Meneguhkan Identitas Muslim Kontemporer (Bagian ke-1)

Meneguhkan Identitas Muslim Kontemporer (Bagian ke-1)

Oleh: Donny Syofyan

Saat ini umat Islam dibombardir oleh berita-berita di media yang tak ada habis-habisnya yang menyoroti bagaimana Muslim melakukan hal-hal mengerikan, kejadian-kejadian menakutkan di negara Islam, atau laporan bahwa Muslim identik dengan terorisme. Kita menyaksikan bagaimana ekspresi konstan bahwa Islam dan Muslim adalah agama dan masyarakat yang problematis. Satu hal yang perlu kita tekankan bahwa Islam dan umat Islam bukanlah bagian dari masalah. Pernyataan ini perlu ditegakkan di tengah tren negatifnya perhatian yang kaum Muslimin peroleh, baik dari media massa maupun masyarakat.

Saya ingin merujuk pada sebuah buku yang ditulis sangat baik, relatif pendek dan menarik. Judulnya adalah On The Muslim Question (2020) oleh Anne Norton. Dalam buku itu, penulis  menunjukkan bahwa masalah umat Islam bukanlah tentang umat Islam sama sekali dan bukan pula tentang Islam. Buku ini membahas tentang ketidakmampuan Barat mengatasi kontradiksi internal dalam peradabannya sendiri. Ia menyuguhkan kecemasan orang-orang Barat atas identitas mereka sendiri. Umat Islam menjadi layar di mana kecemasan itu diproyeksikan, umat Islam adalah kendaraan untuk menyuarakan persoalan internal atas kontradiksi ini. Judul buku ini agaknya terinspirasi oleh On The Jewish Question (1843) yang ditulis oleh Karl Marx. Seperti halnya orang Yahudi, Norton menunjukkan bahwa Muslim adalah masalah bagi Barat karena Barat menunjukkan kontradiksi internalnya sendiri, kontradiksi antara cita cita dan realitasnya.

Mari kita cermati beberapa contoh. Barat begitu terobsesi dengan kebebasan berpendapat. Menyangkut isu ini, Barat menilai umat Islam tidak memahami kebebasan berpendapat, dan ini terus-menerus diungkapkan media Barat. Ini bukan tentang apa pendapat Muslim tentang kebebasan berpendapat atau pandangan Islam menyangkut kebebasan berpendapat. Ini adalah tentang fakta bahwa di negara-negara Barat kebebasan berpendapat tidak diberikan secara setara dan adil kepada semua masyarakat. Kebebasan berpendapat menjadi perisai ketika kaum mayoritas menyangkal hak-hak kelompok minoritas pada tingkat sama di ruang publik. Ketika serangan Charlie Hebdo terjadi beberapa tahun yang lalu di Paris, hanya beberapa hari setelah serangan itu seorang komedian Prancis, Dieudonné M’Bala M’bala yang dikenal dengan nama panggungnya Dieudo, ditangkap karena dianggap mengubar pidato kebencian. Ia dicegah untuk melakukan pertunjukan atau aksi komiknya. Menurut pengadilan Prancis, ujarannya dianggap memberikan ancaman besar bagi ketertiban umum.

Lalu, apakah pengadilan Prancis mencegah majalah Charlie Hebdo menerbitkan kartun dengan alasan yang sama? Sama sekali tidak. Tetapi ketika kaum Muslim sebagai kelompok minoritas mengatakan hal-hal yang dianggap kontroversial, maka mereka harus dibungkam. Beberapa minggu pasca insiden Charlie Hebdo, lebih dari lima puluh Muslim Prancis ditangkap hanya karena mereka telah menyatakan pandangan mereka mengapa serangan itu terjadi. Mereka tidak melakukan apa-apa, sekadar menyatakan pemahaman mereka tentang motivasi para teroris. Jadi kita bisa lihat di sini, kaum Muslim Prancis di negara mereka sendiri sebagai warga negara Prancis ditangkap karena ekspresi yang mereka sampaikan.

Amerika Serikat, sungguh pun perlindungan hukumnya atas kebebasan berpendapat jauh lebih kuat dibandingkan Eropa, juga dilematis ketika kubu Partai Republik berkuasa. Selama pemerintahan President Donald Trump, pernah ada yang mengusulkan bahwa Muslim yang datang ke negara itu harus ditanyai apa pandangan mereka tentang hukum syariah. Apakah mereka menyetujui atau mengecam hukum syariah? Bahkan Muslim Amerika yang mengatakan sesuatu positif tentang hukum syariah kerapkali menerima pelecehan dan ancaman, mulai dari keselamatan jiwa, hilangnya pekerjaan, hingga teror nama baik atau reputasi.

Jika Anda google di internet, “Apakah Konstitusi Amerika Serikat mengesampingkan

Alkitab,” Anda akan menemukan banyak situs web milik Kristen Amerika yang

mengatakan tidak secara mutlak. Dokumen buatan manusia, termasuk Konstitusi, tidak dapat diterima telah mengesampingkan Alkitab, kitab suci. Bahkan Ben Carson, mantan kandidat presiden AS, pernah ditanya oleh Chuck Todd dalam suatu konferensi pers, “Apakah Konstitusi mengesampingkan Alkitab”? Carson menjawab, “Ya itu tergantung bagian-bagian tertentu dari Alkitab, bagian-bagian tertentu dari Konstitusi.” Bayangkan bila seorang Muslim naik ke podium dan mendapatkan pertanyaan, “Apakah hukum syariah mengesampingkan Konstitusi?” Ia dipaksa menjawab dan beroleh hujatan. Kebebasan berpendapat tidak saja apa yang Anda katakan tapi juga hak Anda untuk tetap diam. Kebebasan berbicara juga merupakan kebebasan untuk tidak berbicara.

Di Amerika Serikat, Muslim kerap tidak menikmati hak-haknya karena mereka selalu dituntut untuk mengutuk, berbicara menentang ini dan itu. Pertanyaannya, apakah orang kulit putih harus mengutuk pria bersenjata yang menembak sekolah, apakah orang kulit putih harus mengutuk seorang rasis yang menembak gereja-gereja di North Carolina? Tidak, tetapi ketika kalangan Muslim tidak berbicara dan mengutuk hal-hal tersebut, mereka dianggap mendukung pelaku teror. Jadi penolakan atas kebebasan berpendapat yang sama kepada umat Islam terjadi karena kebebasan berpendapat sepenuhnya berfungsi untuk melindungi mayoritas.

Isu lain yang terkait dengan Muslim yang sejatinya mengungkapkan kecemasan internal Barat atas peradaban dan identitasnya sendiri adalah masalah perempuan dan seksualitas. Obsesi kuat dalam sejarah Barat dengan seksualitas Muslim itu adalah kecemasan Barat atas ketidakmampuan mereka menangani masalah gender. Misalnya, jika seorang pria Muslim membunuh seorang wanita Muslim, secara langsung ini disebut pembunuhan demi kehormatan (honor killing) sampai ada yang membuktikan sebaliknya. Pernahkah Anda mendengar ketika seorang wanita terbunuh di Amerika Serikat yang dianggap sebagai kekerasan terhadap perempuan? Tidak, kasus itu hanyalah persoalan kejahatan dan pembunuhan biasa. Terbunuhnya wanita tidak pernah dibahas sebagai bagian dari masalah kekerasan terhadap perempuan. Tetapi ketika umat Islam melakukan hal ini, maka ia tidak hanya dinilai sebagai masalah kekerasan dan penindasan terhadap perempuan tetapi juga masalah besar terhadap Islam.

Saya pernah membaca berita tentang apa yang disebut sebagai pembunuhan mahar (dowry killing). Kematian mahar adalah kematian seorang wanita muda di negara-negara Asia Selatan, terutama India, yang dibunuh atau dipaksa untuk bunuh diri oleh suaminya. Ini akibat tekanan dari suami atau keluarganya untuk memeras lebih banyak mas kawin atau mahar dari pengantin wanita atau keluarganya. Setiap tahun di India ada sekitar 4000 dan 8.000 kasus pembunuhan mahar. Itu berarti seorang istri dibunuh oleh suami atau keluarganya, dan kasus-kasus ini jarang sekali diselidiki oleh polisi dan jarang diekspos oleh media-media internasional di luar India.

Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Exit mobile version