Oleh: Donny Syofyan
Kita tentu membutuhkan sunnah Rasulullah. Pertanyaannya, sunnah yang mana? Bagaimana kita mengerti sunnah tersebut. Katakanlah ada pertanyaan, buku apa yang kita baca untuk menunaikan shalat? Apakah kita membaca buku petunjuk untuk shalat atau justru orang tua yang mengajarkan kita bagaimana shalat? Kalau Anda seorang mualaf, tentu Anda belajar tata cara shalat lewat buku sebab orang tua Anda bukan Muslim. Kebanyakan orang belajar shalat dari orang tuanya. Orang tua kita juga belajar shalat dari orang tuanya. Ketika saya katakan kita butuh sunnah Nabi untuk shalat, bisa saja ada yang menyatakan, “Saya tak butuh sunnah sebab saya punya orang tua yang mengajarkan saya.” Tapi tradisi ini adalah manifestasi dari sunnah Rasulullah.
Ada hal lain yang sebetulnya kurang krusial tapi tercermin dalam tradisi kaum Muslimin. Dalam hukum Islam, jika seseorang anak membunuh bapaknya karena mengincar warisan, apakah ia akan beroleh warisan dari bapak yang telah dibunuhnya? Dalam Al-Quran ditegaskan seorang anak beroleh warisan dari orang tuanya secara otomatis. Lalu apakah ia akan beroleh warisan dari bapak yang dihabisinya? Di sinilah ulama sepakat sang anak tak beroleh warisan berdasarkan hadits nabi yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi bahwa “al-qâtilu lâ yaritsu” (seorang pembunuh tidak mewarisi).
Ketika orang-orang mulai terpisah-pisah dan menyebar ke seluruh dunia, mereka mulai berbeda pandangan. Tradisi dan kebiasaan mulai dipengaruhi oleh tanah air baru, orang baru, bahasa baru, makanan baru bahkan apapun yang sama sekali baru. Tradisi yang hidup di kalangan Muslim boleh jadi bermanfaat untuk menjaga bagaimana kita shalat tapi jauh lebih penting untuk merujuk secara langsung kepada sunnah. Secara lebih rinci, ini mengharuskan kita untuk memahami hukum Islam. Dalam persoalan muamalah seperti jual beli, kebutuhan syariah ini menjadi keniscayaan. Bila ada orang yang bersengketa tentang harga suatu barang yang dijual atau kontrak jual beli, bagaimana kita mengatasinya? Jawabannya tak bisa ditemukan dalam tradisi tapi pada sunnah, yang diterapkan secara langsung oleh generasi-generasi awal kaum Muslimin (salâfus shâlih) dan dicatat oleh orang-orang semisal Bukhari, Muslim, Malik bin Anas, Ahmad bin Hanbal, at-Thahawi dan lain-lain.
Persoalan mendasar yang dipahami oleh kaum Muslimin bahwa banyak hadits yang tidak bisa dipercaya dan palsu. Dalam sejarah Islam bahkan hingga kini banyak dijumpai jika seseorang punya agenda politik dan agama tertentu, ia tak suka mengenakan model pakaian tertentu, ia tak suka makanan tertentu, ia benci dengan orang-orang yang berasal dari kota tertentu, ia ingin kontrak ditandatangani dengan cara-cara tertentu, maka tak ada cara yang lebih baik melainkan memalsukan hadits, merekayasa hadits yang seakan-akan keluar dari mulut atau terbit dari lisan Rasulullah.
Munculnya metode kritik hadits (naqdul hadîts) yang diciptakan ulama dan diterapkan pada kitab-kitab hadits seperti Bukhari-Muslim karena para ulama sangat paham betapa banyaknya hadits yang palsu (al maudhu`, الموضوع). Seorang ulama hadits bernama Syu`ba bin Hajjaj (شُعْبَة بِن الحَجَّاْج) pernah mengakatakan tiga perempat dari hadits yang saya temukan palsu. Dia tiga generasi sebelum Bukhari-Muslim.
Lagi-lagi pertanyaannya, sunnah yang mana yang kita perlu ikuti? Kaum ingkar sunnah menjawab bahwa kuncinya adalah kita kembali sepenuhnya kepada Al-Quran dan tinggalkan hadits sebab banyak yang palsu. Seorang tokoh pendiri Ahlul Quran di Punjab, India di era kolonial Inggris bernama Abdullah Chakralawi berkata kita tak perlu shalat lima kali sehari sebab Al-Quran tak menyebut shalat lima kali sehari. Bila ini berlaku, maka tentu kita harus meninggalkan shalat lima kali sehari, bagaimana berpuasa di bulan Ramadhan, atau meninggalkan wudhu’. Begitu kita melakukannya, maka berarti kita meninggalkan dînul Islam.
Tidak ada kelompok, firqah, madzhab atau sekte dalam Islam—Sunni dan Syiah, termasuk Syiah Ismailiyah—yang berpendapat bahwa cukuplah Al-Quran dibaca sendiri tanpa lewat sunnah. Hanya saja mereka berbeda pendapat sunnah mana yang harus dijalani atau diikuti. Kalau Anda pengikut Hanbali, titik sentralnya adalah hadits. Bila Anda bermadzhab Hanafi, Anda memandang penting analogi (qiyâs). Kalau Anda Syiah, maka sunnah itu ditransmisikan lewat 12 imam. Semua kelompok itu satu pemikiran bahwa Al-Quran tak bisa dibaca secara sendiri, terpisah dari sunnah.
Ada sebuah terjemahan Qur’an yang ditulis oleh Edip Yüksel, seorang ilmuwan Turki yang berdomisili di Arizona, berjudul Quran: A Reformist Translation. Ia mengatakan bahwa karyanya tersebut adalah yang pertama dan satu-satunya terjemahan Al-Quran dari Al-Quran. Ia tidak berdasarkan hadits dan tidak juga tradisi. Ia menerjemahkan pesan dan kebijaksanaan Al-Quran berdasarkan Al-Quran semata. Ia menulis bahwa untuk memahami suatu dalam Al-Quran maka cukup lihat penggunaan kata terebut di tempat lain dalam Al-Quran. Jadi bila saya tidak paham apa arti kata tertentu dalam satu ayat, maka saya coba melihat ayat-ayat lain di mana kata itu muncul.
Pernyataannya terlalu objektif dan jujur tapi sayangnya ia tak mampu menjawab semua persoalan. Ketika ditanya apa pengertian ‘kautsar’, ia menjawab tidak tahu sebab tak ada penjelasannya dalam Qur’an. Ia juga tak mampu menjawab pertanyaan tentang konsep zhihar. Al Quran mengatakan, الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ (Orang-orang di antara kamu yang menzihar istrinya, (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) istri mereka itu bukanlah ibunya) [QS Al Mujadilah: 2]. Kata zhihar tak masuk akal dipahami bila hanya mengandalkan tata bahasa Arab. Ketika seorang suami menyubutnya istri zhihar, maka untuk mendapatkan istrinya kembali adalah dengan cara membebaskan budak. Kalau kita melihat pengertian zhihar dalam kamus bahasa Arab (zhahara-yuzhahiru-sayuzhahiru), maka artinya adalah memberikan bantuan kepada seseorang.
Yüksel menjelaskan untuk memahami kata zhihar, ia menoleh ke kamus bahasa Arab. Salah satu definisinya adalah ‘engkau seperti punggung ibuku.’ Ia bersikeras bahwa ia tak melihat dan membaca hadits tapi hanya kamus bahasa Arab. Yang dilupakan oleh Yüksel adalah dari mana asal usul kamus bahasa Arab? Jawabannya adalah dari kamus bahasa Arab yang lebih awal. Yang lebih awal berasal dari yang paling awal, yakni Kitab al-‘Ayn (كتاب العين) oleh Al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidi. Atau yang berasal dari tulisan-tulisan Muslim pengembara yang mengumpulkan atau mengoleksi kata-kata dari masyarakat Badui atau puisi-puisi dari masyarakat Arab. Baik dalam kamus maupun karya-karya mereka ditemukan kata zhihar.
Siapakah yang mentransmisikan makna kata zhihar kepada kolektor kamus bahasa Arab awal atau ilmuwan bahasa Arab awal? Jawabannya adalah orang yang sama yang mentransmisikan dan mencatat hadits kepada orang-orang seperti Bukhari dan Muslim.
Donny Syofyan, Dosen Fakultas Budaya Universitas Andalas