Meneguhkan Identitas Muslim Kontemporer (Bagian ke-2)
Oleh: Donny Syofyan
Ada obsesi yang begitu besar dan by design menyangkut kekerasan Muslim terhadap perempuan. Asumsinya adalah sesuatu yang salah dengan budaya Muslim. Masalah kekerasan terhadap perempuan adalah masalah yang diderita semua bangsa. Adakah yang tahu negara apa atau di manakah yang memiliki tingkat kekerasan tertinggi terhadap perempuan? Jawabannya adalah Amerika Tengah, Guatemala, El Salvador. Ini adalah negara-negara di dunia dengan tingkat tertinggi dari apa yang disebut femisida; pembunuhan atas perempuan karena mereka perempuan. Apakah ada yang membicarakan hal itu, apakah ada yang mengetahuinya? Tidak karena ini terkait dengan adanya obsesi terhadap Muslim dan Islam.
Muslim menjadi kambing hitam sehingga orang lain abai melihat masalah mereka sendiri. Bila kita google kata terorisme maka kita pasti digiring ke ribuan halaman situs web mengenai kisah serangan teroris atau Muslim yang membunuh seseorang. Sebuah organisasi bernama Physicians for Corporate Social Responsibility merilis laporan tentang perang melawan terorisme sejak 2001 sampai 2015. Laporan ini menyebutkan jumlah orang yang terbunuh dalam perang melawan teror yang disponsori oleh AS dan sekutunya di tiga negara saja (Irak, Afghanistan dan Pakistan) mencapai 1.5 juta orang. Sebagian besar berasal dari warga sipil.
Angka kematian yang disebabkan oleh tentara Amerika Serikat, yang secara kuantitas melebihi kematian yang disebabkan oleh kelompok Muslim saat ini. Coba lihat masalah kekerasan dan pemuda Muslim. Ketika anak-anak remaja kulit putih membuat tattoo di tubuhnya atau saat mahasiswa mulai mengenakan kaos Che Guevara lalu berbicara tentang bagaimana ia menentang sistem, orang hanya mencap mereka sebagai anak nakal, atau anak- anak ini hanya membuat keputusan yang salah. Ujungnya, orang mengatakan, “Ya tidak apa-apa. Mereka masih labil, sedang mencari jati diri.” Sebaliknya, jika seorang pemuda Muslim berbicara tentang bagaimana mereka kesal dengan ketidakadilan di seluruh dunia, mereka marah tentang apa yang terjadi di Palestina, kecewa dengan apa yang berlaku di Myanmar, tiba-tiba saja ini dilihat dari kacamata keamanan. Program CVE (countering violent extremism) akan mulai mencari tahu siapa anak muda ini karena mungkin saja ia seorang teroris. Bahkan kebangkitan politik anak-anak muda Muslim yang memandang geopolitik dan mengatakan bahwa ada hal-hal yang tidak mereka sukai, ada persoalan yang salah, ada yang bertentangan dengan nilai-nilai mereka yakini pada akhirnya bakal dipersepsi bertentangan dengan nilai-nilai Amerika.
Umat Islam harus tegas dan percaya diri mengakui bahwa mereka bukan masalah, bahwa Islam bukanlah masalah. Pengakuan ini membantu umat menghilangkan beban di pundaknya. Muslim dan Islam bukanlah kekuatan jahat yang digambarkan di media. Itu bukan Muslim. Itu bukan kita. Selanjutnya, pengakuan atau pernyataan tersebut membuat orang lain memahami kita. Muslim selama ini telah dijadikan sebagai cermin di mana Barat melihat perubahan dan kekurangan mereka. Itu membuat mereka membenci Islam dan Muslim. Muslim adalah lensa bagi Barat untuk mengekspresikan kecemasannya sendiri tentang dirinya.
Alih-alih membiarkan pihak Barat mengambinghitamkan Muslim yang sebetulnya memperlihatkan kecemasan mereka, Muslim perlu memegang cermin dan memperlihatkan kepada mereka, “Lihatlah kontradiksi di sini. Mengapa hak-hak kebebasan berbicara kami sebagai Muslim tidak sama dengan Anda? Mengapa hak-hak kami untuk percaya pada visi tertentu tentang Tuhan dan hukum Tuhan tidak sama dengan Anda? Mengapa hak kami untuk menyuarakan pendapat politik berbeda dengan Anda? Ketika publik Prancis atau sebagian besar publik Prancis mengatakan. “Kami percaya ini hak kami untuk murka saat seseorang melukis gambar Nabi Muhammad SAW sebab ini bagian hak kebebasan berbicara.”
Ketika mayoritas Muslim Prancis berkata, “Kami tahu itu hak Anda tetapi ini menyakiti kami, mengapa Anda ingin menyakiti kami? Kami adalah warga Prancis, mengapa Anda ingin melukai kami? Ketika publik Prancis berdalih, “Kami harus menyakiti Anda karena itu kebebasan berbicara.” Sebetulnya, yang mereka lakukan bukanlah membela kebebasan berpendapat atau berekspresi tapi menyebarkan kebencian. Kebebasan macam apa yang bisa dipahami ketika seorang mengatakan, “Saya akan melindungi hak saya untuk menghina kaum minoritas.” Begitu pula bukanlah kebebasan berekspresi saat Bill Maher mengatakan bahwa ia membela liberalisme karena ia membela haknya untuk menghina umat Islam. Di Barat, orang dengan gampang melakukannya di TV.
Dalam kampanyenya, Donald Trump terus-menerus menghina kaum minoritas, terutama Msulim dan tapi tak ada yang protes. Ia tetap terpilih sebagai presiden Amerika Serikat. Bukanlah hal yang membanggakan menghina orang-orang tertindas. Kebanggaan yang sahih adalah membela mereka yang tidak punya kuasa. Pemberani selalu tegak membela kaum lemah dan mengingatkan pihak mayoritas untuk tidak ikut-ikutan menghujat.
Tidak ada dalam Konstitusi Amerika atau nilai-nilai Amerika yang mengharuskan seorang warga Amerika untuk melepaskan keyakinannya. Jika ia harus membuang penanda budayanya maka ia harus mengorbankan cara berpakaiannya, makanannya, dan melepaskan nilai-nilai politiknya. Tidak ada kewajiban konstitusional yang mengharuskan seseorang melakukan hak atau kewajiban dengan nilai-nilai tertentu untuk menjadi orang Amerika.
Menyerah atas tekanan mayoritas dan kezaliman tidak membuat Muslim lebih bisa diterima atau mendukung nilai pihak agresor. Muslim akan kehilangan identitasnya sendiri dan kesempatan untuk mengingatkan orang lain di sekitarnya bahwa menjadi orang Barat bukan berarti berpakaian seperti pria kulit putih yang preppy. Menjadi warga negara Amerika yang kuat artinya membela kebebasan beragama, kebebasan berekspresi, pemerintah yang bertanggung jawab dan transparan, dan kebebasan berserikat. Muslim memiliki kesempatan untuk mengingatkan orang lain tentang itu, tetapi seorang Muslim perlu berhenti menganggap dirinya sebagai masalah dan mulai melihat dirinya sebagai cerminan masalah dalam masyarakat Barat yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengannya.
Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas