisa berbicara tentang orang lain sebagai aturan bahkan prediksi.

Ada surah yang merupakan perintah Allah kepada Nabi Muhammad tapi kita bisa memahaminya sebagai perintah. Ada ayat-ayat tertentu yang tricky bagi banyak ulama sebab mereka mencoba memahaminya secara konstan seiring dengan perjalanan waktu dan perubahan yang berlangsung. Berapa banyak surah atau ayat yang khusus dalam konteks tertentu ketika diwahyukan dan berapa banyak yang bersifat universal? Dalam surat At Taubah ayat 5, Allah berfirman, “فَاِذَا انْسَلَخَ الْاَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُّمُوْهُمْ (Apabila telah habis bulan-bulan haram, maka perangilah orang-orang musyrik di mana saja kamu temui). Apakah ayat ini sebagai perintah bagi kaum Muslimin untuk memerangi orang kafir di mana pun ditemui? Ataukah ayat ini bisa dipahami dalam sudut pandang dan konteks 29 ayat pertama surat At Taubah?

Kita memohon petunjuk kepada Allah lewat membaca, memahami dan menerapkan pesan Al-Quran. Tapi bagaimana kita beroleh petunjuk sebab Al-Quran itu terikat dengan kehidupan Nabi Muhammad SAW? Mustahil membaca Al-Quran tanpa teladan atau preseden hidup yang dicontohkan Nabi di depan mata kepala sendiri. Hal ini sangat dipahami oleh para ulama di awal-awal penyebaran Islam pasca kenabian. Mereka betul-betul diberkahi dengan kebijaksanaan, kepintaran dan ketajaman luar biasa. Ulama semisal Ayyub Al-Sakhtiyani mengatakan, “al-kitâb ahwaju ilâ al-sunnah minal-sunnah ilâ al-kitâb” (Al-Quran membutuhkan sunnah dibandingkan atau melebihi sunnah memerlukan Al-Quran). Atau Yahya bin Abi Katsir dan Azzuhri bahwa sunnah datang ‘mengatur’ Al-Quran, bukan sebaliknya Al-Quran ‘mengatur’ sunnah. Apa yang mereka maksud? Artinya kita harus memahami Al-Quran lewat sunnah.

Al-Quran menyuruh kita untuk shalat, tapi tidak menjelaskan kapan, di mana dan berapa kali shalat dilakukan. Petunjuk Nabi lah yang menjelaskannya bagaimana shalat, di mana shalat. Al-Quran menyatakan darah dan bangkai tak boleh di makan. Tapi hadits lah yang menguraikan bahwa ini tidak berlaku bagi binatang yang ditemukan di lautan, seperti ikan, seperti kisah sahabat (Sariyah Abu Ubaidah) yang memakan bangkai ikan paus yang terdampar di pantai. Nabi pun membolehkan bahkan Rasulullah meminta sebagian daging paus kering itu untuk dimakan bersama-sama. Hal ini menjadi dasar bagi halalnya bangkai ikan hingga hari ini. Sunnah ini menjelaskan dan menegaskan Al-Quran lebih luas dan detail.

Seorang ulama Al-Azhar berkata sunnah itu adalah تطبيق معصوم كتاب الله (penerapan sempurna dari Kitabullah). Saya teringat dengan pernyataan James Madison, seorang penulis utama konsitusi Amerika Serikat, yang menyatakan bawa konstitusi ini tidak berarti apa-apa hingga ia diperdebatkan, didiskusikan dan diterapkan. Hukum sebagai gagasan, buku atau kertas tak berarti apa-apa hingga ia diterapkan. Dan hukum juga butuh panduan. Seperti itulah fungsi sunnah menjelaskan Al-Quran.

Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Exit mobile version