Sewa Rahim Perspektif Bioetika dan Hukum Islam
Oleh: Lukiana Dewi Saputri
Apa Surrogate Mother?
Teknologi kedokteran telah menemukan solusi bagi pasangan yang sedang berjuang untuk memiliki keturunan misalnya dengan pembuahan di luar rahim yang sering disebut dengan teknologi In Vitro Fertilization. In Vitro Fertilization (IVF) adalah penyatuan/pembuahan benih laki-laki dan benih perempuan dalam cawan petri (di laboratorium), yang mana setelah terjadinya penyatuan tersebut (zigot) akan ditanamkan kembali di rahim perempuan yang mempunyai benih tersebut.
Namun ada pula yang ditanamkan pada rahim perempuan lain yang sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan sumber benih. Hal ini disebut dengan surrogate mother (ibu pengganti) dan dilakukan melalui perjanjian sewa. Surrogate mother atau biasa dikenal “sewa rahim” merupakan seorang wanita yang mengadakan perjanjian kehamilan (gestational agreement) dengan suami istri di mana wanita tersebut bersedia untuk hamil dari benih pasangan yang tidak subur dengan imbalan tertentu.
Dalam prakteknya, ada dua jenis surrogacy yaitu : 1) Sewa rahim semata (gestational surrogacy). Embrio yang biasanya berasal dari sperma suami dan sel telur istri yang disatukan melalui teknologi IVF, ditanamkan ke dalam rahim perempuan yang disewa. 2) Sewa rahim dengan keikutsertaan sel telur (genetic surrogacy). Sel telur yang berperan dalam pembentukan embrio adalah sel telur milik perempuan yang rahimnya disewa, sedangkan sel sperma adalah milik suami penyewa. Meskipun perempuan pemilik rahim itu juga pemilik sel telur, tetapi dia tetap harus menyerahkan anak yang dikandung dan dilahirkannya kepada pasangan suami istri yang menyewa.
Sebab, secara hukum jika sudah ada perjanjian dia bukanlah ibu dari bayi tersebut. Pertemuan sel sperma dan sel telur pada tipe kedua dapat terjadi melalui inseminasi buatan atau melalui persetubuhan antara suami dengan perempuan pemilik sel telur yang rahimnya disewa. Adapun bentuk-bentuk penyewaan rahim diantaranya 1) Benih istri (sel telur) dengan benih suami (sperma) yang akan dibuahi dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Cara ini digunakan apabila isteri memiliki benih yang baik tetapi rahimnya telah diangkat karena operasi, cacat permanen, akibat penyakit kronis atau sebab lainnya.
2) Seperti bentuk pertama, kecuali setelah kematian pasangan. Benih yang telah dibuahi dibekukan dan dimasukkan ke dalam rahim ibu pengganti. 3) Sel telur istri dibuahi dengan sperma laki laki lain (bukan suaminya) dan dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Keadaan ini terjadi apabila suami mandul dan istri mengalami kecacatan pada rahim, tetapi sel telur istri dalam keadaan baik.
4) Sperma suami dibuahi dengan sel telur wanita lain dan dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Keadaan ini terjadi apabila istri menderita penyakit pada ovarium dan rahimnya tidak dapat melakukan kehamilan, atau istri telah mencapai tahap menopause. Sperma suami dan sel telur wanita disenyawakan, kemudian dimasukkan ke rahim wanita lain dari suami yang sama (Selian M.A.H., 2017).
Surrogate mother atau ibu pengganti ini menjadi kontrovesi dari sudut pandang etika dan agama. Karena prosesnya tidak melalui hubungan seks tetapi menanamkannya pada orang yang tidak ada hubungan perkawinan. Di Indonesia, praktik surrogate mother memang belum resmi dilakukan. Namun dalam praktiknya, banyak perilaku yang mengarah pada hal ini. Dapat dilihat dari ditemukannya perempuan muda yang berasal dari Indonesia yang bersedia menjadi ibu pengganti. Di Papua, praktik sewa rahim ini pernah terjadi tetapi tidak dipermasalahkan karena dilakukan dalam lingkup keluarga.
Surrogate Mother Perspektif Bioetika dan Hukum Islam
Dari perspektif bioetika yang mengacu pada 4 prinsip moral utama, yaitu otonomi (the rights to self determination), tindakan berbuat baik pada pasien (beneficience), larangan berbuat buruk pada pasien (non maleficence) dan keadilan (justice). Prinsip moral tersebut memberikan pandangan yang memuat dasar etika dan dijadikan landasan dalam etika profesi kedokteran. Dalam pandangan ini, praktik surrogate mother secara etika dan moral tetap dilarang di sebagian besar negara. Karena bertentangan dengan kodrat manusia sebagai makhluk yang memiliki kala dan nilai dibandingkan dengan mahluk lainnya. Selain itu, surrogate mother tidak sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan, bahkan dalam European Centre for Law and Justice tahun 2012 menyatakan bahwa “Surrogate motherhood: A Violation of Human Right”, dan yang paling rentan dari praktik ini adalah adanya orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Menurut European Centre for Law and Justice pada tahun 2012, praktik surrogacy merupakan ekploitasi terhadap anak dan perempuan. Karena dapat merendahkan martabat anak dan perempuan dengan menjadikan mereka sebagai objek kontrak dan komoditas. Tujuan surrogacy bukanlah menguntungkan anak, tetapi untuk memenuhi keinginan orang dewasa. Selain itu, praktik ini dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab sebagai kamuflase untuk human trafficking yaitu sengaja mengambil perempuan muda untuk dijadikan ibu pengganti dengan bayaran yang tidak seberapa. Sedangkan bayaran orang tua pembawa benih justru lebih tinggi dari yang diberikan kepada ibu pengganti. Bisnis ini dimanfaatkan oleh sekelompok orang tidak bertanggung jawab untuk mengekplotasi wanita.
Praktik surrogacy ini juga dapat menimbulkan banyak masalah, seperti kesulitan dalam menetapkan orang tua dan kewarganegaraan anak. Masalahnya adalah jika kesehatan atau kehidupan ibu pengganti dalam bahaya selama kehamilan, jika ibu pengganti berubah pikiran dan ingin mengambil anak, atau jika anak lahir dengan cacat dan orang tua kandung tidak mau menerimanya, dapatkah ibu pengganti dimintai pertanggungjawaban atas aborsi jika ditemukan cacat selama kehamilan?.
Belum lagi masalah ketika surrogacy dilakukan oleh orang tua tunggal yang mengambil sperma atau sel telur dari pendonor. Masalah lain akan muncul jika pendonor meminta hak asuh anak. Lebih jauh lagi jika pendonor memiliki anak dengan pasangan lain dan anak tersebut dinikahkan karena sebelumnya tidak diketahui keturunannya maka akan terjadi incest (hubungan sedarah). Incest ini secara genetika akan menimbulkan kelainan-kelainan genetik pada keturunannya. Dan masalah lain yang akan muncul di kemudian hari.
Para ulama melarang sewa rahim, apabila menggunakan rahim wanita selain istri. Baik ketika mencampurkan benih antara suami dan wanita lain, mencampurkan benih antara isteri dengan laki-laki lain, atau memasukan benih yang dibuahi setelah kematian suami dan isteri. Menurut Yusuf Qaradhawi, sekalipun wanita tersebut adalah isteri lain dari suaminya sendiri, hal ini juga tidak diperbolehkan. Pasalnya, dengan cara ini tidak diketahui siapa dari kedua isteri ini yang sebenarnya adalah ibu dari bayi yang akan dilahirkan kemudian. Juga atas dasar nasab (keturunan) bayi tersebut.
Status anak yang dilahirkan masih menjadi perdebatan, apakah anak dari pemilik sel telur atau dari pemilik rahim. Dan pendapat para ulama berbeda-beda mengenai apakah diperbolehkan atau tidak diperbolehkan melakukan surrogate mother menurut hukum islam. Islam sangat memperhatikan kejelasan hubungan keluarga (nasab), karena hal ini mengacu pada hubungan keluarga untuk menentukan hak waris si anak. Dalam Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa yang dimaksud dengan anak yang sah adalah: a) Anak yang lahir dari perkawinan yang sah, b) Hasil pembuahan suami isteri sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri sah tersebut.
Praktik Surrogate Mother dari segi hukum, Peraturan Perundangn-undangan di Indonesia pasal 16 UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Keputusan Menteri Kesehatan No. 72/Menkes/Per/II/1999 tentang Penyelenggaraan Teknologi Reproduksi Buatan dan Mengatur Tentang Hukum Pelaksanaan Bayi Tabung. Dalam peraturan tersebut menjelaskan bahwa praktek surogate mother atau ibu pengganti dilarang di Indonesia. Bagi yang melanggar aturan tersebut ada sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 82 UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
Namun apabila terdapat suami istri WNI yang melakukan praktek surogate mother di luar negeri kemudian membawa anaknya ke Indonesia akan menimbulkan masalah karena bertentangan dengan hukum di Indonesia yaitu UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dimana dalam undang-undang tersebut tidak diatur mengenai status anak yang lahir dari praktik surogate mother dan perebutan hak asuh anak. Peraturan perundang-undangan baru yaitu Pasal 127 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bahwa kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan sebagai berikut: a) Hasil pembuahan sperma dan sel telur dari suami istri ditanamkan dalam rahim istri tempat sel telur berasal, b) Dilakukan oleh tenaga medis yang memiliki keahlian dan kualifikasi yang sesuai, c) Di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
Pakar hukum kesehatan Universitas Katolik Soegidjapranata Semarang, Agnes Widanti mengatakan bahwa sebenarnya praktik sewa rahim di Indonesia sudah ada, namun tidak diatur secara jelas oleh undang-undang, sehingga tidak ada yang mau membukanya. Di Indonesia hanya mengatur tentang bayi tabung yang sebenarnya hampir sama dengan sewa rahim. Yang membedakan adalah jika bayi tabung benih yang ditanam ke rahim isteri, dan jika sewa rahim benih yang di tanam ke rahim perempuan lain. Dia berharap Indonesia membutuhkan adanya regulasi khusus tentang praktik sewa rahim.
Lukiana Dewi Saputri, Mahasiswa UIN Sunankalijaga Yogyakarta